Profil Sinematografer Ical Tanjung tentang Film, Proses Berkarya, dan Keluarga
21 November 2022 |
16:24 WIB
Orang ini ikut berperan menciptakan suasana teror mengerikan dalam film Pengabdi Setan 2: Communion. Bukan lewat adegan, tetapi penataan gambar pada setiap adegan. Warna dan cahaya yang dibuatnya mampu menghadirkan suasana mencekam dalam film tersebut.
Dia adalah Ical Tanjung, sinematografer Pengabdi Setan 2: Communion. Bukan yang pertama, sebelumnya Ical juga berkontribusi dalam mengolah sinematografi Pengabdi Setan. Berkat kepiawaiannya mengolah visual film tersebut, Ical diganjar penghargaan Piala Citra 2017 untuk kategori Pengarah Sinematografi Terbaik.
Baca juga: Film Pengabdi Setan 2: Communion Tayang di Disney+ Hotstar, Teror Ibu Datang Lagi!
Pada tahun ini, nama Ical juga kembali masuk nominasi pada kategori sama untuk film Pengabdi Setan 2: Communion. Seperti apa perjalaan karier Ical di dunia sinematografi Indonesia? Simak laporan berikut ini yang dihimpun dari Bisnis Indonesia Weekend 2018.
Ical kecil tumbuh saat industri film Indonesia tengah menggeliat pada medio 1980 hingga 1990an. Ical yang tinggal di Ibu Kota merasakan serunya menonton bioskop di layar lebar. Baik layar bioskop maupun layar tancap. Tontonan favoritnya adalah film-film laga yang dibintangi oleh aktor Bari Prima, Advent Bangun, dan lainnya.
Tidak cuma menonton, Ical juga terkadang mengumpulkan potongan seluloid yang tak terpakai usai pemutaran film layar tancap. Potongan seluloid itu, Ical proyeksikan dengan lampu senter sehingga memunculkan gambar. Jika tidak, dia buat proyeksi dari kemasan makanan plastik. “Mungkin hal itu terbawa terus hingga dewasa,” kenangnya.
Seiring waktu, pengalaman visual Ical makin berkembang. Dia mulai menyenangi tayangan-tayangan film dokumenter.
Berkarier sebagai orang di balik layar pun dipilih sebagai cita-citanya. Demi memuluskan hal itu, dia melanjutkan studi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan televisi. Harapannya bila lulus, dia dapat bekerja sebagai penata kamera berita atau dokumenter.
Baca juga: Simak Profil Upi, Sang Sutradara Sri Asih di Jagat Bumilangit Cinematic Universe
Seusai menamatkan studinya Ical mulai menapaki jalannya. Dia justru terlibat beberapa proyek sebagai asisten kameramen sejumlah video klip musik. Hal itu rupanya rupanya belum cukup memuaskan Ical karena merasa dirinya belum berada di sana. Hingga akhirnya tawaran sebagai sinematografer film layar lebar menghampirinya.
Pada 2003, untuk pertama kalinya Ical membesut sinematografi film 30 Hari Mencari Cinta. Bak gayung bersambut. Dari film itu, nama Ical mulai dikenal di belantika perfilman nasional. Dia pun dipercaya oleh sejumlah sutradara untuk menangani visual film mereka.
Sejak saat itu, Ical memantapkan pilihannya berkarier di dunia sinematografi. Bagi Ical, kareir di dunia sinematografi menuntut insting visualnya untuk lebih tajam. Dia ditantang menghadirkan bagaimana pencahayaan-pencahayaan dalam film sealamiah mungkin. Saat penonton menyaksikannya, mereka tidak menyadari bahwa suasana adegan itu telah diatur oleh sinematografer.
“Buat saya menciptakan mood lighting itu merupakan pekerjaan menarik,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah Ical mesti dapat menerjemahkan secara visual gagasan dari sutradara dan produser film. Skenario yang masih berupa kata-kata harus dimunculkan dalam bentuk cerita visual. Tetapi Ical tidak bisa lakukan hal ini sendiri melainkan juga harus mampu berkolaborasi dengan desainer produksi.
“Tugas saya mewujudkan visual produser atau sutradara,” tuturnya.
Baca juga: Review Sri Asih, Aksi Superhero Wanita yang Penuh Plot Twist
Untuk mendapat capaian visual yang diinginkan, Ical tak luput melakukan riset mendalam. Dia pergi ke suatu tempat di sudut-sudut kota. Mengamati gedung-gedung pencakar langit. Melihat sesuatu yang viral di sosial media. Menelusuri karya-karya sinematografer dunia. Kemudian mengamati karya-karya fotografi. Proses kreatif inilah yang dilakukan oleh Ical untuk menghasilkan suatu karya.
“Kadang di luar kesibukan saya jalan mengamati hal sekitar. Saat itu memang tidak digunakan tetapi nanti bakal berguna,” ujarnya.
Soal selera visual, Ical sendiri menyenangi situasi-situasi gelap. Sebab bukan hal yang mudah mengeksplorasi hal itu. Sebagai sinematografer, dia dituntut untuk menampilkan kegelapan yang dapat dipahami oleh penonton.
“Syuting gelap tidak mungkin tidak pakai lampu. Tugas sinematografer adalah membuat penonton percaya bahwa adegan itu gelap,” tuturnya.
Menghadirkan kegelapan ini merupakan satu dari sekian capaian yang ingin diraih oleh Ical. Menjadi sinematografer bukan berarti Ical berada di zona nyaman. Sebaliknya dia terus dituntut untuk mencari capaian-capaian baru sebagai sinematografer. Dengan begitu, dia dapat memperbaharui kemampuannya mengolah sinematografi.
Jika tidak melakukannya, Ical bisa saja tersingkirkan. Apalagi industri film saat ini tengah berkembang pesat. Seluruh insan perfilman termasuk sinematografer dituntut untuk menyuguhkan kebaruan kepada penonton. Apabila tidak diindahkan, siap-siap penonton akan meninggalkan karya-karya mereka.
Dia adalah Ical Tanjung, sinematografer Pengabdi Setan 2: Communion. Bukan yang pertama, sebelumnya Ical juga berkontribusi dalam mengolah sinematografi Pengabdi Setan. Berkat kepiawaiannya mengolah visual film tersebut, Ical diganjar penghargaan Piala Citra 2017 untuk kategori Pengarah Sinematografi Terbaik.
Baca juga: Film Pengabdi Setan 2: Communion Tayang di Disney+ Hotstar, Teror Ibu Datang Lagi!
Pada tahun ini, nama Ical juga kembali masuk nominasi pada kategori sama untuk film Pengabdi Setan 2: Communion. Seperti apa perjalaan karier Ical di dunia sinematografi Indonesia? Simak laporan berikut ini yang dihimpun dari Bisnis Indonesia Weekend 2018.
Mengumpulkan Seluloid
Tak ada keberhasilan yang diraih secara instan begitu pula dengan Ical. Untuk berada di posisi sekarang, Ical harus melewati proses yang tidak pendek. Proses itu dijalani oleh pria kelahiran Jakarta ini secara konsisten.Ical kecil tumbuh saat industri film Indonesia tengah menggeliat pada medio 1980 hingga 1990an. Ical yang tinggal di Ibu Kota merasakan serunya menonton bioskop di layar lebar. Baik layar bioskop maupun layar tancap. Tontonan favoritnya adalah film-film laga yang dibintangi oleh aktor Bari Prima, Advent Bangun, dan lainnya.
Tidak cuma menonton, Ical juga terkadang mengumpulkan potongan seluloid yang tak terpakai usai pemutaran film layar tancap. Potongan seluloid itu, Ical proyeksikan dengan lampu senter sehingga memunculkan gambar. Jika tidak, dia buat proyeksi dari kemasan makanan plastik. “Mungkin hal itu terbawa terus hingga dewasa,” kenangnya.
Seiring waktu, pengalaman visual Ical makin berkembang. Dia mulai menyenangi tayangan-tayangan film dokumenter.
Berkarier sebagai orang di balik layar pun dipilih sebagai cita-citanya. Demi memuluskan hal itu, dia melanjutkan studi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan televisi. Harapannya bila lulus, dia dapat bekerja sebagai penata kamera berita atau dokumenter.
Baca juga: Simak Profil Upi, Sang Sutradara Sri Asih di Jagat Bumilangit Cinematic Universe
Mengawali Karier dari Video Musik
Seusai menamatkan studinya Ical mulai menapaki jalannya. Dia justru terlibat beberapa proyek sebagai asisten kameramen sejumlah video klip musik. Hal itu rupanya rupanya belum cukup memuaskan Ical karena merasa dirinya belum berada di sana. Hingga akhirnya tawaran sebagai sinematografer film layar lebar menghampirinya. Pada 2003, untuk pertama kalinya Ical membesut sinematografi film 30 Hari Mencari Cinta. Bak gayung bersambut. Dari film itu, nama Ical mulai dikenal di belantika perfilman nasional. Dia pun dipercaya oleh sejumlah sutradara untuk menangani visual film mereka.
Sejak saat itu, Ical memantapkan pilihannya berkarier di dunia sinematografi. Bagi Ical, kareir di dunia sinematografi menuntut insting visualnya untuk lebih tajam. Dia ditantang menghadirkan bagaimana pencahayaan-pencahayaan dalam film sealamiah mungkin. Saat penonton menyaksikannya, mereka tidak menyadari bahwa suasana adegan itu telah diatur oleh sinematografer.
“Buat saya menciptakan mood lighting itu merupakan pekerjaan menarik,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah Ical mesti dapat menerjemahkan secara visual gagasan dari sutradara dan produser film. Skenario yang masih berupa kata-kata harus dimunculkan dalam bentuk cerita visual. Tetapi Ical tidak bisa lakukan hal ini sendiri melainkan juga harus mampu berkolaborasi dengan desainer produksi.
“Tugas saya mewujudkan visual produser atau sutradara,” tuturnya.
Baca juga: Review Sri Asih, Aksi Superhero Wanita yang Penuh Plot Twist
Proses Kreatif
Untuk mendapat capaian visual yang diinginkan, Ical tak luput melakukan riset mendalam. Dia pergi ke suatu tempat di sudut-sudut kota. Mengamati gedung-gedung pencakar langit. Melihat sesuatu yang viral di sosial media. Menelusuri karya-karya sinematografer dunia. Kemudian mengamati karya-karya fotografi. Proses kreatif inilah yang dilakukan oleh Ical untuk menghasilkan suatu karya.“Kadang di luar kesibukan saya jalan mengamati hal sekitar. Saat itu memang tidak digunakan tetapi nanti bakal berguna,” ujarnya.
Soal selera visual, Ical sendiri menyenangi situasi-situasi gelap. Sebab bukan hal yang mudah mengeksplorasi hal itu. Sebagai sinematografer, dia dituntut untuk menampilkan kegelapan yang dapat dipahami oleh penonton.
“Syuting gelap tidak mungkin tidak pakai lampu. Tugas sinematografer adalah membuat penonton percaya bahwa adegan itu gelap,” tuturnya.
Menghadirkan kegelapan ini merupakan satu dari sekian capaian yang ingin diraih oleh Ical. Menjadi sinematografer bukan berarti Ical berada di zona nyaman. Sebaliknya dia terus dituntut untuk mencari capaian-capaian baru sebagai sinematografer. Dengan begitu, dia dapat memperbaharui kemampuannya mengolah sinematografi.
Jika tidak melakukannya, Ical bisa saja tersingkirkan. Apalagi industri film saat ini tengah berkembang pesat. Seluruh insan perfilman termasuk sinematografer dituntut untuk menyuguhkan kebaruan kepada penonton. Apabila tidak diindahkan, siap-siap penonton akan meninggalkan karya-karya mereka.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.