Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Pixabay/Pexels)

Sejarawan JJ Rizal Sebut Industri Buku Indonesia Bak Hutan Belantara

25 April 2023   |   13:40 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Industri perbukuan di Indonesia tercatat terus mengalami pertumbuhan dalam beberapa waktu terakhir. Menurut hasil riset Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020, terdapat lebih dari 5.200 entitas yang menerbitkan buku di Indonesia. Secara rata-rata, dari jumlah tersebut, sebanyak 62 persen atau 3.280 entitas merupakan perusahaan penerbitan dengan orientasi bisnis baik skala kecil, menengah, maupun besar.

Sementara dari jumlah judul buku yang terbit terjadi pertumbuhan secara konsisten dalam 3 tahun terakhir dan dalam persentase yang cukup signifikan. Dari 2017 ke 2018 terjadi pertambahan jumlah judul buku terbit sebanyak 16.162 judul atau naik 25,8 persen. Sedangkan dari 2018 ke 2019 terjadi pertambahan judul buku terbit sebanyak 16.749 judul atau tumbuh 21,2 persen.

Baca juga: Begini Potret Industri Buku Indonesia pada Era Disrupsi Digital

Kendati demikian, Sejarawan sekaligus Pendiri Komunitas Bambu JJ Rizal mengatakan industri perbukuan di Tanah Air tak ubahnya seperti hutan belantara di mana semua pelakunya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada sebuah sistem distribusi yang terang bagi penerbit, begitupun menjamin proses akses buku yang mudah bagi pembaca di seluruh pelosok negeri.

Industri perbukuan masih mengalami banyak persoalan mulai dari hulu hingga hilir yang seolah sulit untuk terpecahkan, karena selama ini negara dianggap tidak hadir untuk turun tangan secara langsung dalam upaya membuat ekosistem perbukuan yang lebih baik.

Dari proses percetakan, kertas baca yang digunakan sebagai bahan baku utama buku masih diimpor dari luar negeri. Sementara dari sisi distribusi, penerbit menghadapi tantangan terkait ketentuan pembagian royalti atau keuntungan penjualan buku yang mencapai 50 persen-58 persen dari toko-toko buku besar yang dinilai memberatkan, hingga maraknya buku bajakan yang dijual di marketplace.

Belum lagi, buku juga masih sulit untuk diakses khususnya bagi masyarakat Indonesia di bagian Timur. Cenderung terpusatnya industri perbukuan di Pulau Jawa membuat tarif ongkos kirim buku ke daerah-daerah Indonesia di bagian Timur relatif mahal, sehingga harga buku yang dijual mau tidak mau harus dinaikkan sekitar 15 persen-20 persen dari harga jual di Jawa.

"Jadi orang Indonesia Timur yang dalam statistik ekonominya lebih rendah harus membayar lebih mahal dalam membaca atau mengakses buku daripada orang Jawa," kata Rizal.
 

Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Alexander Wende/Unsplash)

Ilustrasi toko buku (Sumber gambar: Alexander Wende/Unsplash)

Oleh karena itu, Rizal menilai bahwa negara seharusnya hadir untuk menyelamatkan industri perbukuan nasional sebagai salah satu garda terdepan untuk upaya pencerdasan kehidupan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam hal ini, pemerintah bisa membentuk semacam Dewan Perbukuan Nasional yang menangani permasalahan industri perbukuan nasional mulai dari hulu hingga hilir. Sebab, menurutnya, Ikapi atau Ikatan Penerbit Indonesia sebagai satu-satunya asosiasi penerbitan di Indonesia tidak ikut andil secara langsung dalam mengurai permasalahan di industri penerbitan.

Dari sisi bahan baku, pemerintah bisa memberikan subsidi kertas kepada penerbit untuk mengurangi ongkos cetak. Sementara dari sisi distribusi, Dewan Perbukuan Nasional bisa mengaitkan industri buku dengan sejumlah perpustakaan umum daerah (Perpumda) di seluruh Indonesia.

Dengan begitu, Perpumda memiliki akses terhadap buku-buku yang dianggap memperkaya wawasan masyarakat dari penerbit, sehingga menjadi bahan bacaan yang bisa diakses dengan mudah oleh siapapun. Selain itu, di tiap perpumda juga bisa menghadirkan toko buku, lalu pemerintah bekerja sama dengan Pos Indonesia untuk memudahkan proses pengiriman buku dengan ongkos yang murah.

"Jadi penerbit tidak lagi menghadapi persoalan distribusi. Karena begitu mereka cetak dan lapor ke Perpusnas lalu terkoneksi dengan Dewan Perbukuan Nasional, pemerintah bisa membeli buku-buku sebagai bacaan di perpumda," kata Rizal.

Di sisi lain, proses distribusi yang belum berjalan dengan baik juga membuat akhirnya penerbit menghadapi persoalan lain yakni menumpuknya buku-buku di gudang penyimpanan. Hanya sedikit penerbit yang memiliki gudang dengan standar yang baik untuk menjaga kualitas buku-buku mereka.

Akhirnya, kebanyakan penerbit kini juga memberlakukan sistem print on demand atau mencetak buku sesuai permintaan, untuk menghindari risiko penumpukan yang membuat buku menjadi rusak sehingga harganya anjlok. 

Baca juga: Resensi Buku Lantak La, Sebuah Petualangan Seru Penuh Imajinasi

Dalam hal ini, Rizal menilai pemerintah juga bisa membantu menyediakan gudang di setiap wilayah untuk industri perbukuan nasional. "Di tengah krisis pemikiran dan nilai saat ini, industri perbukuan ini perlu ditengok," ujarnya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Penyanyi Raissa Ramadhani Rilis Single Kedua bertajuk Perlahan Lepaskanmu

BERIKUTNYA

Sejarah & Makna Halalbihalal yang Sering Dilakukan saat Lebaran, Ternyata Ini Asal Usulnya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: