Hypereport: Racikan Tradisi & Inovasi Bikin Jamu Indonesia Makin Tokcer
28 May 2023 |
22:42 WIB
Jamu, ramuan tradisional ini sejak lama dipercaya berkhasiat dalam menjaga kesehatan hingga mengatasi ragam penyakit masyarakat Indonesia. Muncul sejak zaman Kerajaan Mataram, minuman yang terbuat dari rempah-rempah ini memiliki racikan berbeda pada setiap daerah hingga etnik yang ada di Indonesia.
Seiring waktu, jamu pun berkembang. Bukan lagi menjadi ramuan yang dibuat sendiri untuk diminum secara mandiri, tetapi merambah ke dunia industrialisasi seiring perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat yang ingin kepraktisan. Bahkan beberapa tahun ini, marak kafe-kafe jamu untuk memperluas jangkauan ke generasi baru.
Baca juga:
Agung Eru Wibowo, peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sejauh ini belum ada filosofi dalam konteks keilmuan yang disepakati bersama tentang jamu. Berbeda dengan pengobatan Ayurveda dari India.
Namun, Agung menyampaikan jamu merupakan ramuan dari beberapa tanaman obat, yang dikemas dalam bentuk tertentu, kemudian digunakan masyarakat untuk pengobatan. Dari penelitian dan pengembangan yang dilakukan Kementerian Kesehatan, hingga 2015 tercatat total lebih dari 50.000 tanaman berpotensi sebagai obat dan 32.000 ramuan tradisional yang ada di Indonesia.
Sementara dari eksplorasi skala kecil yang dilakukan BRIN, ada 2.700 tanaman berpotensi sebagai obat. Tanaman ini berpotensi sebagai anti inflamasi, anti dengue, dan antioksidan.
Dalam menemukan jamu sebagai potensi pengobatan, biasanya BRIN melakukan sejumlah langkah. Pertama, para peneliti akan megeksplorasi tanaman yang digunakan masyarakat menjadi jamu.
Periset biasanya turun ke masyarakat etnik tertentu, bertanya kepada pengobat tradisional dan tokoh. Seperti apa pengobatan yang dipakai, terutama menggunakan ramuan. Ramuan itu akan ditelusuri terkait bahan yang dipakai dan manfaatnya bagi tubuh.
Tanaman yang biasa dipakai sebagai ramuan lantas diidentifikasi dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Kedua, peneliti melakukan riset pemanfaatan dan pengembangan di laboratorium. Mereka akan mengidentifikasi dengan melakukan ekstraksi untuk menemukan senyawa aktif dan manfaatnya.
Ketika, riset yang diarahkan pada hilirisasi menuju industrialisasi. Biasanya, tanaman dari ramuan yang sudah diketahui manfaatnya itu dilakukan produksi skala massal. “Konsep sederhananya, eksplorasi, pengembangan potensi, dan hilirisasi,” ujar Agung menjelaskan proses pengembangan jamu kepada Hypeabis.id.
Dalam regulasi, sejatinya jamu berada pada tahap awal klasifikasi pengobatan herbal yang dibuat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam pengelompokan itu, jamu dikatakan sebagai ramuan yang manfaatnya sebagai pengobatan di masyarakat berdasar data empirik.
Jamu bisa naik kelas menjadi kelompok obat herbal terstandar (OHT). Dalam hal ini adalah obat tradisional yang didasarkan hasil penelitian laboratorium melalui uji praklinik menggunakan hewan coba, berpotensi untuk penyembuhan. “Misal ramuan diabetes, sudah diekstrak, diuji ke hewan. Itu kategori obat herbal terstandar,” terang Agung.
Kelas tertinggi yakni fitofarmaka. Dia menjelaskan fitofarmaka merupakan OHT praklinik yang dilanjutkan uji klinik kepada ke manusia. Bahan-bahannya pun sudah distandarisasi.
Ketiga kategori ini boleh didaftarkan, dipasarkan, baik jamu OHT, fitofarmaka. “Kalau tolak angin masih OHT. Awalnya dia jamu,” imbuhnya.
Agung menyampaikan saat ini mungkin baru ada 26 fitofarmaka, 86 OHT, dan lebih dari 12.000 produk jamu yang terdaftar di BPOM. Potensi herbal sebagai pengobatan termasuk jamu menurutnya masih sangat besar mengingat Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. “Teknologi berkembang terus,” tambahnya.
Di sisi lain, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul (SIDO) tidak berhenti untuk mengeksplorasi dan mengembangkan inovasi. Produsen jamu terbesar dan termodern di Indonesia ini diketahui telah membuat lebih dari 300 jenis produk herbal termasuk jamu yang dikemas dan praktis diminum.
Baca juga: Ini Alasan Anak Muda Lebih Sering Terkena Penyakit Limfoma Hodgkin
Salah satu yang terkenal yakni Tolak Angin, dibuat dari ramuan jamu untuk meringankan gejala masuk angin dan menguatkan daya tahan tubuh. Direktur Utama Sido Muncul David Hidayat mengatakan pihaknya mengembangkan produk sesuai kebutuhan kesehatan dan telah teruji khasiatnya.
“Hasilnya kami telah launching obat untuk asam lambung/mag dalam bentuk cair atau sachet dan yang terbaru adalah esemag tablet kunyah, merupakan inovasi terbaru untuk lebih mudah dan praktis dikonsumsi,” jelasnya kepada Hypeabis.id.
Dalam memproduksi produk jamu, hampir 100 persen menggunakan bahan baku lokal, kecuali ginseng yang tidak ada di Indonesia. SIDO memiliki hubungan baik dengan para pemasok atau kelompok petani sehingga bahan baku berkualitas selalu tersedia.
Sementara itu, penelitian dan pengembangan terus dilakukan. Terutama terkait manfaat dan khasiat tanaman herbal untuk menjadi produk jamu yang memiliki khasiat tertentu, namun dengan rasa dan bentuk yang mudah dikonsumsi dan sesuai dengan selera konsumen.
Menurutnya, jamu instan memiliki pangsa pasar cukup unik. Oleh karena itu, SIDO telah memperbarui proses pembuatan jamu cair dengan mesin yang serba otomatis. Hal ini juga berdampak pada efisiensi dari segi biaya dan produksi, bahkan pihaknya bersiap menuju ke industri 4.0.
David menerangkan otomatisasi mesin Cairan Obat Dalam (COD) 2 sebagian sudah dilakukan sejak 2020, mulai dari awal proses sampai pengemasan. Dia menargetkan semua proses bisa diotomatisasi dalam beberapa waktu mendatang.
“Investasi terkait mencapai minimal Rp300 miliar, namun termasuk penambahan kapasitas produksi sesuai kebutuhan pengembangan kita ke depan,” ungkapnya.
Selain SIDO, yang mengembangkan produk berupa jamu yakni Re.juve. Merek yang menjadi pelopor cold-pressed juice di Indonesia ini juga membuat inovasi produk jamu peras dalam bentuk one shot 50 ml.
Shot murni dari rempah yang diperas menggunakan sistem hidrolik untuk mengeluarkan sarinya. Re.juve memiliki varian produk jamu seperti curcuma ginger, turmeric ginger, galanga ginger, dan celery ginger.
Chief Executive Officer & President Director Re.juve Richard Anthony menjelaskan pihaknya menciptakan ramuan jamu yang murni tanpa tambahan air atau gula. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan manfaat pasti dari jamu tersebut.
“Kami enggak mau tambahkan bahan yang jahat untuk kesehatan. Kalau kunyit, kita pastikan itu hanya kunyit. Tinggal ditambahkan jahe dan sedikit apel hijau, tanpa tambahan air, itu setara dengan satu gelas,” jelasnya saat dijumpai Hypeabis.id.
Oleh karena rasanya yang strong karena diambil hanya sarinya, Re.juve hanya membuatnya dalam kemasan 50 ml atau sekali teguk. Richard mengatakan dibuatnya produk ini bertujuan untuk melestarikan budaya masyarakat Indonesia.
Dengan tujuan tersebut, pihaknya pun memiliki cold-pressed juice Indonesian Heritage yang dibuat dari rempah segar dengan resep jamu tradisional. Produk tersebut diantaranya tropic sereh, almond bandrek, almond kencur, dan tropic temulawak. “Walaupun disajikan dingin, tetapi buat badan hangat,” imbuhnya.
Richard menuturkan pihaknya akan terus berinovasi sesuai permintaan masyarakat. Tentunya, jika ada inovasi lebih lanjut, Re.juve katanya akan memakai bahan baku lokal yang berkualitas seperti biasanya.
Baca juga: 5 Penyebab Harga Re.Juve Mahal Namun Tetap Laris Manis
Editor: Dika Irawan
Seiring waktu, jamu pun berkembang. Bukan lagi menjadi ramuan yang dibuat sendiri untuk diminum secara mandiri, tetapi merambah ke dunia industrialisasi seiring perkembangan teknologi dan perubahan masyarakat yang ingin kepraktisan. Bahkan beberapa tahun ini, marak kafe-kafe jamu untuk memperluas jangkauan ke generasi baru.
Baca juga:
- Hypereport: Upaya Membawa Jamu Tradisional Naik Kelas & Makin Luas
- Hypereport: Menggali & Memanfaatkan Potensi Jamu
- Hypereport: Mbok Jamu Riwayatmu Kini
Agung Eru Wibowo, peneliti dari Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sejauh ini belum ada filosofi dalam konteks keilmuan yang disepakati bersama tentang jamu. Berbeda dengan pengobatan Ayurveda dari India.
Namun, Agung menyampaikan jamu merupakan ramuan dari beberapa tanaman obat, yang dikemas dalam bentuk tertentu, kemudian digunakan masyarakat untuk pengobatan. Dari penelitian dan pengembangan yang dilakukan Kementerian Kesehatan, hingga 2015 tercatat total lebih dari 50.000 tanaman berpotensi sebagai obat dan 32.000 ramuan tradisional yang ada di Indonesia.
Sementara dari eksplorasi skala kecil yang dilakukan BRIN, ada 2.700 tanaman berpotensi sebagai obat. Tanaman ini berpotensi sebagai anti inflamasi, anti dengue, dan antioksidan.
Dalam menemukan jamu sebagai potensi pengobatan, biasanya BRIN melakukan sejumlah langkah. Pertama, para peneliti akan megeksplorasi tanaman yang digunakan masyarakat menjadi jamu.
Periset biasanya turun ke masyarakat etnik tertentu, bertanya kepada pengobat tradisional dan tokoh. Seperti apa pengobatan yang dipakai, terutama menggunakan ramuan. Ramuan itu akan ditelusuri terkait bahan yang dipakai dan manfaatnya bagi tubuh.
Tanaman yang biasa dipakai sebagai ramuan lantas diidentifikasi dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Kedua, peneliti melakukan riset pemanfaatan dan pengembangan di laboratorium. Mereka akan mengidentifikasi dengan melakukan ekstraksi untuk menemukan senyawa aktif dan manfaatnya.
Ketika, riset yang diarahkan pada hilirisasi menuju industrialisasi. Biasanya, tanaman dari ramuan yang sudah diketahui manfaatnya itu dilakukan produksi skala massal. “Konsep sederhananya, eksplorasi, pengembangan potensi, dan hilirisasi,” ujar Agung menjelaskan proses pengembangan jamu kepada Hypeabis.id.
Dalam regulasi, sejatinya jamu berada pada tahap awal klasifikasi pengobatan herbal yang dibuat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam pengelompokan itu, jamu dikatakan sebagai ramuan yang manfaatnya sebagai pengobatan di masyarakat berdasar data empirik.
Jamu bisa naik kelas menjadi kelompok obat herbal terstandar (OHT). Dalam hal ini adalah obat tradisional yang didasarkan hasil penelitian laboratorium melalui uji praklinik menggunakan hewan coba, berpotensi untuk penyembuhan. “Misal ramuan diabetes, sudah diekstrak, diuji ke hewan. Itu kategori obat herbal terstandar,” terang Agung.
Kelas tertinggi yakni fitofarmaka. Dia menjelaskan fitofarmaka merupakan OHT praklinik yang dilanjutkan uji klinik kepada ke manusia. Bahan-bahannya pun sudah distandarisasi.
Ketiga kategori ini boleh didaftarkan, dipasarkan, baik jamu OHT, fitofarmaka. “Kalau tolak angin masih OHT. Awalnya dia jamu,” imbuhnya.
Agung menyampaikan saat ini mungkin baru ada 26 fitofarmaka, 86 OHT, dan lebih dari 12.000 produk jamu yang terdaftar di BPOM. Potensi herbal sebagai pengobatan termasuk jamu menurutnya masih sangat besar mengingat Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. “Teknologi berkembang terus,” tambahnya.
Inovasi
Di sisi lain, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul (SIDO) tidak berhenti untuk mengeksplorasi dan mengembangkan inovasi. Produsen jamu terbesar dan termodern di Indonesia ini diketahui telah membuat lebih dari 300 jenis produk herbal termasuk jamu yang dikemas dan praktis diminum.Baca juga: Ini Alasan Anak Muda Lebih Sering Terkena Penyakit Limfoma Hodgkin
Salah satu yang terkenal yakni Tolak Angin, dibuat dari ramuan jamu untuk meringankan gejala masuk angin dan menguatkan daya tahan tubuh. Direktur Utama Sido Muncul David Hidayat mengatakan pihaknya mengembangkan produk sesuai kebutuhan kesehatan dan telah teruji khasiatnya.
“Hasilnya kami telah launching obat untuk asam lambung/mag dalam bentuk cair atau sachet dan yang terbaru adalah esemag tablet kunyah, merupakan inovasi terbaru untuk lebih mudah dan praktis dikonsumsi,” jelasnya kepada Hypeabis.id.
Dalam memproduksi produk jamu, hampir 100 persen menggunakan bahan baku lokal, kecuali ginseng yang tidak ada di Indonesia. SIDO memiliki hubungan baik dengan para pemasok atau kelompok petani sehingga bahan baku berkualitas selalu tersedia.
Sementara itu, penelitian dan pengembangan terus dilakukan. Terutama terkait manfaat dan khasiat tanaman herbal untuk menjadi produk jamu yang memiliki khasiat tertentu, namun dengan rasa dan bentuk yang mudah dikonsumsi dan sesuai dengan selera konsumen.
Menurutnya, jamu instan memiliki pangsa pasar cukup unik. Oleh karena itu, SIDO telah memperbarui proses pembuatan jamu cair dengan mesin yang serba otomatis. Hal ini juga berdampak pada efisiensi dari segi biaya dan produksi, bahkan pihaknya bersiap menuju ke industri 4.0.
David menerangkan otomatisasi mesin Cairan Obat Dalam (COD) 2 sebagian sudah dilakukan sejak 2020, mulai dari awal proses sampai pengemasan. Dia menargetkan semua proses bisa diotomatisasi dalam beberapa waktu mendatang.
“Investasi terkait mencapai minimal Rp300 miliar, namun termasuk penambahan kapasitas produksi sesuai kebutuhan pengembangan kita ke depan,” ungkapnya.
Selain SIDO, yang mengembangkan produk berupa jamu yakni Re.juve. Merek yang menjadi pelopor cold-pressed juice di Indonesia ini juga membuat inovasi produk jamu peras dalam bentuk one shot 50 ml.
Shot murni dari rempah yang diperas menggunakan sistem hidrolik untuk mengeluarkan sarinya. Re.juve memiliki varian produk jamu seperti curcuma ginger, turmeric ginger, galanga ginger, dan celery ginger.
Chief Executive Officer & President Director Re.juve Richard Anthony menjelaskan pihaknya menciptakan ramuan jamu yang murni tanpa tambahan air atau gula. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan manfaat pasti dari jamu tersebut.
“Kami enggak mau tambahkan bahan yang jahat untuk kesehatan. Kalau kunyit, kita pastikan itu hanya kunyit. Tinggal ditambahkan jahe dan sedikit apel hijau, tanpa tambahan air, itu setara dengan satu gelas,” jelasnya saat dijumpai Hypeabis.id.
Oleh karena rasanya yang strong karena diambil hanya sarinya, Re.juve hanya membuatnya dalam kemasan 50 ml atau sekali teguk. Richard mengatakan dibuatnya produk ini bertujuan untuk melestarikan budaya masyarakat Indonesia.
Dengan tujuan tersebut, pihaknya pun memiliki cold-pressed juice Indonesian Heritage yang dibuat dari rempah segar dengan resep jamu tradisional. Produk tersebut diantaranya tropic sereh, almond bandrek, almond kencur, dan tropic temulawak. “Walaupun disajikan dingin, tetapi buat badan hangat,” imbuhnya.
Richard menuturkan pihaknya akan terus berinovasi sesuai permintaan masyarakat. Tentunya, jika ada inovasi lebih lanjut, Re.juve katanya akan memakai bahan baku lokal yang berkualitas seperti biasanya.
Baca juga: 5 Penyebab Harga Re.Juve Mahal Namun Tetap Laris Manis
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.