Banyak komik dan manga makin sukses berkat eksplorasi alih media. (Sumber foto: Arif P./Hypeabis.id) )

Hypereport: Semarak Alih Media Komik dan Ajang Eksplorasi Pengembangan IP

14 May 2023   |   11:50 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Ketika mendengar kata komik, mungkin manga dan manhwa jadi dua di antara istilah yang melintas di kepala Genhype. Beberapa lainnya mungkin membayangkan komik-komik legendaris asal Amerika yang sudah malang melintang bisnis intellectual property (IP)-nya, seperti Marvel atau Detective Comics (DC). Belakangan, deretan komik sukses dialih media menjadi film dan serial televisi.
 
Alih media ini bisa dibilang sebagai proses turunan IP yang dilakukan sebagai  upaya melebarkan sayap industri bisnis. Bukan hanya soal cuan, alih media juga dilakukan dengan tujuan menjaring pasar baru di luar pengikut komik. Tidak hanya Amerika dan Jepang, komik modern Indonesia juga punya sejarahnya sendiri yang dimulai sejak 1930-an.
 
Baca juga: 
Hypereport: Kontribusi Komikus Lokal dalam Pengembangan Industri Komik di Indonesia

Hypereport: Kejayaan Komik Indonesia Masih Sekadar Cerita

Salah satu legenda komikus Indonesia yang kini dianggap sebagai Bapak Komik Indonesia, Raden Ahmad (RA) Kosasih, memulai guratannya sejak 1953. Semasa hidupnya, RA Kosasih pernah bekerja untuk perusahaan penerbit Melodie. Di sanalah Kosasih menelurkan karakter komik superhero Indonesia pertama bernama Sri Asih pada 1954. Karya yang begitu populer pada masanya itu kembali dihidupkan oleh Elex Media Komputindo melalui penerbitan ulang karya Kosasih setidaknya dalam satu dekade terakhir.
 
Tren alih media komik yang dilakukan Marvel dan DC hampir dua dekade terakhir turut mendorong bisnis kreatif di beberapa negara ikut tergerak. Misalnya saja Bumilangit Entertainment yang turut mengalih media komik karya komikus legendaris Indonesia, termasuk karya RA Kosasih, Jan Mintaraga, hingga Hasmi. Hasilnya, muncullah film-film superhero yang sukses mendulang pasar pencinta film.
 
Sri Asih,  Gundala, hingga Virgo & The Sparklings merupakan tiga film dari Bumilangit Entertainment yang sukses menggebrak industri IP superhero Indonesia. Untuk mengalih media versi komik ke film, Wim Berlinawan, General Manager Bumilangit Studios menyebut ada sejumlah tantangan besar yang harus dilalui. Memilih sutradara yang tepat dan menyeimbangkan ekspektasi penggemar karakter adalah dua di antaranya.
 
Wim mengatakan jika film harus mampu menceritakan karakter yang sudah ada dalam bahasa sinematografi. Apalagi adaptasi film diterjemahkan dalam medium karakter yang berbeda dari animasi atau sketsa menjadi live action.

Film yang diangkat dari komik setidaknya harus mampu merangkai ranah imajinasi fiksi dan pengayaan sosial terlihat terhubung dengan baik, begitu kata Wim. “Bahasa film itu bisa lebih luas dan universal dari apa yang sudah ada di komik,” tegas Wim saat dihubungi Hypeabis.id pada Jumat (12/5/2023).
 
Ranah kreativitas pun tetap bermain. Bukan semata-mata kisah adaptasi diangkat penuh menjadi plot cerita di film. Sebagian besar film yang berbasis dari karakter dan komik legendaris di Bumilangit pun tak mengambil adaptasi penuh. Creative General Manager Bumilangit Entertainment, Iwan Nazif mengatakan ada titik yang diputar untuk membuat orang tertarik. Misalnya saja,  karakter Sancaka yang dikenal dengan nama superhero Gundala di Bumilangit.
 
Pada versi komiknya, Sancaka berprofesi sebagai ilmuwan, sementara dalam versi film Sancaka memiliki pekerjaan sebagai satpam. Di tengah film berjalan, ada kisi tersirat yang ditawarkan kepada penonton yang ternyata mengundang perhatian penggemar karakter Gundala versi komik.

“Hint seperti ini justru mengundang penggemar mengeluarkan teorinya masing-masing yang justru memperkaya perbincangan di komunitas,” terangnya. Maka sebetulnya, industri film tak seharusnya terbebani dengan ekspektasi pengikut komik.
 
Seperti yang dikatakan General Manager Bumilangit Comic, Is Yuniarto, bahwa ekspektasi ini justru menjadi sebuah tantangan dalam dunia film. Tak bisa dipungkiri, ekspektasi penggemar komik klasik memiliki pola, bentuk, dan ceritanya sendiri. Namun Bumilangit terus memandang ke depan. Is menyebut, Bumilangit berusaha menggabungkan dan meramu konsepnya agar sesuai dengan target pasar dari setiap produk filmnya itu sendiri.
 
“Sancaka atau Gundala ini sudah dibentuk sejak tahun 1970-an. Tentu karakter pakaiannya menyesuaikan pada zamannya. Kita memilih melakukan peremajaan dalam penampilannya itu,” terang Is.

Cerita pada film pun akan menyesuaikan dari arahan kreatif dengan zaman yang lebih modern. Itulah mengapa Bumilangit acap kali menyelipkan isu sosial dan kultural untuk membuat film ini terasa mengena di hati penontonnya.
 
Tujuan penggarapan film dari karakter komik ini sebetulnya untuk menangkap audiens yang justru tidak pernah membaca komiknya. Maka audiens yang tak membaca komik-komik dari karakter ini pun bisa menikmati cerita dari medium yang berbeda. Bahkan Wim mengatakan, pembaca komik merupakan bonus dari tangkapan audiens itu.

“Komunitas komik lebih punya preferensi untuk tetap dengan koridor cerita orisinilnya. Sebagian mungkin kurang srek melihat perubahan klasik ke ranah film. Namun enggak bisa dipungkiri kalau banyak yang justru antusias dan menantikan,” jelas Wim.
 
Is mengatakan memang cukup melihat tren pengangkatan cerita dari jaringan IP komik ke film, termasuk komik-komik digital. “Ada sebuah tren di mana produser mencari IP dari komik. Di Indonesia juga banyak terlihat. Misalnya kita yang mengolah karakter Virgo jadi film Virgo & The Sparklings, berangkat dari komik klasik yang dibuat dengan konsep baru dengan audiens remaja putri,” jelas Is.

Proses ini turut memberi angin segar tentang masa depan alih media komik ke film yang berkaitan erat dengan cara perusahaan mengembangkan bisnis IP-nya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk soal kekinian. 
 
Sebuah penelitian yang dilakukan Liam Burke dari Swinburne University of Technology pada 2015 pun menjabarkan jika industri film tidak hanya asal terima dan mengubah komik utuh menjadi film. Film adaptasi menarik pasar yang luas. Tren ini justru menjadi tantangan sekaligus rangsangan bagi industri film untuk mengeksplorasi dan memperkaya turunan dari media komik, yang mungkin pernah diabaikan pada masanya.
 
Animasi Curi Perhatian 
Tren yang sama juga terjadi tidak hanya pada komik yang diangkat ke ranah film live action, tetapi juga film animasi. Faza Meonk, pengkarya di balik karakter Si Juki punya prinsip kuat untuk mempertahankan karakter besutannya itu dalam bentuk animasi. Berawal dari keisengannya membuat Si Juki pada 2010, siapa sangka jika IP karakter ini melesat dan mendapat banyak perhatian.
 
“Sebetulnya awalnya banyak yang nawarinnya bukan film animasi, tapi live action. Saya selalu menolak. Saya merasa punya concern di industri animasi dan komik. Saya masih mau komik ini diadaptasi menjadi animasi,” jelas Faza.
 
Namun Faza cukup mengerti mengapa industri perlu berpikir dua kali soal adaptasi ke film animasi ini. Selain persoalan budget, proses pembuatan film animasi juga memakan waktu yang lebih lama daripada versi live action. Si Juki The Movie sendiri membutuhkan waktu produksi setidaknya dua tahun untuk durasi film rata-rata 100 menit. Belum lagi persoalan kuantitas sumber daya manusia yang kurang dan membuat kerja kewalahan.

Si Juki kemudian digarap dalam bentuk film dengan judul SI Juki The Movie: Panitia Hari Akhir pada 2017 dan Si Juki The Movie; Harta Pulau Monyet pada 2020. Dua film dari jagat Si Juki ini digarap langsung oleh Faza selaku sutradara. Faza tak menampik soal tren alih media komik ke film.

Menurutnya, perusahaan film seringkali mencari konten film dari media buku populer dengan suatu alasan. “Sudah punya pembaca setianya. Apalagi buku yang best seller. Untuk membuat film ini membutuhkan investasi yang besar, sehingga mereka harus memastikan film yang dibuat ini paling tidak sudah punya penggemar setianya dan meng-convert mereka untuk menonton filmnya,” jelas Faza.
 
Meski begitu, membuat film animasi punya tantangan yang terbilang khusus. Ini juga bisa menjadi uji coba untuk melihat pasar penikmat komik dan film. Pasalnya, pasar untuk keduanya sudah pasti beririsan. Itu karena cara menikmati komik dan film memiliki sejumlah perbedaan, termasuk effort untuk membaca atau menonton tergantung preferensi setiap individu. Namun Faza menyebut, pasar film memang akan lebih besar daripada buku dan komik. Justru dua medium bisa bisa saling mengundang pasar baru.

“Ada yang pembaca komik akhirnya nonton filmnya, ada yang justru karena nonton filmnya jadi penasaran dengan cerita di komiknya. Tidak terlalu susah untuk mengkonversi penikmat yang sudah mengetahui karakternya," terangnya.
 
Dengan segudang tantangan yang ada, alih media komik ke film animasi tetap potensial. Faza mengiyakan, jika risiko lebih kecil mungkin bukan dari film animasi. Tapi bukan berarti film animasi tidak potensial. Apalagi, film animasi cenderung timeless dan bisa ditonton semua umur, yang artinya pasarnya lebih luas lagi. Setidaknya, film animasi merupakan medium yang menarik untuk dicoba.
 
Baca juga: Hypereport: Ketika Pendidikan dan Keahlian Bukan Jaminan Bagi Generasi Muda Sukses di Dunia Kerja

Terlepas dari itu semua, Bumilangit optimistis jika tren alih media ini akan terus menanjak. Bukan hanya dari komik-komik yang diambil dari kisah legendaris, tetapi juga komik digital yang sudah mengantongi bukti pasar audiensnya. Optimisme itu juga senada dengan yang disampaikan Faza. Bahwa meski terlihat sulit, adaptasi film tetap pada bentuk animasi di Indonesia punya potensi yang besar.
 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Gandeng Komunitas Pelari, Road to Maybank Marathon 2023 Digelar di 6 Kota

BERIKUTNYA

Bosan dengan Gaya Rambut yang Itu-itu Aja? Coba 5 Potongan Mullet Pendek Ikonik Ini

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: