Polwan berjualan jamu gendong (Foto: SUR/JIBI/Harjo)

Hypereport: Mbok Jamu Riwayatmu Kini

27 May 2023   |   19:14 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Kesederhanaan mbok jamu punya ceritanya sendiri. Berbekal alat gendong dengan kain bercorak batik, botol-botol plastik dijajakan dalam bakul besar. Dengan kebaya dan lilitan kain sebagai rok, mereka berkeliling menawarkan jamu dari rumah ke rumah. Masih segar di ingatan saat antusiasnya warga menyambut kedatangan mbok jamu dahulu kala.

Sekali teriak ‘jamu’, dua hingga tiga orang mulai menghampiri penjaja jamu keliling ini. Beberapa di antaranya justru datang dari kalangan anak-anak. Namun sekarang, mari menghitung dengan jari. Ada berapa orang mbok jamu yang rajin mondar-mandir mengitari lorong atau gang rumah kita?

Satu, dua, atau mungkin tak ada. Tidak bisa dimungkiri, eksistensi tukang jamu gendong kian merosot di perkotaan besar. Bahkan jika kita spesifik melihat tukang jamu membawa dagangannya, rasanya hanya segelintir saja yang masih menggendong bakul jamu tersebut. Sebagian besar di antaranya beralih menggunakan gerobak dorong, mengayuh sepeda, bahkan dengan motor. Tentu saja supaya mempermudah saat mengangkut botol-botol jamu mereka.

Baca juga: Hypereport: Dinamika dan Pesona Dunia Komik Indonesia  

Namun, menggendong jamu memiliki pemaknaan tersendiri. Ini terkait dengan filosofi yang berkaitan dengan rezeki. Melansir laman Kementerian Pendidikan RI, menggendong identik dengan cara ibu menimang anaknya. Secara filosofis, perempuan yang menggendong barang dagangannya diibaratkan sebagai cara yang lemah lembut untuk menjaga rezeki dengan telaten.

Sebetulnya jamu gendong bukan hanya tentang membawa bakul jamu dengan cara menggendong. Jamu gendong dijelaskan sebagai jamu hasil produksi rumahan. Artinya, jamu dibuat dengan cara tradisional dari resep secara turun temurun.

Jangan heran jika kita pernah melihat jari-jemari mbok jamu yang menguning. Secara tradisional, mereka memproduksi jamu dengan cara memarut rempah seperti kunyit, temulawak, jahe, dan lainnya untuk diambil sarinya dan kemudian dimasukkan ke dalam botol.

Mbok jamu punya catatan riwayat yang panjang. Pekerjaan ini dipercaya sudah ada sejak masa kerajaan Hindu-Budha pada 400-an Masehi. Bukti-bukti mengenai penggambaran pembuatan jamu ada relief di Candi Borobudur dan Candi Prambanan jadi salah dua yang menjadi saksi bisu dari perkembangan jamu di Nusantara.

Jamu secara khusus pernah tercatat di prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit. Di sana disebutkan jelas mengenai profesi peracik atau peramu jamu yang disebut sebagai acaraki.

Kala itu, seorang acaraki harus melakukan banyak ritual untuk meramu jamu yang mulanya hanya diperuntukan bagi kalangan bangsawan di istana saja. Namun seiring perjalanan waktu, jamu akhirnya menyentuh masyarakat desa. Dagangan sehat ini kian laris manis hingga penjualnya berseliweran, tak pandang pria atau wanita.

Namun karena di zaman kerajaan tenaga pria banyak dibutuhkan dalam pertanian, maka wanita mulai mendominasi sebagai tukang jamu. Sejarah panjang inilah yang membuka mata mengenai mbok jamu yang biasa kita kenal sekarang.

Menterengnya brand jamu modern membuat sosok mbok jamu semakin lenyap dari permukaan. Suhartini, wanita asal Indramayu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah berdagang di kawasan Jakarta selama satu tahun.

Tak terkait persoalan laku tak laku, Suhartini hanya ikut dengan suaminya yang kerap dari hulu ke hilir berpindah pekerjaan. Wanita berusia 36 tahun ini semata mengisi waktu luangnya dengan berjualan jamu saat berada di Jakarta.

Menurutnya, penghasilan yang diterima tak terlalu buruk. Modal yang dikeluarkan masih sebanding dengan untung yang dituai. Meski tak banyak, Suhartini senang bisa mencukupi kebutuhan harian keluarganya  dengan uang tersebut. Tiga tahun sebelumnya, Suhartini sudah berjualan jamu di kampungnya di kawasan Margamulya, Indramayu. Di sana, keuntungan yang dituai Suhartini lebih besar.

Selain hanya dia satu-satunya yang berjualan jamu di kampung tersebut, dia punya banyak langganan yang sudah bisa menghampirinya setiap pagi. Dengan modal Rp200.000, Suhartini bisa mendapat keuntungan setara dengan modal mulai Rp180.000 hingga Rp200.000.

Suhartini memilih waktu pagi untuk berjualan. Dia bangun pada pagi buta sekitar pukul 03.00 WIB untuk menyiapkan rempah jamu. Untuk menciptakan rasa yang autentik, Suhartini masih memarut beberapa rempah seperti kunyit dan jahe.

