Hypereport: Kejayaan Komik Indonesia Masih Sekadar Cerita
13 May 2023 |
20:30 WIB
Komik menjadi bacaan favorit semua kalangan masayarakat, bahkan sebelum era Kemerdekaan Indonesia. Namun, industri cerita bergambar ini kerap mengalami pasang surut, entah karena faktor perkembangan zaman, sosial, hingga politik.
Bila bicara soal sejarah perkembangan industri komik Indonesia, nama maestro satu ini tidak boleh terlupa, Raden Ahmad Kosasih. Pria yang lebih dikenal dengan nama R.A. Kosasih itu merupakan salah satu komikus yang membangun industri komik dalam bentuk buku.
Ya, RA Kosasih memang bukan pembuat komik pertama di Tanah Air. Cerita bergambar ini muncul pada 1930an di surat kabar Sin Po yang diterbitkan oleh keturunan Tionghoa dan berbahasa Melayu.
Kala itu, Sin Po sering memuat komik humor, yaitu komik strip yang menceritakan berbagai kejadian lucu. Komik strip ini dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa, Kho Wang Gie yang menggunakan nama pena Sopoiku. Pada awal 1931 Kho Wang Gie menciptakan tokoh jenaka bernama Put On.
Bahkan, Kritikus Komik Hikmat Darmawan menyebut, temuan terbaru Dosen Institut Kesenian Jakarta Iwan Gunawan, komik strip sudah ada pada 1925, dalam bentuk komik gubahan yang dilokalkan atau media kolonial yang redaksinya orang Belanda. “Namun, ada yang membuat komik tentang Indonesia. Akan tetapi, yang sepenuhnya karakter Indonesia, Kho Wang Gie bikin Put On,” ujarnya saat berbincang dengan Hypeabis.id.
Seiring waktu, muncul para perintis Nasroen A.S dan Abdul Salam yang juga membuat strip. Nasroen membuat komik strip berjudul Mentjari Poeteri Hidjaoe, sedangkan Abdul Salam terkenal dengan karya Kisah Pendudukan Jogja. Dia juga mempelopori komik jurnalisme di Tanah Air.
Barulah sekitar 1954 di Bandung, RA Kosasih hadir pertama kali menyatukan cerita bergambar yang dibukukan. Tak ayal, dia pun diberi gelar sebagai Bapak Komik Indonesia. “Bukan karena dia pembuat komik pertama, tetapi dia salah satu yang membangun industri komik dalam bentuk buku,” jelas Hikmat.
Selain RA Kosasih, sejatinya ada beberapa komikus yang juga mencetak komik dalam bentuk buku seperti Djoni Lukman (John Lo) dengan karyanya, Puteri Bintang. Namun demikian, karya RA Kosasih, Sri Asih lah yang menjadi ikon kesuksesan industri komik Indonesia. Cerita tentang pahlawan super wanita lokal itu meledak di pasaran.
Baca juga: 8 Karakter Superhero Bumilangit Fase 1, Siapa Setelah Gundala dan Sri Asih?
Di balik kesuksesannya, komik Sri Asih yang terbit melalui Penerbit Melodie ternyata mendapat protes, karena dianggap sebagai komik kebarat-kebaratan. Meskipun begitu, pada saat yang sama, RA Kosasih dengan cerdik menyiapkan komik wayang, Mahabarata. Pada naskah aslinya, Mahabharata adalah karya berbentuk puisi yang terdiri dari 220.000 baris, yang terbagi dalam 18 bab. Puisi ini menjadi karya terpanjang di dunia. .
Karya RA Kosasih yang menggambarkan epik terbesar dari India ini juga laris manis. Bahkan menurut Hikmat, dalam masa puncaknya, setiap edisi bisa mencapai 30.000 eks pilar dan menjangkau hingga Indonesia bagian Timur.
Melalui komik tersebut, pria asal Bogor itu dianggap memiliki jasa besar mengenalkan budaya baru komik sekaligus Bahasa Indonesia ketika Tanah Air baru saja lepas dari masa kolonial dan berakar pada bahasa daerah. “Yang sukses komersial dan melahirkan industri komik itu Mahabarata. Jasanya banyak secara budaya dan industri,” kata Hikmat.
Selama periode 1952-1967 komik menjadi industri kuat yang dominan melalui komik wayang dan legenda. Malahan, muncul kota yang menjadi pusat industri komik seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Medan. Hikmat menuturkan bahwa di Medan, saat mencapai masa produktifnya sekitar 1958-1962, banyak karya kelas dunia dari komikus Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, M. Ali, dan Tino Sidin.
Walaupun banyak kualitas unggul komik Indonesia di Medan, Hikmat mengatakan secara keseluruhan, industri komik mulai mundur karena ada krisis kertas, yang menjadi bagian krisis moneter. Belum sempat pulih, Indonesia mengalami pergantian rezim pada 1965, kemudian muncul pembantaian yang dipelopori Partai Komunis Indonesia. Industri ini terhenti karena banyak komikus yang mengungsi.
Hikmat mengatakan, saat itu di Jakarta, komikus banyak yang dirazia, diinterogasi polisi karena pemerintah khawatir cerita yang disajikan bersifat mengkritik. Mendapat tekanan, banyak komikus yang membuat perkumpulan. Lantas mereka sepakat komik bisa terbit melalui pengawasan polisi.
“Masih ada produksi komik, tetapi sangat sedikit, ekonomi belum terlalu pulih, masih banyak peristiwa politik, pembantaian sampai tahun 1966,” kata Hikmat.
Kemudian pada 1967, terbit komik silat dalam format buku tulis hitam putih yang lebih sederhana namun sangat populer, yakini Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH. Bisa dikatakan, lahirlah periode ketiga industri komik Indonesia.
Puncaknya sekitar 1970, komik silat mendominasi dan hadir sejumlah rental komik. Gundala Putra Petirkarya Harya Suraminata (Hasmi) maupun Petruk Gareng karya Indri Sudono menjadi beberapa yang digemari. “Karakter komik waktu itu menjadi karakter yang dipakai buat film misal Si Buta dari Goa Hantu. Hal ini menjadi ciri periode ketiga komik Indonesia,” terang Hikmat.
Baca juga: Yuk Kenalan dengan Karakter Gundala & Sri Asih
Akan tetapi, industri komik Indonesia mulai runtuh pada 1980an karena pasarnya bergeser ke industri toko buku yang tidak menerima komik asal Indonesia. Secara umum, konten komik Indonesia berisi kekerasan dan seks yang dianggap tidak mendidik dan buruk.
Rental komik pun juga banyak yang tutup. Di satu sisi, adaptasi komik ke dalam film semakin besar tetapi tidak menyokong kemakmuran komikus karena banyak yang sifatnya beli putus. “Sampai kemudian film Indonesia juga krisis akhir 80, awal 90an. Jadi terus outletnya diman buat komik.Rental nggak ada, toko buku nggak terlalu menerima, ada eksperimen nggak berhasil,” ulasnya.
Di satu sisi, komik strip di majalah masih berjalan, tidak terkecuali menjadi sisipan dan media iklan serta kampanye pemerintah. Selain itu, ada pula komik religi yang diproduksi secara indi memakai bekas potongan kalender sebagai sampulnya.
Berlanjut pada 1989-1990an, muncul formasi komik manga yang dibawa Elex Media. Manga pertama yang diterbitkan kala iu yakni Candy Candy, kemudian Doraemon, Kungfu Boy, dan Dragon Ball. Elex membuat percobaan untuk menerbitkan komik Indonesia dalam bentuk manga. Salah satunya karya RA Kosasih. Akan tetapi, penerbitan itu mendapat protes sehingga tidak diterima pasar.
Hikmat melanjutkan, pada 1993-1994, para mahasiswa seni rupa dan arsitektur di Yogyakarta, Bandung, dan Yogyakarta mulai menerbitkan komik secara indi dengan fotokopian. Karya mereka memiliki semangatnya punk, tetapi aspirasinya banyak yang ingin mainstream. Katanya, ada yang indi tetapi inginnya dalam bentuk manga.
Manga pun membentuk pasar pembaca perempuan. Alhasil, mulai muncul komikus perempuan yang menyamar dengan nama Jepang.
Komikus indi semakin tumbuh pada 2000an. Sekitar 2010, muncul platform digital yang mengubah paradigma industri komik menjadi intelectual property (IP). Alhasil, komikus tidak mendapatkan bayaran hanya dari komiknya.
Hikmat menyebut ada dua komikus yang penting pada era digital, yakni pertama Faza Ibnu Ubaydillah Salman yang membuat Si Juki. Mengandalkan media sosial, komik tersebut terjual ratusan ribu hanya dalam waktu beberapa menit. Faza pun sukses dengan model IP karena Si Juki juga dibuat menjadi film animasi.
Kedua yang berhasil yakni Tahilalats. Hikmat berpendapat Tahilalats salah satu contoh sukses model IP. Selain kedua itu, ada pula Bumi Langit yang mengakuisisi nyaris hampir semua komik Indonesia klasik. Hadirlah film berbasis komik, walaupun tidak terlalu berhasil.
Sejak 1980an, Hikmat belum melihat kebangkitan industri komik Indonesia. Kesuksesan komik digital pun hanya bersifat individu. Sementara komik cetak masih mengalami masalah pada infrastruktur mulai dari produksi, distribusi, dan fasilitas yang belum merata untuk masyarakat di seluruh daerah membaca.
“Digital komik belum making money yet, print komik juga belum sukses. Kalau cetak butuh mesin cetak dan infrastruktur penerbitan pada umumnya. Selama industri penerbitan buku pada umumnya busuk, maka komik juga busuk industrinya,” kataHikmat.
Baca juga: Sejarawan JJ Rizal Sebut Industri Buku Indonesia Bak Hutan Belantara
Dia berpendapat perlu perencanaan strategis yang matang dari pemerintah untuk menghadirkan bacaan termasuk komik kepada masyarakat hingga ke pelosok. Dengan demikian, ada multipihak yang membangun.
Sementara itu, Komikus Beng Rahadian menyebut sejatinya industri komik di Indonesia sudah bangkit secara kualitas maupun dari segi gagasan. Jika dibandingkan awal 1990an ketika komik diproduksi melalui fotokopi mahasiswa untuk melawan dominasi komik terjemahan.
Dia melihat bahwa perkembangan komik cukup signifikan karena munculnya kebebasan dalam berpekspresi dan berkarya. “Karya yang muncul bukan seperti komik industri misal action, drama, tetapi komik yang bermacam temanya. Ini kebangkitan baru,” imbuhnya.
Gaya visualnya pun menurut Beng tidak terpengaruh arus utama seperti komik Jepang atau Amerika. Namun yang jadi pembeda spesifik, jika dulu para komikus mengembangkan karya sendiri, saat ini, tidak sedikit yang mengerjakan IP orang lain seperti Marvel dan menjadi bagian industri global.
Tidak sedikit pula komikus muda yang menerobos logika pasar dengan memanfaatkan followers media sosial. Penghasilan mereka cukup besar hingga bisa membuat agensi atau manajemen sendiri. “Ketika media sosial menjadi lapangan pekerjaan. Sekarang banyak yang begitu dan pakai karakter mereka sendiri,” sebutnya.
Walaupun cara kerjanya baru, menurut Beng rata-rata metode yang dipakai mengulang dengan generasi sebelumnya. Yakni membuat komik strip yang sesekali dititipi iklan.
Kendati demikian, di tengah cara kerja baru ini, industri komik kehilangan komikus yang punya stamina untuk cerita panjang. Berbeda dengan komikus yang hadir pada 1960-1970an yang membuat komik sampai berjilid-jilid buku tebal.
“Perkembangannya berubah ke digital, tetapi cara bikin dan cara baca makin cepat karena mengikuti kebiasaan mengakses website detik hitungan. Tidak seperti dulu orang intensif baca komik dari halaman ke halaman,” ujar Beng.
Selain itu, komik digital banyak dikonsumsi secara gratis. Dalam hal ini, pengguna medsos cukup membeli kuotanya untuk mengakses konten komik secara gratis.
Adapun, untuk komik cetak masih ada harapan walaupun sedikit. Persoalannya adalah distribusinya susah, kalau andalkan distribusi konvensional seperti titip di penerbit toko buku, biaya yang dikeluarkan tinggi. Alhasil banyak penjual memilih menawarkan karyanya sendiri di marketplace.
Beng menyebut saat ini komik bisa diterbitkan secara indi asalkan memilki SBN. Selain itu, cetakannya pun bisa minimum, terdapat print on demand meskipun biaya tinggi. "Ketika medsos tumbuh, banyak komikus yang mengelola followers nya dengan baik sehingga bisa menafsirkan berapa komik yang bisa dicetak. Komik cetak tidak hilang tetapi semakin unik kehadirannya,” katanya.
Potensi itu terus berkembang. Beng berujuar bahwa media boleh berubah, tetapi yang paling mendasar yakni cerita, tidak hilang dan tidak berubah. "Apa yang diceritakan yakni tentang budayanya, meskipun hal remeh temeh."
Dia menambahkan, budaya akan terus mengakar dalam komik Indonesia meskipun beda kedalaman. Di era perkembangan industri komik, mungkin budaya sangat kental digambarkan seperti Si Buta dari Gua Hantu yang menunjukkan pengetahuan tentang geografi nasional seperti Tanah Toraja, sekarang sudah tidak butuh lagi klaim ini.
“Misal karakter ini lebih ke Papua, sudah bukan lagi penting menyatakan itu. Yang menarik komik di Instagram gunakan bahasa daerah. Komik strip Minang, Bali, Bandung, Solo itu gunakan bahasa daerah,” terangnya.
Sementara itu, Beng berharap dengan kemunculan komikus baru dan gagasannya bukan hanya eksis dari segi konten saja, tetapi juga pemikiran. “Sudah saatnya komik terlibat dalam pemikiran yang besar. Ada komik Indonesia yang bisa jadi wacana internasional, bisa jadi perbincangan dan sesuatu yang bisa ditelatah, tidak lewat begitu saja,” katanya.
Baca juga: Pengin Jadi Komikus? Ada Mata Kuliah Komik di Vokasi Universitas Indonesia Lho!
Editor: Dika Irawan
Bila bicara soal sejarah perkembangan industri komik Indonesia, nama maestro satu ini tidak boleh terlupa, Raden Ahmad Kosasih. Pria yang lebih dikenal dengan nama R.A. Kosasih itu merupakan salah satu komikus yang membangun industri komik dalam bentuk buku.
Ya, RA Kosasih memang bukan pembuat komik pertama di Tanah Air. Cerita bergambar ini muncul pada 1930an di surat kabar Sin Po yang diterbitkan oleh keturunan Tionghoa dan berbahasa Melayu.
Kala itu, Sin Po sering memuat komik humor, yaitu komik strip yang menceritakan berbagai kejadian lucu. Komik strip ini dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa, Kho Wang Gie yang menggunakan nama pena Sopoiku. Pada awal 1931 Kho Wang Gie menciptakan tokoh jenaka bernama Put On.
Bahkan, Kritikus Komik Hikmat Darmawan menyebut, temuan terbaru Dosen Institut Kesenian Jakarta Iwan Gunawan, komik strip sudah ada pada 1925, dalam bentuk komik gubahan yang dilokalkan atau media kolonial yang redaksinya orang Belanda. “Namun, ada yang membuat komik tentang Indonesia. Akan tetapi, yang sepenuhnya karakter Indonesia, Kho Wang Gie bikin Put On,” ujarnya saat berbincang dengan Hypeabis.id.
Seiring waktu, muncul para perintis Nasroen A.S dan Abdul Salam yang juga membuat strip. Nasroen membuat komik strip berjudul Mentjari Poeteri Hidjaoe, sedangkan Abdul Salam terkenal dengan karya Kisah Pendudukan Jogja. Dia juga mempelopori komik jurnalisme di Tanah Air.
Barulah sekitar 1954 di Bandung, RA Kosasih hadir pertama kali menyatukan cerita bergambar yang dibukukan. Tak ayal, dia pun diberi gelar sebagai Bapak Komik Indonesia. “Bukan karena dia pembuat komik pertama, tetapi dia salah satu yang membangun industri komik dalam bentuk buku,” jelas Hikmat.
Selain RA Kosasih, sejatinya ada beberapa komikus yang juga mencetak komik dalam bentuk buku seperti Djoni Lukman (John Lo) dengan karyanya, Puteri Bintang. Namun demikian, karya RA Kosasih, Sri Asih lah yang menjadi ikon kesuksesan industri komik Indonesia. Cerita tentang pahlawan super wanita lokal itu meledak di pasaran.
Baca juga: 8 Karakter Superhero Bumilangit Fase 1, Siapa Setelah Gundala dan Sri Asih?
Di balik kesuksesannya, komik Sri Asih yang terbit melalui Penerbit Melodie ternyata mendapat protes, karena dianggap sebagai komik kebarat-kebaratan. Meskipun begitu, pada saat yang sama, RA Kosasih dengan cerdik menyiapkan komik wayang, Mahabarata. Pada naskah aslinya, Mahabharata adalah karya berbentuk puisi yang terdiri dari 220.000 baris, yang terbagi dalam 18 bab. Puisi ini menjadi karya terpanjang di dunia. .
Karya RA Kosasih yang menggambarkan epik terbesar dari India ini juga laris manis. Bahkan menurut Hikmat, dalam masa puncaknya, setiap edisi bisa mencapai 30.000 eks pilar dan menjangkau hingga Indonesia bagian Timur.
Melalui komik tersebut, pria asal Bogor itu dianggap memiliki jasa besar mengenalkan budaya baru komik sekaligus Bahasa Indonesia ketika Tanah Air baru saja lepas dari masa kolonial dan berakar pada bahasa daerah. “Yang sukses komersial dan melahirkan industri komik itu Mahabarata. Jasanya banyak secara budaya dan industri,” kata Hikmat.
Selama periode 1952-1967 komik menjadi industri kuat yang dominan melalui komik wayang dan legenda. Malahan, muncul kota yang menjadi pusat industri komik seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Medan. Hikmat menuturkan bahwa di Medan, saat mencapai masa produktifnya sekitar 1958-1962, banyak karya kelas dunia dari komikus Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, M. Ali, dan Tino Sidin.
Walaupun banyak kualitas unggul komik Indonesia di Medan, Hikmat mengatakan secara keseluruhan, industri komik mulai mundur karena ada krisis kertas, yang menjadi bagian krisis moneter. Belum sempat pulih, Indonesia mengalami pergantian rezim pada 1965, kemudian muncul pembantaian yang dipelopori Partai Komunis Indonesia. Industri ini terhenti karena banyak komikus yang mengungsi.
Hikmat mengatakan, saat itu di Jakarta, komikus banyak yang dirazia, diinterogasi polisi karena pemerintah khawatir cerita yang disajikan bersifat mengkritik. Mendapat tekanan, banyak komikus yang membuat perkumpulan. Lantas mereka sepakat komik bisa terbit melalui pengawasan polisi.
“Masih ada produksi komik, tetapi sangat sedikit, ekonomi belum terlalu pulih, masih banyak peristiwa politik, pembantaian sampai tahun 1966,” kata Hikmat.
Kemudian pada 1967, terbit komik silat dalam format buku tulis hitam putih yang lebih sederhana namun sangat populer, yakini Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH. Bisa dikatakan, lahirlah periode ketiga industri komik Indonesia.
Puncaknya sekitar 1970, komik silat mendominasi dan hadir sejumlah rental komik. Gundala Putra Petirkarya Harya Suraminata (Hasmi) maupun Petruk Gareng karya Indri Sudono menjadi beberapa yang digemari. “Karakter komik waktu itu menjadi karakter yang dipakai buat film misal Si Buta dari Goa Hantu. Hal ini menjadi ciri periode ketiga komik Indonesia,” terang Hikmat.
Baca juga: Yuk Kenalan dengan Karakter Gundala & Sri Asih
Akan tetapi, industri komik Indonesia mulai runtuh pada 1980an karena pasarnya bergeser ke industri toko buku yang tidak menerima komik asal Indonesia. Secara umum, konten komik Indonesia berisi kekerasan dan seks yang dianggap tidak mendidik dan buruk.
Rental komik pun juga banyak yang tutup. Di satu sisi, adaptasi komik ke dalam film semakin besar tetapi tidak menyokong kemakmuran komikus karena banyak yang sifatnya beli putus. “Sampai kemudian film Indonesia juga krisis akhir 80, awal 90an. Jadi terus outletnya diman buat komik.Rental nggak ada, toko buku nggak terlalu menerima, ada eksperimen nggak berhasil,” ulasnya.
Di satu sisi, komik strip di majalah masih berjalan, tidak terkecuali menjadi sisipan dan media iklan serta kampanye pemerintah. Selain itu, ada pula komik religi yang diproduksi secara indi memakai bekas potongan kalender sebagai sampulnya.
Berlanjut pada 1989-1990an, muncul formasi komik manga yang dibawa Elex Media. Manga pertama yang diterbitkan kala iu yakni Candy Candy, kemudian Doraemon, Kungfu Boy, dan Dragon Ball. Elex membuat percobaan untuk menerbitkan komik Indonesia dalam bentuk manga. Salah satunya karya RA Kosasih. Akan tetapi, penerbitan itu mendapat protes sehingga tidak diterima pasar.
Hikmat melanjutkan, pada 1993-1994, para mahasiswa seni rupa dan arsitektur di Yogyakarta, Bandung, dan Yogyakarta mulai menerbitkan komik secara indi dengan fotokopian. Karya mereka memiliki semangatnya punk, tetapi aspirasinya banyak yang ingin mainstream. Katanya, ada yang indi tetapi inginnya dalam bentuk manga.
Manga pun membentuk pasar pembaca perempuan. Alhasil, mulai muncul komikus perempuan yang menyamar dengan nama Jepang.
Komikus indi semakin tumbuh pada 2000an. Sekitar 2010, muncul platform digital yang mengubah paradigma industri komik menjadi intelectual property (IP). Alhasil, komikus tidak mendapatkan bayaran hanya dari komiknya.
Hikmat menyebut ada dua komikus yang penting pada era digital, yakni pertama Faza Ibnu Ubaydillah Salman yang membuat Si Juki. Mengandalkan media sosial, komik tersebut terjual ratusan ribu hanya dalam waktu beberapa menit. Faza pun sukses dengan model IP karena Si Juki juga dibuat menjadi film animasi.
Kedua yang berhasil yakni Tahilalats. Hikmat berpendapat Tahilalats salah satu contoh sukses model IP. Selain kedua itu, ada pula Bumi Langit yang mengakuisisi nyaris hampir semua komik Indonesia klasik. Hadirlah film berbasis komik, walaupun tidak terlalu berhasil.
Menakar Kebangkitan Komik Indonesia
Sejak 1980an, Hikmat belum melihat kebangkitan industri komik Indonesia. Kesuksesan komik digital pun hanya bersifat individu. Sementara komik cetak masih mengalami masalah pada infrastruktur mulai dari produksi, distribusi, dan fasilitas yang belum merata untuk masyarakat di seluruh daerah membaca. “Digital komik belum making money yet, print komik juga belum sukses. Kalau cetak butuh mesin cetak dan infrastruktur penerbitan pada umumnya. Selama industri penerbitan buku pada umumnya busuk, maka komik juga busuk industrinya,” kataHikmat.
Baca juga: Sejarawan JJ Rizal Sebut Industri Buku Indonesia Bak Hutan Belantara
Dia berpendapat perlu perencanaan strategis yang matang dari pemerintah untuk menghadirkan bacaan termasuk komik kepada masyarakat hingga ke pelosok. Dengan demikian, ada multipihak yang membangun.
Sementara itu, Komikus Beng Rahadian menyebut sejatinya industri komik di Indonesia sudah bangkit secara kualitas maupun dari segi gagasan. Jika dibandingkan awal 1990an ketika komik diproduksi melalui fotokopi mahasiswa untuk melawan dominasi komik terjemahan.
Dia melihat bahwa perkembangan komik cukup signifikan karena munculnya kebebasan dalam berpekspresi dan berkarya. “Karya yang muncul bukan seperti komik industri misal action, drama, tetapi komik yang bermacam temanya. Ini kebangkitan baru,” imbuhnya.
Gaya visualnya pun menurut Beng tidak terpengaruh arus utama seperti komik Jepang atau Amerika. Namun yang jadi pembeda spesifik, jika dulu para komikus mengembangkan karya sendiri, saat ini, tidak sedikit yang mengerjakan IP orang lain seperti Marvel dan menjadi bagian industri global.
Tidak sedikit pula komikus muda yang menerobos logika pasar dengan memanfaatkan followers media sosial. Penghasilan mereka cukup besar hingga bisa membuat agensi atau manajemen sendiri. “Ketika media sosial menjadi lapangan pekerjaan. Sekarang banyak yang begitu dan pakai karakter mereka sendiri,” sebutnya.
Walaupun cara kerjanya baru, menurut Beng rata-rata metode yang dipakai mengulang dengan generasi sebelumnya. Yakni membuat komik strip yang sesekali dititipi iklan.
Kendati demikian, di tengah cara kerja baru ini, industri komik kehilangan komikus yang punya stamina untuk cerita panjang. Berbeda dengan komikus yang hadir pada 1960-1970an yang membuat komik sampai berjilid-jilid buku tebal.
“Perkembangannya berubah ke digital, tetapi cara bikin dan cara baca makin cepat karena mengikuti kebiasaan mengakses website detik hitungan. Tidak seperti dulu orang intensif baca komik dari halaman ke halaman,” ujar Beng.
Selain itu, komik digital banyak dikonsumsi secara gratis. Dalam hal ini, pengguna medsos cukup membeli kuotanya untuk mengakses konten komik secara gratis.
Adapun, untuk komik cetak masih ada harapan walaupun sedikit. Persoalannya adalah distribusinya susah, kalau andalkan distribusi konvensional seperti titip di penerbit toko buku, biaya yang dikeluarkan tinggi. Alhasil banyak penjual memilih menawarkan karyanya sendiri di marketplace.
Beng menyebut saat ini komik bisa diterbitkan secara indi asalkan memilki SBN. Selain itu, cetakannya pun bisa minimum, terdapat print on demand meskipun biaya tinggi. "Ketika medsos tumbuh, banyak komikus yang mengelola followers nya dengan baik sehingga bisa menafsirkan berapa komik yang bisa dicetak. Komik cetak tidak hilang tetapi semakin unik kehadirannya,” katanya.
Regenerasi
Menyoal regenerasi, Beng menyebut semakin banyak anak muda yang menjadi komikus di Tanah Air dan masif. Akan tetapi, jika zaman dulu komikus baru belajarnya terlihat karen gabung dengan komunitas, mendatangi acara, dan hanya segelintir pelakunya. "Kalau sekarang, tanpa komunitas pun mereka bisa melanjutkan sendiri karyanya."Potensi itu terus berkembang. Beng berujuar bahwa media boleh berubah, tetapi yang paling mendasar yakni cerita, tidak hilang dan tidak berubah. "Apa yang diceritakan yakni tentang budayanya, meskipun hal remeh temeh."
Dia menambahkan, budaya akan terus mengakar dalam komik Indonesia meskipun beda kedalaman. Di era perkembangan industri komik, mungkin budaya sangat kental digambarkan seperti Si Buta dari Gua Hantu yang menunjukkan pengetahuan tentang geografi nasional seperti Tanah Toraja, sekarang sudah tidak butuh lagi klaim ini.
“Misal karakter ini lebih ke Papua, sudah bukan lagi penting menyatakan itu. Yang menarik komik di Instagram gunakan bahasa daerah. Komik strip Minang, Bali, Bandung, Solo itu gunakan bahasa daerah,” terangnya.
Sementara itu, Beng berharap dengan kemunculan komikus baru dan gagasannya bukan hanya eksis dari segi konten saja, tetapi juga pemikiran. “Sudah saatnya komik terlibat dalam pemikiran yang besar. Ada komik Indonesia yang bisa jadi wacana internasional, bisa jadi perbincangan dan sesuatu yang bisa ditelatah, tidak lewat begitu saja,” katanya.
Baca juga: Pengin Jadi Komikus? Ada Mata Kuliah Komik di Vokasi Universitas Indonesia Lho!
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.