Seniman keramik Ayu Larasati. (Sumber gambar: Ayu Larasati Ceramics/Instagram)

Hypeprofil Seniman Ayu Larasati: Berkarya & Belajar Tentang Hidup dari Keramik

03 June 2025   |   20:23 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Keramik yang kokoh berawal dari proses lentur yang membuka segala kemungkinan. Ditempa berkali-kali, keramik terus beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk ulang dirinya. Seperti juga Ayu Larasati, seniman keramik dan wirausaha yang dengan ketekunan dan keluwesannya terus belajar dalam mengolah renjananya.

Di balik karya-karya keramiknya yang indah, tersimpan perjalanan dirinya dalam memahami arti kehidupan. Lebih dari sekadar mengedepankan desain dan estetika, seni keramik memberinya pelajaran bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup.

Mulai dari bongkahan lumpur, lalu menjadi benda setengah padat, hingga akhirnya berubah menjadi objek permanen yang tidak berubah bentuknya. Dalam setiap tahapan tersebut, ada proses-proses tertentu yang harus diikuti secara spesifik. Lebih dari itu, setiap prosesnya memberikan pelajaran tersendiri bagi sang seniman. 

Baca juga: Hypeprofil Ika Natassa: Dinamika di Balik Penulisan Skenario Film Adaptasi Novel

Ayu telah berkecimpung di dunia desain sejak 2008. Berangkat dari latar belakang desain yang mengutamakan presisi, menjadi tantangan tersendiri ketika dia memutuskan masuk ke dalam dunia keramik. Lantaran dibuat secara manual, proses membuat keramik sering mengalami perubahan, yang menuntutnya untuk beradaptasi.

Keramik, menurut Ayu, punya karakter sangat menarik. Tidak seperti media lain semisal kayu atau metal yang hasil akhirnya bisa dirancang persis seperti desainnya. Keramik dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti suhu, angin, kelembaban, karakter tanah liatnya sendiri, dan sebagainya. Begitu tungku pembakaran dibuka, selalu ada kejutan-kejutan kecil pada hasil akhirnya.

Misalnya saat ada retakan atau bentuk-bentuk yang bergeser pada hasil akhir sebuah keramik, dia harus mencoba merefleksikan kembali dan mengingat apa yang salah dalam prosesnya. Apabila problemnya tidak diatasi sejak awal, misalnya saat mempersiapkan tanah liat masih ada gelembung-gelembung udaranya, pasti hasil akhirnya terlihat ketidaksempurnaannya.

"Semua hal seperti itu yang artinya aku sebagai seniman harus benar-benar ‘mendengar’ dan merasakan kondisi tanahnya. Jika tanah liat yang kita kerjakan ternyata memang inginnya dibentuk ke arah yang berbeda, ya kita harus mendengarkan keinginannya," katanya. 
 

Begitupun ketika dia ingin menduplikasi bentuk keramik yang dibuat dengan tanah dari Kanada, di Jakarta. Tanah yang dia dapat di Jakarta berasal dari Sukabumi yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanah Kanada. Hasilnya, bentuk yang sama tidak akan tercapai lantaran pada hasil akhirnya selalu ada bagian yang terjatuh. 

"Dari situ aku belajar bahwa memang kita tidak dapat memaksakan jika sesuatu yang kita pegang tersebut tidak mampu mencapainya," ucapnya.

Sejak bergelut dengan keramik, Ayu mengaku mulai belajar menjadi pribadi yang lebih ‘nrimo’, pasrah dan menerima. Seperti saat selesai membuka tungku dan hasil keramik yang dibuatnya tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan, dia akan terima saja. Meski bukan menjelma menjadi bentuk seperti yang dia inginkan, karya-karya justru memiliki estetika yang berbeda dan terlihat apik dalam caranya sendiri.

Dari pengalaman-pengalaman itulah, akhirnya Ayu belajar bahwa dalam menghadapi tanah liat di seni keramik sama seperti manusia menghadapi tantangan dalam hidup. Manusia, katanya, tidak boleh memaksakan semuanya seperti kehendak mereka karena belum tentu apa yang diinginkan itu memang baik.

"Siapa tahu memang ada tujuan lain yang disiapkan-Nya dalam hidup untuk kita, hanya saja kita sebelumnya tidak mau mendengar. Jadi nikmati saja perjalanan hidup dan segala prosesnya dan ingat bahwa tidak akan pernah ada yang namanya kesempurnaan dalam hidup," katanya. 

Baca juga: Hypeprofil Chiki Fawzi: Perjalanan Karier dari Animator sampai ke Panggung Mode 
 

Perkenalan Ayu dengan dunia keramik bermula saat dia memasuki tahun kedua kuliah jurusan Desain Industri di Ontario College of Art and Design (OCAD University) di Toronto, Kanada. Dia harus mengeksplorasi berbagai material, termasuk mempelajari teknik pembuatan keramik. 

Namun, setelah lulus kuliah, Ayu justru bekerja sebagai desainer produk di sebuah perusahaan desain dan manufaktur di Toronto. Dia mengerjakan desain produk dan furnitur untuk sejumlah perusahaan kecil dan perusahaan multinasional seperti McDonalds, Carnival Cruise Lines, dan Days Inn Hotels.

Di sela-sela kesibukannya sebagai desainer, Ayu menekuni keramik dan sering membuat produk keramik dari apartemennya di Toronto. Menurutnya, ada perbedaan mencolok antara mendesain dan membuat (making) karya. Mengolah keramik memberinya sensasi yang berbeda lantaran berkarya secara langsung dengan tangannya. 

Kegiatan pengisi waktu malam di apartemennya itu pun berlanjut serius. Ayu sadar bahwa membuat sesuatu dengan tanah liat adalah passion dirinya dan dia pun memutuskan untuk menekuninya.

Pada akhir 2014, dia akhirnya kembali ke Indonesia mendirikan sebuah studio keramik di rumah kecil di Jakarta. Dia mulai memproduksi berbagai produk keramik fungsional untuk keperluan rumah tangga, seperti piring, gelas, mangkok dan vas bunga.

Kebiasaannya mengunggah foto-foto hasil karyanya ke media sosial, ternyata mendapat apresiasi dari teman dan kerabat dekat. Seiring waktu, banyak food stylist dan food blogger yang mulai menghubungi Ayu untuk memesan produk-produk keramiknya. Sejak itu, akhirnya dia mulai mendapatkan banyak pesanan khusus, seperti dari restoran dan kafe-kafe ternama di Jakarta. 

Baca juga: Hypeprofil Perupa Cecil Mariani: Melihat Kolektif Sebagai Basis Kemandirian Seniman 
 

Ayu Larasati kini menjadi salah satu seniman keramik yang diperhitungkan di Indonesia. Desain dan pembuatan produk-produk keramiknya dikerjakan bersama timnya di Ayu Larasati Studio. Produk-produknya dijual secara daring dan di toko miliknya, Unearth, yang ada di Gandaria, Jakarta Selatan, dan di Indonesia Design District PIK 2, Jakarta Utara.

Bagi Ayu, seni keramik adalah perjalanan proses belajar seumur hidup. Meski telah menekuninya selama 10 tahun lebih, dia merasa belum memahami seni keramik sepenuhnya. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya sebagai bagian dari komitmen untuk mendalami ilmu seni keramik.

Saat ini, Ayu tengah menjajal teknik-teknik glasir baru untuk kian mempercantik karya keramiknya. Glasir ialah teknik pewarnaan yang dilakukan pada keramik. Setelah bertahun-tahun menggunakan resep glasir sendiri, Ayu mengaku ingin menggabungkan teknik glasir dengan desain dekorasinya sendiri. Termasuk, memadukannya dengan teknik ukiran.

"Ada juga teknik namanya grafito. Mungkin itu adalah intersection-nya carving yang kemudian pakai coloring. Itu sih yang mau aku eksplor gitu. Tapi aku tetap berlanjut dengan proses bikin keramik dengan glasir aku sendiri, karena produk di studio kita memang warnanya spesifik banget," kata perempuan kelahiran 1 Juli 1986 itu.
 

Namun, untuk terus menekuni dan mengembangkan di dunia keramik tidaklah mudah bagi Ayu. Selain sebagai seniman dan wirausaha, dia juga harus berbagi peran dengan keluarganya sebagai istri sekaligus ibu dari anak-anaknya.

Apalagi, menurutnya, lingkungan masyarakat di Indonesia masih sering memberikan ekspektasi tinggi terhadap perempuan yang memutuskan untuk berkarier atau berkarya sekaligus berkeluarga. Plus, menurutnya, berkarya sembari mengurus anak di rumah menyulitkannya untuk mendapatkan titik keseimbangan yang ideal antara kehidupan karier dan personal.

Sadar akan kondisi itu, dia pun akhirnya lebih bersikap luwes untuk menjalani keduanya, beriringan. Misalnya, tak jarang dia harus bekerja di studio sambil menemani anaknya di sebuah area bermain yang memang sengaja dibuat di sekitar area kerjanya.

Daripada harus larut kesulitan membagi waktu, dia justru melakoni keduanya secara suka cita. Keduanya saling terintegrasi dan tidak terlalu dikotak-kotakkan. Meski, ada kalanya juga dia memang benar-benar harus fokus pada kerjaannya untuk beberapa saat.

"Jadi sebenernya enggak usah terlalu kaya berharap idealisnya harus work-life balance, tapi ya sudah nge-blend aja. Tapi tetep kaya kita harus tetap sadar dengan semua kondisi ini," katanya.

Selain membuat keramik, Ayu juga kerap mengisi berbagai kelas dan workshop keramik untuk komunitas dan publik luas. Ke depan, dia ingin lebih mengembangkan bisnisnya tak hanya di Indonesia tetapi juga ke mancanegara seperti Eropa dan Asia Timur. Termasuk, lebih aktif mengenalkan karya-karyanya secara global dengan mengikuti pameran keramik di luar negeri. 

Baca juga: Hypeprofil Arsitek Riri Yakub: Eksplorasi Karya Kontekstual dengan Solusi Kontemporer

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

SEBELUMNYA

Jadwal AFF U-23: Hari Pertama Ada Laga Indonesia vs Brunei Darussalam

BERIKUTNYA

Mayoritas Gen Z Indonesia Tertarik Makanan Korea, Mie Instan Jadi Favorit

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: