Profil Seniman Nasjah Djamin: Murid dari Pelukis Sudjojono & Sastrawan Chairil Anwar
12 October 2022 |
19:25 WIB
Kita bisa mengenal sosok ini sebagai seniman dan sastrawan. Dia adalah Nasjah Djamin. Semasa hidupnya dia telah menghasilkan ratusan karya di atas kanvas dan kertas. Karya sastranya telah memperkaya kesusasteraan Indonesia. Sementara karya lukisnya mewarnai khazanah seni rupa.
Di Pameran Seni Rupa dan Sastra bertajuk Retrospeksi Nasjah Djamin di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, terungkap sekelumit hikayat seniman berjuluk Si Anak Hilang ini. Pameran yang berlangsung pada 25 Oktober - 3 November 2017 itu menampilkan 30 lukisan, serta puluhan arsip tentang seniman kelahiran Perbaungan itu.
Dalam proses berkeseniannya, Nasjah menjadikan lukisan-lukisan seperti cara memvisualkan bait-bait puisinya. Sebaliknya, dia menjadikan puisi-puisinya terjemahan dari imaji visualnya.
Baca juga: 3 Seniman Populer Ini Sukses Mengubah Mental Illness Jadi Energi Berkarya
Namun, dalam catatan pengantar pameran dituliskan bahwa seniman ini lebih nyaman menulis ketimbang melukis. Sastra bagi Nasjah sudah menjadi obat untuk melepaskan pikiran, pendapat, tentang kehidupan dan hidup. Di mana hal itu sedikit sukar untuk dikemukakan lewat lukisan, warna, dan garis.
Meskipun begitu, Nasjah memulai karier keseniannya dari melukis. Ceritanya pada penghujung 1945, Nasjah pergi merantau ke Jawa untuk belajar melukis dengan seniman-seniman di Yogyakarta, salah satunya S. Sudjojono. Demi hal ini, dia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pelukis di Penerangan Tentara Republik Indonesia, Medan.
Bila hanya berdiam diri di Medan, Nasjah merasa tidak akan maju sebagai pelukis. Sesampainya di Jawa, Nasjah bergaul dan mengambil ilmu dar seniman-seniman besar di Yogyakarta pada saat itu. Saat memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1948, Nasjah bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator. Di sinilah, dia bertemu dengan sastrawan seperti Idrus, Utuy T Sontani, dan Achdiat Karta Mihardja tak terkecuali Chairil Anwar.
Selain Sudjojono, Chairil Anwar adalah sosok penting dalam karier Nasjah. Semangat-semangat Chairil ikut memengaruhi prinsip keseniannya. Dalam prinsipnya Nasjah berkeyakinan bahwa seorang seniman harus terjun langsung ke dalam hidup dan kehidupan agar menguasai apa yang ingin disampaikan.
Laila Tifah, putri ketiga dari Nasjah menuturkan meski berguru pada Sudjojono, ayahnya justru lebih akrab dengan sosok Affandi dan Chairil. Dia menduga hal itu terjadi karena ayahnya dan Sudjojono memiliki pandangan berbeda. “Mungkin karena Sudjojono terjun ke politik sehingga membuat ayah tidak lagi dekat,” ujarnya.
Bergema di luar tetapi sunyi di dalam, di mata anak-anaknya Nasjah adalah sosok pendiam. Laila mengungkapkan sang ayah lebih banyak berdiskusi serta berbicara dengan ibunya, Umi Nafingah. Kepada anak-anaknya, Nasjah irit bicara. Bahkan, Laila bisa menghitung jumlah pembicaraannya dengan ayahnya.
Baca juga: 4 Seniman Kontemporer Dunia yang Perlu Kalian Ketahui, Salah Satunya dari Indonesia
Semasa hidupnya, Laila menuturkan melukis dan menulis adalah profesi ayahnya. Mesin tik, kuas, kanvas, dan cat-cat minyak adalah teman sehari-hari ayahnya. Untuk anak-anaknya, bunyi ketukan mesin menjadi musik pengantar tidur. Sementara bau khas minyak pengencer cat adalah parfum yang membuat wangi isi rumah.
Walau ayahnya pendiam, Laila bersama tiga saudaranya memiliki sejumlah kenangan tak terlupakan. Salah satu adalah kebiasaan Nasjah membelikan buku. Laila mengungkapkan dari membeli buku ayahya berusaha menanamkan kecintaan membaca kepada anak-anaknya.
Kenangan lain, Laila menuturkan ayahnya kerap membelikannya alat-alat gambar. Namun, dia dan saudara-saudaranya tidak diajarkan melukis oleh sang ayah. Sebaliknya, ayahnya akan meminta teman-temannya untuk mengajari anaknya melukis. “Dua kenangan itu memang terkait dengan profesi bapak sebagai pelukis maupun penulis,” ujarnya.
Bagi keluarga, Nasjah tidak sebatas meninggalkan memori kenangan tetapi juga peninggalan nyata berupa karya-karya lukis dan sastra. Selama ini karya-karya itu tersimpan di rumah keluarga. Beberapa lukisan telah dikoleksi kolektor maupun instansi pemerintahan. Tetapi sebagian lagi, masih disimpan oleh pihak keluarga.
Dalam catatannya, Kurator Pameran ketika itu, Suwarno Wisetrotomo, mengungkapkan masih tersimpannya karya-karya Nasjah di rumah karena istrinya, Umi Nafignah enggan menjual peninggalan suaminya itu. Umi lebih senang menyimpan lukisan-lukisan itu di rumah.
“Saya itu aneh, kalau Bapak pameran berharap mudah-mudahan tidak laku. Kalau lukisan itu laku dan Bapak sudah tak ada, saya punya apa?,” tuturnya.
Baca juga: Kenalan dengan 4 Seniman Difabel Indonesia di Balik Karya Menakjubkan
Melihat lukisan potret-potret ini sama seperti melihat lukisan-lukisan potret karya Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan dan seniman-seniman se-zaman-nya. Lukisan potret ini terwakili pada dua karya berjudul Potret Diri (cat minyak pada kanvas, 47 x 58 cm, 1948) dan Potret Diri Dengan Pullover (cat minyak pada kanvas).
Kedua lukisan memperlihatkan rupa seorang pemuda yang tak lain adalah Nasjah itu sendiri. Sedikit kusam dengan sapuan kuas yang kuat, corak realisme lukisan ini merepresentasikan zamannya.
Kurator Suwarno menyebut ada sejumlah alasan kenapa seniman-seniman pada saat itu gemar melukis potret. Antara lain karena bagian dari proses studi, mengasah keterampilan, tak perlu membayar model, ungkapan emosi atas kedekatan relasi, komunikasi, dan berkehendak mengabadikan perasaan itu.
Baca juga: Tak Hanya Old Master, Ini 4 Seniman Muda Indonesia yang Karyanya Mendunia
Selain potret, kebiasaan lain seniman-seniman pada era itu membuat lukisan bertema perjuangan. Di pameran ini, ada dua lukisan karya Nasjah bertema perjuangan. Satu lukisan berjudul Merdeka Atau Mati (cat minyak pada kanvas, 85 x 150 cm). Lukisan lainnya bertajuk Gerilyawan (cat minyak pada kanvas, 69 x 134 cm).
Dalam kanvas lukisan bertajuk Merdeka Atau Mati, tampak tiga sosok rakyat menggenggam bambu runcing dan empat tentara bersenjata lengkap. Menurut penuturan Laila, sebetulnya lukisan itu belum selesai digarap oleh ayahnya. Hal itu terlihat dari sebagian kanvas yang masih polos belum tersentuh cat.
Laila mengungkapkan meninggalkan lukisan begitu saja, sudah jadi kebiasaan ayahnya. Lukisan-lukisan biasanya akan diselesiakan di lain hari bahkan lain bulan. “Bapak itu kalau melukis kadang ditinggal begitu saja. Entah kapan baru diselesaikan lagi,” tuturnya.
Soal lukisan-lukisan bertema perjuangan, Laila mengungkapkan bahwa ayahnya terkadang membuat lukisan-lukisan itu untuk pesanan perorangan maupun instansi. Beberapa lukisan bertema perjuangan diketahui tersebar di sejumlah instansi militer dan museum.
Baca juga: Seniman Mural Dunia yang Karyanya Mengundang Kontroversi
Lukisan potret dan perjuangan ini seluruhnya mereflkeksikan semangat muda Nasjah. Lukisan-lukisan ini umumnya bertahun 1950 hingga 1960-an. Tetapi perubahan signifikan terlihat pada karya-karya Nasjah bertahun 1990-an. Tema-tema lukisannya lebih ringan menceritakan seputar sawah, gunung, pantai, dan manusia.
Sebagai contohnya, lukisan berjudul Sawah Hijau I (cat minyak pada kanvas, 147 x 147 cm). Ada gradasi hijau yang muncul dalam gambar sawah ini. Garis-garis horizontal sangat terasa pada karya ini. Di antara sawah itu terselip figur manusia yang tampak kecil sedang berjalan. Seolah menawarkan pesan, manusia itu hanyalah satu titik di tengah hamparan alam semesta.
Patut disayangkan, di pameran kala itu ada beberapa lukisan yang mengelupas. Terutama lukisan-lukisan pada periode 1950-an. Laila Tifa mengakui bahwa karya ayah-ayahnya sebagian harus dikonservasi. Pihak keluarga terus mengupayakan hal itu termasuk menjaga karya-karya lainnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Di Pameran Seni Rupa dan Sastra bertajuk Retrospeksi Nasjah Djamin di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, terungkap sekelumit hikayat seniman berjuluk Si Anak Hilang ini. Pameran yang berlangsung pada 25 Oktober - 3 November 2017 itu menampilkan 30 lukisan, serta puluhan arsip tentang seniman kelahiran Perbaungan itu.
Dalam proses berkeseniannya, Nasjah menjadikan lukisan-lukisan seperti cara memvisualkan bait-bait puisinya. Sebaliknya, dia menjadikan puisi-puisinya terjemahan dari imaji visualnya.
Baca juga: 3 Seniman Populer Ini Sukses Mengubah Mental Illness Jadi Energi Berkarya
Namun, dalam catatan pengantar pameran dituliskan bahwa seniman ini lebih nyaman menulis ketimbang melukis. Sastra bagi Nasjah sudah menjadi obat untuk melepaskan pikiran, pendapat, tentang kehidupan dan hidup. Di mana hal itu sedikit sukar untuk dikemukakan lewat lukisan, warna, dan garis.
Meskipun begitu, Nasjah memulai karier keseniannya dari melukis. Ceritanya pada penghujung 1945, Nasjah pergi merantau ke Jawa untuk belajar melukis dengan seniman-seniman di Yogyakarta, salah satunya S. Sudjojono. Demi hal ini, dia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai pelukis di Penerangan Tentara Republik Indonesia, Medan.
Bila hanya berdiam diri di Medan, Nasjah merasa tidak akan maju sebagai pelukis. Sesampainya di Jawa, Nasjah bergaul dan mengambil ilmu dar seniman-seniman besar di Yogyakarta pada saat itu. Saat memutuskan hijrah ke Jakarta pada 1948, Nasjah bekerja di Balai Pustaka sebagai illustrator. Di sinilah, dia bertemu dengan sastrawan seperti Idrus, Utuy T Sontani, dan Achdiat Karta Mihardja tak terkecuali Chairil Anwar.
Selain Sudjojono, Chairil Anwar adalah sosok penting dalam karier Nasjah. Semangat-semangat Chairil ikut memengaruhi prinsip keseniannya. Dalam prinsipnya Nasjah berkeyakinan bahwa seorang seniman harus terjun langsung ke dalam hidup dan kehidupan agar menguasai apa yang ingin disampaikan.
Laila Tifah, putri ketiga dari Nasjah menuturkan meski berguru pada Sudjojono, ayahnya justru lebih akrab dengan sosok Affandi dan Chairil. Dia menduga hal itu terjadi karena ayahnya dan Sudjojono memiliki pandangan berbeda. “Mungkin karena Sudjojono terjun ke politik sehingga membuat ayah tidak lagi dekat,” ujarnya.
Bergema di luar tetapi sunyi di dalam, di mata anak-anaknya Nasjah adalah sosok pendiam. Laila mengungkapkan sang ayah lebih banyak berdiskusi serta berbicara dengan ibunya, Umi Nafingah. Kepada anak-anaknya, Nasjah irit bicara. Bahkan, Laila bisa menghitung jumlah pembicaraannya dengan ayahnya.
Baca juga: 4 Seniman Kontemporer Dunia yang Perlu Kalian Ketahui, Salah Satunya dari Indonesia
Semasa hidupnya, Laila menuturkan melukis dan menulis adalah profesi ayahnya. Mesin tik, kuas, kanvas, dan cat-cat minyak adalah teman sehari-hari ayahnya. Untuk anak-anaknya, bunyi ketukan mesin menjadi musik pengantar tidur. Sementara bau khas minyak pengencer cat adalah parfum yang membuat wangi isi rumah.
Walau ayahnya pendiam, Laila bersama tiga saudaranya memiliki sejumlah kenangan tak terlupakan. Salah satu adalah kebiasaan Nasjah membelikan buku. Laila mengungkapkan dari membeli buku ayahya berusaha menanamkan kecintaan membaca kepada anak-anaknya.
Kenangan lain, Laila menuturkan ayahnya kerap membelikannya alat-alat gambar. Namun, dia dan saudara-saudaranya tidak diajarkan melukis oleh sang ayah. Sebaliknya, ayahnya akan meminta teman-temannya untuk mengajari anaknya melukis. “Dua kenangan itu memang terkait dengan profesi bapak sebagai pelukis maupun penulis,” ujarnya.
Bagi keluarga, Nasjah tidak sebatas meninggalkan memori kenangan tetapi juga peninggalan nyata berupa karya-karya lukis dan sastra. Selama ini karya-karya itu tersimpan di rumah keluarga. Beberapa lukisan telah dikoleksi kolektor maupun instansi pemerintahan. Tetapi sebagian lagi, masih disimpan oleh pihak keluarga.
Dalam catatannya, Kurator Pameran ketika itu, Suwarno Wisetrotomo, mengungkapkan masih tersimpannya karya-karya Nasjah di rumah karena istrinya, Umi Nafignah enggan menjual peninggalan suaminya itu. Umi lebih senang menyimpan lukisan-lukisan itu di rumah.
“Saya itu aneh, kalau Bapak pameran berharap mudah-mudahan tidak laku. Kalau lukisan itu laku dan Bapak sudah tak ada, saya punya apa?,” tuturnya.
Baca juga: Kenalan dengan 4 Seniman Difabel Indonesia di Balik Karya Menakjubkan
Berita tentang Nasjah Djamin (Sumber gambar: Hypeabis.id/Dika Irawan)
Karya-Karya Seniman
Untuk lukisan-lukisan yang ditampilkan pada pameran mengangkat tema seputar potret, lanskap, dan sejarah. Sebagian besar karya menyuguhkan lanskap seperti persawahan, pantai, dan perbukitan. Sisanya, mengulas tentang potret diri sendiri maupun orang lain.Melihat lukisan potret-potret ini sama seperti melihat lukisan-lukisan potret karya Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan dan seniman-seniman se-zaman-nya. Lukisan potret ini terwakili pada dua karya berjudul Potret Diri (cat minyak pada kanvas, 47 x 58 cm, 1948) dan Potret Diri Dengan Pullover (cat minyak pada kanvas).
Kedua lukisan memperlihatkan rupa seorang pemuda yang tak lain adalah Nasjah itu sendiri. Sedikit kusam dengan sapuan kuas yang kuat, corak realisme lukisan ini merepresentasikan zamannya.
Kurator Suwarno menyebut ada sejumlah alasan kenapa seniman-seniman pada saat itu gemar melukis potret. Antara lain karena bagian dari proses studi, mengasah keterampilan, tak perlu membayar model, ungkapan emosi atas kedekatan relasi, komunikasi, dan berkehendak mengabadikan perasaan itu.
Baca juga: Tak Hanya Old Master, Ini 4 Seniman Muda Indonesia yang Karyanya Mendunia
Karya-karya Nasjah Djamin (Sumber gambar: Hypeabis.id/Dika Irawan)
Dalam kanvas lukisan bertajuk Merdeka Atau Mati, tampak tiga sosok rakyat menggenggam bambu runcing dan empat tentara bersenjata lengkap. Menurut penuturan Laila, sebetulnya lukisan itu belum selesai digarap oleh ayahnya. Hal itu terlihat dari sebagian kanvas yang masih polos belum tersentuh cat.
Laila mengungkapkan meninggalkan lukisan begitu saja, sudah jadi kebiasaan ayahnya. Lukisan-lukisan biasanya akan diselesiakan di lain hari bahkan lain bulan. “Bapak itu kalau melukis kadang ditinggal begitu saja. Entah kapan baru diselesaikan lagi,” tuturnya.
Soal lukisan-lukisan bertema perjuangan, Laila mengungkapkan bahwa ayahnya terkadang membuat lukisan-lukisan itu untuk pesanan perorangan maupun instansi. Beberapa lukisan bertema perjuangan diketahui tersebar di sejumlah instansi militer dan museum.
Baca juga: Seniman Mural Dunia yang Karyanya Mengundang Kontroversi
(Sumber gambar: Hypeabis.id/Dika Irawan)
Sebagai contohnya, lukisan berjudul Sawah Hijau I (cat minyak pada kanvas, 147 x 147 cm). Ada gradasi hijau yang muncul dalam gambar sawah ini. Garis-garis horizontal sangat terasa pada karya ini. Di antara sawah itu terselip figur manusia yang tampak kecil sedang berjalan. Seolah menawarkan pesan, manusia itu hanyalah satu titik di tengah hamparan alam semesta.
Patut disayangkan, di pameran kala itu ada beberapa lukisan yang mengelupas. Terutama lukisan-lukisan pada periode 1950-an. Laila Tifa mengakui bahwa karya ayah-ayahnya sebagian harus dikonservasi. Pihak keluarga terus mengupayakan hal itu termasuk menjaga karya-karya lainnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.