Setelah diproses, sari jamu itu dimasukkan ke dalam botol. Botol-botol yang telah terisi dimasukkan ke dalam gerobak yang dibawanya dengan motor mulai pukul 06.00 WIB. Tak membutuhkan waktu lama, jamu dagangan Suhartini bisa langsung habis hanya dalam 3 jam berjualan keliling. Kadang kala, dagangannya memang tak selalu ludes, beberapa jamunya masih tersisa.

Di tengah tenggelamnya eksistensi mbok jamu dari kehidupan kita sehari-hari, Suhartini menyebut tak takut rezekinya lepas. Pasalnya, dia selalu mempunyai pembeli langganan, termasuk dari kalangan usia anak. Selagi anak masih menyukainya, pekerjaan sebagai penjaja jamu keliling masih sangat dibutuhkan masyarakat.

Suhartini tak punya pandangan yang cukup jelas tentang masa depan jamu tradisional di kota-kota besar. Namun setidaknya, kata Suhartini, jamu bisa tetap lestari dan sesuai selera anak-anak di desa.

Suhartini punya tekad untuk mendorong anaknya melanjutkan pendidikan tinggi. Dia tak bisa menjamin anak-anaknya ingin meneruskan resep jamu buatannya untuk diperjualkan. Kalau pun iya, generasi muda mungkin punya cara yang lebih modern lagi dalam melestarikan jamu di masa depan, begitu katanya.

“Mungkin kalau berjualan jamu keliling belum tentu ada yang minat, tapi berjual jamu dalam kemasan masih akan tetap memiliki peminatnya,” kata Suhartini.

Jamu pun bukan hanya laku keras di Pulau Jawa saja. Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap jamu dimanfaatkan oleh masyarakat asli Jawa yang tinggal di berbagai pulau di Indonesia sebagai salah satu ladang mata pencaharian.

Jumiati jadi salah satu anak yang meneruskan perjalanan ibunya berjualan jamu sejak usianya 21 tahun. Setelah ibunya memutuskan berhenti jualan karena sudah uzur, Jumiati mau melanjutkan pekerjaan ibunya berkeliling menjajakan jamu dan ditekuninya sejak 1994.

Dalam masa mudanya kala itu, Jumiati mengaku masih sempat merasakan menggendong jamu dengan secarik kain. Namun setelah hampir 29 tahun berjualan, wanita berusia 50 tahun ini memutuskan untuk membawa sepeda untuk mempermudah mobilitasnya.

Menurut Jumiati, dia bisa lebih banyak menjangkau lorong dan gang dengan sepeda dibanding berjalan kaki sambil menggendong jamu seperti dahulu. Profesi tukang jamu terus dijalani Jumiati hingga dia memiliki anak dan cucu.

Hal ini merupakan pilihan Jumiati untuk tetap produktif dalam mengisi waktu luang sembari mengais rezeki. Terlebih, meneruskan resep jamu dari keluarganya merupakan kebanggaan tersendiri untuk Jumiati. Selama hampir tiga dekade, Jumiati menyambut banyak pelanggan yang sudah bertahun-tahun membeli jamunya setiap Pagi.

Dengan modal Rp50.000, Jumiati bisa mendapat keuntungan hingga Rp100.000. Tapi saat dagangannya sepi, Jumiati hanya menuai untung Rp50.000 saja. Namun Jumiati mengakui bahwa bisnis yang dijalaninnya ini tak pernah rugi.

“Ada saja yang beli, yang udah langganan atau yang baru. Belum pernah rugi dari modal yang dikeluarkan,” katanya. Jumiati masih memarut rempah pilihan yang dibelinya di pasar saat  waktu subuh.

Setelah merebus, menyaring sarinya, dan memasukkan jamu ke botol, Jumiati mulai berkeliling tepat di Pukul 07.00 WIB. Jika sedang ramai, dagangannya habis dalam waktu satu jam saja. Namun, Jumiati biasanya pulang sekitar tiga jam setelah berkeliling. Sebagian besar pembelinya memang ibu-ibu. Beberapa di antaranya dari kalangan bapak-bapak.

“Kadang ibunya nyuruh anaknya minum jamu, jadi anak juga mau minum jamu asal enggak pahit mereka mau,” jelas Jumiati. Kunyit asam dan beras kencur menjadi sari jamu terlaris yang cepat ludes.

Baca juga: Hypereport: Ketika Pendidikan dan Keahlian Bukan Jaminan Bagi Generasi Muda Sukses di Dunia Kerja

Masa depan jamu tradisional mungkin sulit terbaca di mata Jumiati. Jujur saja, Jumiati tak mau jika jamu tradisional di masa depan tinggal cerita saja. Kesukaan anak-anak terhadap jamu tak boleh dipandang sebelah mata. Namun Jumiati menyebut bisa saja metode gendong jamu ini yang tinggal jadi riwayat.

Menurutnya, mungkin tak banyak anak muda yang benar-benar minat berjualan jamu keliling.  “Mungkin ada ya tapi tidak banyak. Dan mungkin kebanyakan di kampung,” jelas Jumiati. Terlebih kata Jumiati, banyak orang yang kini suka membuat rebusan rempah sendiri di rumah. 

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Cek Daftar Agenda Wisata Indonesia 2023 yang Bakal Dongkrak Kunjungan Wisman

BERIKUTNYA

5 Alasan Ini Bikin Film The Little Mermaid Jadi Menarik Untuk Ditonton

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: