Kiprah Perjalanan Karier Arsitek Budi Pradono, 'Awalnya Ingin Menjadi Seniman Cuma Gagal'
24 October 2022 |
13:59 WIB
Budi Pradono merupakan salah satu arsitek berbakat yang dimiliki Indonesia saat ini. Karya-karya arsitekturnya kerap menjadi pembahasan majalah-majalah arsitektur luar negeri. Berkat karya-karyanya itu pula, sederet penghargaan internasional pernah diraihnya.
Sosoknya kalem. Penampilannya sederhana. Namun, pengalamannya sebagai arsitek enggak bisa dipandang sebelah mata. Dia kerap wara-wiri ke luar negeri, dari membahas proyek hingga mendatangi undangan penghargaan arsitektural. “Saya jarang di Jakarta, keseringan di pesawat Boeing,” ujarnya.
Baca juga: Mengenal Moshe Safdie Arsitek Perancang Habitat 67 & Marina Bay Sands
Meski begitu, Budi justru tidak datang dari keluarga arsitek. Dia adalah anak desa di Salatiga, Jawa Tengah. Ayahnya dosen, sedangkan ibunya guru tari balet. Hampir tiap hari Budi diperdengarkan lagu-lagu klasik karya Ludwig van Beethoven.
Terkadang Budi juga menemani ibunya mengajar tari balet kepada murid-muridnya. Tugas Budi saat menemani ibunya sebagai pemencet tombol radio yang memutar lagu klasik pengiring tarian. “Sejak bayi saya sudah dengarkan musik klasik. Mau nangis atau senang, jreeng Beethoven.”
Selama tinggal di desa, hiburan masa kecil budi sebatas sungai, sawah, dan tanah liat. Begitu pulang main, ke rumah Budi kembali disuguhkan lantunan musik-musik klasik. Lagu-lagu klasik tersebut kini jadi obat Budi ketika sedang dalam keadaan buntu berpikir. Kalau lagi stres, putar lagu klasik tuing langsung dapat ide.”
Beranjak sekolah dasar, sang ibu mendatangkan guru tari trasional untuk Budi dan saudara-saudaranya. Budi diajarkan tarian tradisional Jawa hingga Bali. Sang ibu tidak meminta anak-anaknya untuk menjadi penari, melainkan supaya mereka memiliki kecintaan terhadap tradisi lokal.
Budi mengaku kini sudah tidak lagi dapat menari, tetapi tangan-tangannya masih lentur mengikuti tarian. Namun, dia mendapat pelajaran hidup dari tari yaitu soal keseimbangan. “Tari itu kan belajar bagaimana keseimbangan tubuh, begitu juga dalam menjalani hidup harus seimbang. Itulah yang sampai sekarang saya terapkan,” tuturnya.
Saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, Budi girang bukan main karena berkesempatan tinggal di Amerika Serikat setelah ayahya mendapatkan beasiswa S3 ke sana. Sayangnya, sang ayah urung berangkat ke Negeri Paman Sam karena berbagai hal.
“Saya sudah belajar bahasa Inggris dan berpikir akan ke Amerika Serikat, tetapi tidak jadi [berangkat ke AS]. Saya masih tidak menerima kenyataan waktu itu.”
Di sisi lain, Budi yang memiliki bakat menggambar, diminta oleh ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Namun, Budi gagal dua kali tes masuk di kampus tersebut. Akhirnya Budi hanya berpasrah.
“Jadi awalnya saya ingin menjadi seniman cuma gagal,” tutur pria yang gemar minum kopi ini.
Budi pun didaftarkan ke kampus Universitas Kristen Duta Wacana jurusan arsitektur. Saat itu dia sendiri belum tahu, bahkan tidak terlalu senang dengan dunia arsitektur. Satu-satunya hal yang membuat senang Budi di jurusan arsitektur adalah tugas menggambar.
“Kalau ada tugas menggambar, sampai kapan pun saya kerjakan. Saya tiap hari menggambar ratusan sketsa untuk melenturkan tangan, ” ujarnya.
Lama kelamaan Budi jatuh cinta dengan arsitektur. Apalagi di jurusan tersebut ada tugas membuat maket bangunan, Budi tambah senang. Bagi dia tugas membuat maket sama dengan kegemarannya sewaktu kecil yaitu membuat sesuatu dengan tanah liat.
Saat menuntut ilmu di kampus Budi bukanlah anak yang kecukupan. Uang sakunya hanya pas untuk hidup. Dia tak sanggup untuk membeli meja gambar buatan Jerman yang harganya selangit waktu itu. “Untuk membeli kertas saya betul-betul irit uang saku saya,” tuturnya.
Sadar dalam kondisi terbatas, Budi pun menyiasatinya dengan sejumlah cara. Untuk mengakali ketiadaan meja gambar, Budi mendatangi teman-temannya yang memiliki meja gambar. Budi meminjam meja itu bila tugas mereka telah rampung.
“Teman saya ternyata selesai menggambar jam 3 pagi. Saya baru mengerjakan di jam itu, sementara tugas diselesaikan jam 9. Cuma ketika dikumpulkan nilainya bagus saya daripada teman saya,” kenang Budi.
Siasat lainnya, Budi terjun menjadi aktivis kampus di himpunan arsitek hingga pencinta alam. Tiap-tiap ada acara, Budi nimbrung ikut kepanitiaan supaya dapat makanan gratisan. Sehingga uang saku dari orang tuanya dapat dibelikan kertas. “Ternyata nilai saya bagus, indeks prestasinya dapat nilai 3. Akhirnya dapat beasiswa,” ujarnya.
Selama belajar di Belanda dan berkarier di Jepang, Budi mendapatkan pengalaman berharga. Di Belanda, Budi belajar banyak dari arsitek-arsitek panutannya, Rem Koolhas dan Winy Maas. Ilmu berharga yang diperolehnya adalah tentang masterplan.
Arsitek-arsitek Belanda selama ini memang dikenal piawai merancang masterplan. Sejarah membuktikan, aristek Belanda banyak berperan dalam merancang masterplan kota-kota besar. Mulai dari Batavia – sekarang Jakarta- hingga New York.
Ketika di Jepang, Budi berguru pada arsitek Jepang Kengo Kuma. Hingga saat ini, Kengo merupakan arsitek jajaran papan atas di Jepang. Di sana Budi mempelajari material-material dan cara pengolahannya. “Jadi di Belanda itu belajarnya kilometer. Kalau di Jepang, belajarnya milimeter,” tuturnya.
Selain itu, Budi juga belajar kedisiplinan dari masyarakat Jepang. Terutama kedisiplinan menghargai waktu. Oleh sebabnya ketika di Jakarta, Budi berusaha untuk tidak terlambat saat menghadiri undangan acara. Dia rela mencari penginapan di dekat tempat acara untuk menghindari terlambat dan macet.
“Kalau macet bikin stres. Pikiran saya harus jernih,” ujar Budi yang juga mengagumi sosok arsitek Y.B. Mangunwijaya itu.
Budi berhasil mengawinkan ilmu arsitektur yang diperoleh dari Belanda dan Jepang ke dalam karya-karyanya. Alhasil karya-karya arsitekturnya sukses memikat perhatian dunia internasional.
Sejumlah penghargaan internasional pun diraih Budi atas karya-karyanya seperti Cityscape architecture Award, Dubai 2004; AR Awards for Emerging Architecture, London, 2005; World Architecture Festival Award, Barcelona 2008; dan Silver medal & Honorary diploma INTERARCH, Triennial Architecture, Sofia Bulgaria 2009.
Baca juga: 5 Karya Arsitektur Abad Pertengahan yang Menawan hingga Sekarang
Sosoknya kalem. Penampilannya sederhana. Namun, pengalamannya sebagai arsitek enggak bisa dipandang sebelah mata. Dia kerap wara-wiri ke luar negeri, dari membahas proyek hingga mendatangi undangan penghargaan arsitektural. “Saya jarang di Jakarta, keseringan di pesawat Boeing,” ujarnya.
Baca juga: Mengenal Moshe Safdie Arsitek Perancang Habitat 67 & Marina Bay Sands
Meski begitu, Budi justru tidak datang dari keluarga arsitek. Dia adalah anak desa di Salatiga, Jawa Tengah. Ayahnya dosen, sedangkan ibunya guru tari balet. Hampir tiap hari Budi diperdengarkan lagu-lagu klasik karya Ludwig van Beethoven.
Terkadang Budi juga menemani ibunya mengajar tari balet kepada murid-muridnya. Tugas Budi saat menemani ibunya sebagai pemencet tombol radio yang memutar lagu klasik pengiring tarian. “Sejak bayi saya sudah dengarkan musik klasik. Mau nangis atau senang, jreeng Beethoven.”
Selama tinggal di desa, hiburan masa kecil budi sebatas sungai, sawah, dan tanah liat. Begitu pulang main, ke rumah Budi kembali disuguhkan lantunan musik-musik klasik. Lagu-lagu klasik tersebut kini jadi obat Budi ketika sedang dalam keadaan buntu berpikir. Kalau lagi stres, putar lagu klasik tuing langsung dapat ide.”
Beranjak sekolah dasar, sang ibu mendatangkan guru tari trasional untuk Budi dan saudara-saudaranya. Budi diajarkan tarian tradisional Jawa hingga Bali. Sang ibu tidak meminta anak-anaknya untuk menjadi penari, melainkan supaya mereka memiliki kecintaan terhadap tradisi lokal.
Budi mengaku kini sudah tidak lagi dapat menari, tetapi tangan-tangannya masih lentur mengikuti tarian. Namun, dia mendapat pelajaran hidup dari tari yaitu soal keseimbangan. “Tari itu kan belajar bagaimana keseimbangan tubuh, begitu juga dalam menjalani hidup harus seimbang. Itulah yang sampai sekarang saya terapkan,” tuturnya.
Saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, Budi girang bukan main karena berkesempatan tinggal di Amerika Serikat setelah ayahya mendapatkan beasiswa S3 ke sana. Sayangnya, sang ayah urung berangkat ke Negeri Paman Sam karena berbagai hal.
“Saya sudah belajar bahasa Inggris dan berpikir akan ke Amerika Serikat, tetapi tidak jadi [berangkat ke AS]. Saya masih tidak menerima kenyataan waktu itu.”
Di sisi lain, Budi yang memiliki bakat menggambar, diminta oleh ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Namun, Budi gagal dua kali tes masuk di kampus tersebut. Akhirnya Budi hanya berpasrah.
“Jadi awalnya saya ingin menjadi seniman cuma gagal,” tutur pria yang gemar minum kopi ini.
Budi pun didaftarkan ke kampus Universitas Kristen Duta Wacana jurusan arsitektur. Saat itu dia sendiri belum tahu, bahkan tidak terlalu senang dengan dunia arsitektur. Satu-satunya hal yang membuat senang Budi di jurusan arsitektur adalah tugas menggambar.
“Kalau ada tugas menggambar, sampai kapan pun saya kerjakan. Saya tiap hari menggambar ratusan sketsa untuk melenturkan tangan, ” ujarnya.
Lama kelamaan Budi jatuh cinta dengan arsitektur. Apalagi di jurusan tersebut ada tugas membuat maket bangunan, Budi tambah senang. Bagi dia tugas membuat maket sama dengan kegemarannya sewaktu kecil yaitu membuat sesuatu dengan tanah liat.
Saat menuntut ilmu di kampus Budi bukanlah anak yang kecukupan. Uang sakunya hanya pas untuk hidup. Dia tak sanggup untuk membeli meja gambar buatan Jerman yang harganya selangit waktu itu. “Untuk membeli kertas saya betul-betul irit uang saku saya,” tuturnya.
Sadar dalam kondisi terbatas, Budi pun menyiasatinya dengan sejumlah cara. Untuk mengakali ketiadaan meja gambar, Budi mendatangi teman-temannya yang memiliki meja gambar. Budi meminjam meja itu bila tugas mereka telah rampung.
“Teman saya ternyata selesai menggambar jam 3 pagi. Saya baru mengerjakan di jam itu, sementara tugas diselesaikan jam 9. Cuma ketika dikumpulkan nilainya bagus saya daripada teman saya,” kenang Budi.
Siasat lainnya, Budi terjun menjadi aktivis kampus di himpunan arsitek hingga pencinta alam. Tiap-tiap ada acara, Budi nimbrung ikut kepanitiaan supaya dapat makanan gratisan. Sehingga uang saku dari orang tuanya dapat dibelikan kertas. “Ternyata nilai saya bagus, indeks prestasinya dapat nilai 3. Akhirnya dapat beasiswa,” ujarnya.
Jepang & Belanda
Selepas menyelesaikan studinya di Universitas Kristen Duta Wacana, Budi mendapatkan gelar masternya di Berlage Institut, Rotterdam, Belanda. Setelah itu, Budi lebih banyak menghabiskan kariernya di negara seberang. Dia pernah bekerja di Beverley Garlic Architect, Sidney, Australia hingga Kengo Kuma and Associates, Tokyo, Jepang.Selama belajar di Belanda dan berkarier di Jepang, Budi mendapatkan pengalaman berharga. Di Belanda, Budi belajar banyak dari arsitek-arsitek panutannya, Rem Koolhas dan Winy Maas. Ilmu berharga yang diperolehnya adalah tentang masterplan.
Arsitek-arsitek Belanda selama ini memang dikenal piawai merancang masterplan. Sejarah membuktikan, aristek Belanda banyak berperan dalam merancang masterplan kota-kota besar. Mulai dari Batavia – sekarang Jakarta- hingga New York.
Ketika di Jepang, Budi berguru pada arsitek Jepang Kengo Kuma. Hingga saat ini, Kengo merupakan arsitek jajaran papan atas di Jepang. Di sana Budi mempelajari material-material dan cara pengolahannya. “Jadi di Belanda itu belajarnya kilometer. Kalau di Jepang, belajarnya milimeter,” tuturnya.
Selain itu, Budi juga belajar kedisiplinan dari masyarakat Jepang. Terutama kedisiplinan menghargai waktu. Oleh sebabnya ketika di Jakarta, Budi berusaha untuk tidak terlambat saat menghadiri undangan acara. Dia rela mencari penginapan di dekat tempat acara untuk menghindari terlambat dan macet.
“Kalau macet bikin stres. Pikiran saya harus jernih,” ujar Budi yang juga mengagumi sosok arsitek Y.B. Mangunwijaya itu.
Budi berhasil mengawinkan ilmu arsitektur yang diperoleh dari Belanda dan Jepang ke dalam karya-karyanya. Alhasil karya-karya arsitekturnya sukses memikat perhatian dunia internasional.
Sejumlah penghargaan internasional pun diraih Budi atas karya-karyanya seperti Cityscape architecture Award, Dubai 2004; AR Awards for Emerging Architecture, London, 2005; World Architecture Festival Award, Barcelona 2008; dan Silver medal & Honorary diploma INTERARCH, Triennial Architecture, Sofia Bulgaria 2009.
Baca juga: 5 Karya Arsitektur Abad Pertengahan yang Menawan hingga Sekarang
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.