Ilustrasi membaca komik. (Sumber foto: Unsplash/ Miika Laaksonen)

Hypereport: Masa Depan Industri Komik Indonesia di Tengah Gempuran AI

14 May 2023   |   21:14 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Kecerdasan buatan memainkan peran penting dalam membentuk masa depan industri buku komik dan memengaruhi segalanya mulai dari pembuatan konten hingga konsumsi. Kolaborasi antara manusia dan AI dipercaya akan meningkatkan kualitas penceritaan buku komik, menciptakan pengalaman yang lebih menarik dan imersif bagi pembaca.

"Karakter pembaca komik [Indonesia] sudah bermacam-macam. Namun, Kalau ngomongin arus utama industri komik [Indonesia] memang sudah tidak bisa ngalahin manga," ujar seniman Rahman Seblat ketika ditemui Hypeabis.id.

Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Kontribusi Komikus Lokal dalam Pengembangan Industri Komik di Indonesia
2. Hypereport: Kejayaan Komik Indonesia Masih Sekadar Cerita
3. Hypereport: Semarak Alih Media Komik dan Ajang Eksplorasi Pengembangan IP

Membicarakan komik Indonesia memang ngeri-ngeri sedap. Kho Wan Gie, pelopor komik strip di Indonesia lewat karakter Put On di majalah Sin Po mungkin tertawa ngakak di kuburnya saat melihat perkembangan komik di Tanah Air. Sebab, laiknya teknologi, komik juga mengalami entitas perubahan yang signifikan.

Seblat, yang waktu itu menyambut dengan senyum dan tos kepalan tangan mengungkap, ragam cerita komik  tak hanya bergerak di arus utama industri mainstream. Alih-alih mengambil gaya bertutur ala manga Jepang, saat ini pun banyak karakter unik yang dibuat komikus lokal dengan pendekatan berbeda.
 


"Di Indonesia, ada beragam karakter anti mainstream dan unik yang banyak dibaca penggemar," papar Seblat sambil berburu kutu di antara bulu anjing peliharaannya. "Salah satu yang populer itu Tahilalat, ini juga bisa dijadikan khasanah baru di mana karakter tersebut bisa dijadikan produk turunan."

Adapun, produk turunan yang dia maksud adalah merchandise yang dibuat dari bentuk karakter. Bisa berupa kaos, gantungan kunci, sarung bantal, hingga mug atau tumbler yang dijual oleh kreator. Hal inilah yang menurutnya bisa membuat para kreator tetap berkelanjutan untuk terus berkarya.

Tak hanya itu, muncul juga karakter seperti Si Pentol yang dikreatori Nindiya Icha. Kendati cerita komik tersebut hanya terdiri dari beberapa sequences, tapi cerita dengan format seperti itulah yang saat ini diminati khalayak karena memang saat ini pembaca lebih menyukai komik yang dapat dibaca cepat.

Alih-alih, mengandalkan sequence, komik juga berkembang ke arah animasi sebagaimana dibuat oleh Naufal Faridurrazak lewat karakter Si Nopal. Kedua kreator tersebut juga menggunakan media sosial, khususnya Instagram untuk mengenalkan karya mereka. Platform inilah yang juga turut memengaruhi tren komik di Tanah Air.

Dari pembacaan Seblat, memang ada dua tegangan dalam industri komik. Yakni yang bergerak di jalur independen dan yang mengikuti arus utama geliat komik di industri mainstream. Keduanya pun turut menghasilkan puspa ragam komik yang kemungkinan semakin cerah di masa depan.

Namun, di tengah tempik sorai tersebut dia mengungkap mayoritas komikus saat ini lebih banyak membuat karya pendek. Alih-alih menciptakan story telling yang panjang mereka lebih memilih untuk menuruti tren pasar yang saat ini juga turut dibentuk oleh berbagai platform yang ada, khususnya media sosial.

Imbas dari hal ini pembaca manga konvensional lama-lama akan tergerus. Mereka jadi lebih suka scrolling, atau menonton di TikTok, dengan story komik lucu bergerak dan berdurasi pendek. "Ini juga jadi penyakit sosial lama-lama karena anak-anak tidak pernah bisa mencerna [story/tulisan] panjang."

Geliat kebangkitan komik di Indonesia pun juga tidak ditanggapi dengan serius oleh kreator. Pasalnya, secara industrial hingga saat ini masih belum banyak kreator yang memiliki stamina panjang dan konsisten membuat cerita berjilid.

Guru desain komunikasi visual itu pun mencontohkan komik Tintin yang dibuat oleh komikus asal Belgia, Herge dan berhasil menjadi salah satu karya legendaris di dunia komik yang berhasil mengeluarkan sampai puluhan seri.

"Mungkin Tahilalat ngeluarin [komik] tapi kan cuma potongan-potongan cerita aja [tidak terbaca sebagai satu sketsa] atau seperti Benny & Mice lewat Serba-Serbi Jakarta," jelas Seblat sambil menginjak-injak kutu hasil buruannya di lantai.


AI dan Peluang Komikus di Tanah Air

Tiga puluh dua jam setelah menghubungi Seblat, Hypeabis.id sempat menghubungi Beng Rahadian. Namun nasib berkata lain, komikus senior dan dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu nyatanya telah dihubungi oleh rekan lain untuk liputan yang sama.

Alhasil, sebuah nama terpacak dari narasumber yang diberikan Seblat, yakni Bagus Wahyu Ramadhan dari Asosiasi Komik Indonesia. Jam berdentang  di waktu Maghrib, setelah ilustrator asal Jakarta itu mengungkap via telepon saat ini industri komik memang cenderung beralih ke digital.

Bahkan, penerbit komik konvensional pun sudah mulai kembang kempis dan mulai menurunkan tiras cetak yang semula dari dua ribu eksemplar menjadi setengahnya karena tergerus tren digital.

Tak hanya itu, mereka pun hanya berani mencetak komik yang sudah memiliki kekayaan intelektual [intellectual property/IP] besar dan dikenal publik. Karena memang selera pasarnya sudah dibentuk melalui webtoon, media sosial atau yang  sebelumnya sudah lekat di benak khalayak seperti komik Bumi Langit yang memiliki kans besar.

Namun, bukan berarti komik konvensional akan mati. Menurutnya komik dalam format cetak ini juga memiliki pasarnya sendiri. Selain itu, dengan melihat potensi para kreator di Indonesia ada kemungkinan komik konvensional juga masih akan bertahan dari gempuran tren digital.

Menurut Wahyu, Indonesia sebenarnya memiliki pasar yang tinggi sebagai penikmat komik. Di antara sepuluh jajaran komik di Line Webtoon, bahkan ada beberapa karya komikus lokal yang disukai pembaca. Yaitu WEE!!! dari Amoeba Uwu, dan My Pre-wedding karya besutan Annisa Nisfihani.

"Kalau kita bahas head to head-nya dengan Line Webtoon, komik-komik luar mereka itu secara statistik memang lebih populer dibanding dengan komik lokal. Namun, pembacanya tetap ada dan masif juga," tutur Wahyu.

Sementara itu, di ranah media sosial ungkap Wahyu, para kreator saat ini lebih sering menjadikan karakter ciptaan mereka untuk mempromosikan produk tertentu. Pasalnya, algoritma platform tersebut khususnya Instagram sudah mulai berubah sehingga membuat mereka semakin susah untuk menumbuhkan potensi karakter yang dibuat.

Selain itu, media sosial saat ini pun hanya jadi wadah dari perpanjangan webtoon untuk mendulang followers tambahan. Dari sinilah kemudian kelak muncul dua nama yang cukup populer di kalangan anak muda, yakni Tahilalat dan Si Juki yang memiliki IP cukup besar dalam blantika Industri komik digital.

Wahyu juga tak menampik keberadaan AI bisa digunakan sebagai salah satu alat penunjang komikus untuk berkarya. Teknologi yang belakangan membuat geger itu bisa menjadi alat untuk brainstorming awal dalam pembuatan komik.

Pasalnya, dari hasil percobaan beberapa krator di Tanah Air menurutnya hasil teknologi tersebut masihlah sangat dasar dan perlu dikembangkan lagi. Sehingga diperlukan sentuhan lain dari sang seniman agar lebih bisa dinikmati oleh penggemar yang saat ini pun beragam.

"Artinya, itu jadi hal yang bisa membantu mereka dalam berkarya. Tapi sekali lagi jangan sampai AI jadi alat utama. Kalau bisa tetap mendorong diri dalam berkarya sehingga kreator punya pembeda atau nilai plus bahkan dari AI," papar wahyu.

Pada kesempatan lain, Archie The RedCat komikus di balik komik daring Eggnoid mengungkap sejauh ini teknologi AI juga hanya masih terbatas pada meniru cara menggambar manusia. Sehingga masih memiliki kekurangan banyak yang mendasar untuk mengembangkan cerita sebuah komik.

Karena sebatas prompt dari algoritma, teknologi tersebut juga tidak bisa membuat roh atau identitas 'kemanusiaan' dalam komik. Padahal, komik tidak hanya berisikan gambar, tetapi juga gaya penceritaan, yang bisa di ekpresikan dengan paneling, pengambilan adegan, gestur karakter dan banyak detail mikro lain yang khas dan hanya dimiliki oleh penulis.

"Mungkin suatu saat AI juga bisa meniru hal ini, tapi jika saat itu terjadi masih ada manusia yang punya ide dan penyutradaraan nya sendiri, jadi lebih ke [personal] komikus saja mau sejauh apa mengunakan teknologi untuk memeciptakan karya komik bagi penggemar," papar Archie.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Anti Telat Ngantor, Cek Rekomendasi 5 Indekos Eksklusif untuk Pasutri di Jakarta

BERIKUTNYA

Mengenal Flu Babi Afrika yang Merebak di Batam, Menular ke Manusia Enggak Ya?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: