Profil Sinematografer Ical Tanjung tentang Film, Proses Berkarya, dan Keluarga
21 November 2022 |
16:24 WIB
Di balik menggeliatnya industri ini, Ical dan sinematografer lain juga tak jarang harus menarik nafas dalam. Alasannya, skala produksi film di Indonesia belum begitu besar. Bujet produksi masih terbatas. Menyikapi hal ini sinematografer pun harus sekreatif mungkin berkarya di tengah keterbatasan.
Selain itu beberapa peralatan pendukung seperti kamera dan lensa yang digunakan di Indonesia belum secanggih di negara-negara maju. Padahal, pelaku perfilman di Indonesia mampu membeli alat-alat tersebut. Tetapi pajak yang tinggi untuk peralatan tersebut membuat mereka enggan berinvestasi lebih.
Efeknya, kesempatan sinematografer mempelajari alat-alat baru tidak begitu terbuka. Sementara di sisi lain mereka harus mengikuti perkembangan teknologi film dunia.
Meskipun demikian, Ical mengatakan, beberapa peralatan sinematografi standar Hollywood mulai ada di Indonesia. Dia pun berani bertaruh bila secara kualitas, sinematografer Indonesia tidak kalah dengan sinematografer di Hollywood.
“Kembali perbedaannya, hanya skala produksi. Di Indonesia film diproduksi dengan bujet yang pas sementara Hollywood bujet begitu besar. Alhasil set yang dibangun berbeda. Begitu pula dengan alat-alat yang digunakan,” ujarnya.
Walau belum berada pada kondisi ideal tidak membuat Ical berpikir meninggalkan profesinya ini. Dia masih kukuh pada pendiriannya, ingin menjadi sinematografer andal. Profesi ini sudah menjadi jalan hidupnya. Bukan hanya mendatangkan rupiah tetapi juga sejalan dengan hobinya memotret. Sebab, cara kerja sinematografer dengan fotografer cukup beririsan. Sama-sama mengambil gambar. Hanya, hasil akhir yang berbeda.
“Jadi itulah yang membuat saya tetap mencintai profesi ini,” ujarnya.
Sejauh ini Ical merasa keberhasilannya diraih berkat prinsip yang dianutnya sejak lama. Tetap berkarya dalam kondisi apa pun.Oleh sebab itu pria yang mengagumi sinematografer Roger Deakins ini ingin hidupnya dihabiskan untuk menghasilkan karya.
Sebab berkaca pada sinematografer dunia, banyak yang masih berkarya meski memasuki usia senja. Dia percaya dengan terus berkarya maka membuatnya dapat terus bertahan dan meraih prestasi di industri perfilman.
Sementara itu menyinggung keberhasilan, ayah empat anak ini berpendapat saat seseorang sukses menciptakan karya bukan hanya untuk diri sendiri melainkan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks dirinya, Ical mengatakan, keberhasilan adalah saat karya-karya sinematografinya diterima oleh masyarakat. Soal untung rugi dan penghargaan, Ical anggap sebagai bonus. Selebihnya dia akan bahagia jika penonton dapat menikmati sentuhan sinematografinya.
Selain membahagiakan penonton, Ical tak surut untuk membahagiakan keluarganya. Di tengah kesibukannya, dia berusaha menyediakan waktu untuk sang istri Aine Anyelier dan keempat anaknya, Alebasil Khatulistiwa, Khordi Saga, Lua Savana, dan Shayn Medina. Mereka adalah penyemangat Ical berkarier sebagai sinematografer.
“Kalau di rumah, saya juga kadang memperhatikan lighting anak sendiri,” ujarnya tertawa.
Bila ada waktu luang, Ical mengajak mereka untuk liburan. Tetapi jika saking sibuknya, Ical tak sungkan untuk mengajak mereka ke lokasi syuting sembari liburan.
Ical juga merasa beruntung memiliki Aine yang dikenalnya sejak zaman kuliah. Sang istri, bagi Ical merupakan kritikus terbaik karya-karya sinematografinya. Tak jarang kritikan pedas dilancarkan Aine saat karya Ical dianggap kurang bagus. Walaupun begitu, Ical bahagia karena istrinya tetap mendukung kariernya hingga kini.
Baca juga: Film Pengabdi Setan 2: Communion Jadi yang Tercepat Capai 5 Juta Pada Tahun Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Selain itu beberapa peralatan pendukung seperti kamera dan lensa yang digunakan di Indonesia belum secanggih di negara-negara maju. Padahal, pelaku perfilman di Indonesia mampu membeli alat-alat tersebut. Tetapi pajak yang tinggi untuk peralatan tersebut membuat mereka enggan berinvestasi lebih.
Ical Tanjung (Sumber gambar: Dok. Pribadi)
Efeknya, kesempatan sinematografer mempelajari alat-alat baru tidak begitu terbuka. Sementara di sisi lain mereka harus mengikuti perkembangan teknologi film dunia.
Meskipun demikian, Ical mengatakan, beberapa peralatan sinematografi standar Hollywood mulai ada di Indonesia. Dia pun berani bertaruh bila secara kualitas, sinematografer Indonesia tidak kalah dengan sinematografer di Hollywood.
“Kembali perbedaannya, hanya skala produksi. Di Indonesia film diproduksi dengan bujet yang pas sementara Hollywood bujet begitu besar. Alhasil set yang dibangun berbeda. Begitu pula dengan alat-alat yang digunakan,” ujarnya.
Walau belum berada pada kondisi ideal tidak membuat Ical berpikir meninggalkan profesinya ini. Dia masih kukuh pada pendiriannya, ingin menjadi sinematografer andal. Profesi ini sudah menjadi jalan hidupnya. Bukan hanya mendatangkan rupiah tetapi juga sejalan dengan hobinya memotret. Sebab, cara kerja sinematografer dengan fotografer cukup beririsan. Sama-sama mengambil gambar. Hanya, hasil akhir yang berbeda.
“Jadi itulah yang membuat saya tetap mencintai profesi ini,” ujarnya.
Keluarga yang Utama
Sejauh ini Ical merasa keberhasilannya diraih berkat prinsip yang dianutnya sejak lama. Tetap berkarya dalam kondisi apa pun.Oleh sebab itu pria yang mengagumi sinematografer Roger Deakins ini ingin hidupnya dihabiskan untuk menghasilkan karya. Sebab berkaca pada sinematografer dunia, banyak yang masih berkarya meski memasuki usia senja. Dia percaya dengan terus berkarya maka membuatnya dapat terus bertahan dan meraih prestasi di industri perfilman.
Sementara itu menyinggung keberhasilan, ayah empat anak ini berpendapat saat seseorang sukses menciptakan karya bukan hanya untuk diri sendiri melainkan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks dirinya, Ical mengatakan, keberhasilan adalah saat karya-karya sinematografinya diterima oleh masyarakat. Soal untung rugi dan penghargaan, Ical anggap sebagai bonus. Selebihnya dia akan bahagia jika penonton dapat menikmati sentuhan sinematografinya.
Selain membahagiakan penonton, Ical tak surut untuk membahagiakan keluarganya. Di tengah kesibukannya, dia berusaha menyediakan waktu untuk sang istri Aine Anyelier dan keempat anaknya, Alebasil Khatulistiwa, Khordi Saga, Lua Savana, dan Shayn Medina. Mereka adalah penyemangat Ical berkarier sebagai sinematografer.
“Kalau di rumah, saya juga kadang memperhatikan lighting anak sendiri,” ujarnya tertawa.
Bila ada waktu luang, Ical mengajak mereka untuk liburan. Tetapi jika saking sibuknya, Ical tak sungkan untuk mengajak mereka ke lokasi syuting sembari liburan.
Ical juga merasa beruntung memiliki Aine yang dikenalnya sejak zaman kuliah. Sang istri, bagi Ical merupakan kritikus terbaik karya-karya sinematografinya. Tak jarang kritikan pedas dilancarkan Aine saat karya Ical dianggap kurang bagus. Walaupun begitu, Ical bahagia karena istrinya tetap mendukung kariernya hingga kini.
Baca juga: Film Pengabdi Setan 2: Communion Jadi yang Tercepat Capai 5 Juta Pada Tahun Ini
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.