Hypeprofil Aghi Narottama: Scoring Film Dimulai dari Berkhayal
02 March 2024 |
21:34 WIB
Aghi Narottama belum terlalu lama tiba di Indonesia saat ditemui Hypeabis.id di studionya, Rooftop Sound, yang terletak di Cilandak, Jakarta. Aghi baru saja pulang dari Bangkok, Thailand, setelah merampungkan finalisasi mixing film Siksa Kubur garapan sutradara Joko Anwar.
Film yang direncanakan tayang 10 April 2024 ini menambah daftar panjang kolaborasi keduanya. Duet sutradara dan penata suara ini kerap menghasilkan film-film dengan scoring yang berkarakter dan sering kali membawa pengalaman menonton yang berbeda.
Baca juga: Hypeprofil Syarla Marz: Melejit dengan Single Kasar dan Rencana Bermusik di Masa Depan
Aghi pun mendapatkan Piala Citra pertamanya untuk kategori penataan musik terbaik saat menggarap film Joko Anwar yang berjudul Pengabdi Setan pada 2017. Kini, dia kembali dipercaya meracik musik untuk film Siksa Kubur.
Namun, di luar Joko Anwar, selama lebih dari 19 tahun barkarier di bidang penata musik untuk film, sudah banyak sutradara lain yang bekerja sama dengannya. Hingga saat ini, tak kurang dari 80 judul film memakai komposisi buatannya sebagai musik latar.
Kepada Hypeabis.id, Aghi bercerita karier penata musik film yang digelutinya sekarang ini dimulai dari hal sederhana: berkhayal. Sebuah aktivitas yang tak pernah disesalinya dan terus dilakukannya hingga kini.
Dari akivitas yang kerap dianggap orang tidak berguna itu, Aghi kecil berani memulai mimpinya ketika pertama kali terpesona dengan audio di film yang begitu terasa hidup. Berkhayal juga membuat dirinya sekarang berani bereksplorasi dalam setiap bunyi-bunyian yang diciptakannya sekarang.
“Jadi, music director di film itu harus berani berkhayal. Sebuah adegan yang ada di naskah harus bisa dibayangkan, dari situ kita bisa menentukan musik atau suara seperti apa untuk mengiringi adegan tersebut,” ungkap pria berkacamata itu.
Aghi mulai tertarik pada scoring film saat masih kanak-kanak. Ketika sedang menonton film, bukan cerita atau visual betah berlama-lama di depan layar, justru musik di film yang jadi perhatiannya.
Suara-suara yang muncul di film selalu membuatnya penasaran. Sebab, Aghi merasa suara itulah yang membuat film jadi lebih menarik, suasana lebih hidup, dan terkadang mampu lebih mengungkapkan sebuah emosi.
Aghi kecil juga sejak kecil menyukai musik, bukan pop atau musik mainstream lain, justru dirinya menyenangi alunan musi klasik. Setiap malam, dia kerap menonton acara musik klasik tersebut di TVRI.
Menginjak usia remaja, referensi musiknya mulai beralih. Dari awalnya klasik, kini dia mulai terpesona dengan metal. Dari Testament, Metallica, hingga Iron Maiden, semua dilahapnya ketika itu.
Menurut Aghi, musik metal dan klasik sebenarnya punya satu benang merah yang cukup dekat. Dinamika kedua genre ini dinilainya sangat dekat dengan struktur musik untuk film, hal yang membuatnya mudah jatuh hati
Ketika masa SMP tersebut, Aghi juga mulai bermain gitar dan membentuk band. Namun, pada periode ini dirinya masih sering membawakan lagu-lagu milik orang lain alias sekadar cover version.
Baca juga: Hypeprofil Muhadkly Acho: dari Stand-up Comedian, Aktor hingga Sutradara 'Agak Laen'
Barulah ketika duduk di bangku SMA, pertemanannya makin luas. Variasi musiknya pun makin melebar. Aghi kemudian bergabung dengan band Skywalker dan mulai memainkan lagu-lagunya sendiri.
Ketika itu, demo album penuhnya sudah selesai direkam. Beberapa kali di bawa ke label rekaman. Hampir dirilis utuh, tetapi tanpa alasan yang jelas label tersebut kemudian membatalkannya. Albumnya pun tak jadi beredar.
Di luar band pribadinya, Aghi juga banyak menjadi pemain gitar di band-band lain. Dari sinilah jejaring musiknya makin meluas. “Dulu sampai ada sebuatn gitaris bispak. Karena memang ketika itu saya ada di band mana-mana,” ucap Aghi.
Menjelang kuliah, Aghi sebenarnya ingin belajar musik. Namun, orang tuanya ketika itu menganggap musik hanya sekadar hobi. Jadilah saat itu Aghi memilih jurusan hukum. Meski berat, Aghi menjalaninya hingga lulus.
Setelahnya, jalan hidup kembali menuntunnya pada passion yang dimilikinya sejak kecil. setelah meraih gelar sarjana hukum, Aghi melanjutkan studi ke Audio Production di Seattle, Amerika Serikat.
Di bangku kuliah setara diploma itu, dirinya mendalami produksi suara, khususnya dalam aspek teknisnya. Setelah menyelesaikan studi, Aghi balik ke Jakarta. Dirinya pun membuka studio kecil-kecilan sembari terus menjaga eksistensi band dari masa remajanya.
Pergerakan bandnya di kancah musik independen kemudian membawanya pada perkenalan dengan Nia Dinata, seorang produser dan sutradara dari Kalyana Shira Films. Aghi kemudian diajak menata musik untuk proyek film Berbagi Suami (2006).
“Project ini bisa dibilang jadi pembuka jalan. Setelah itu, setiap tahun pasti ada saja musik film yang dikerjakan,” terangnya.
Baca juga: Hypeprofil Monica Gunawan: Telaten Merestorasi untuk Merawat Karya Seni
Ketika bekerja sama dengan Nia, Aghi merasa beruntung. Sebab, ketika menggarap project ini, Nia cukup banyak memberikannya masukan di dunia yang baru dimasukinya ini. Ketika itu, diskusi yang paling banyak dilakukan juga perihal selera musik dan referensi film.
Ketika kesamaan visi sudah didapat, barulah keduanya mulai meramu visi untuk project film berjudul Berbagi Suami tersebut. Pengalaman ini kemudian cukup membentuknya untuk mengambil treatment serupa setiap kali terlibat ke dalam penggarapan film.
Baginya, pemahaman yang sama antara sutradara dan penata musik adalah suatu kewajiban. Dari sini, keduanya bisa merespons cerita secara lebih baik. Sebab, sedari awal keduanya sudah berada di titik klik yang sama.
Seiring perjalanan kariernya, kepekaan Aghi dalam membubuhkan emosi melalui musik di dalam film makin terbentuk. Kepekaan tersebut muncul seiring dengan berbagai genre film, tidak hanya horor, yang digarapnya selama hampir dua dekade ini.
Aghi juga terus melatih kepaannya dengan menonton lebih banyak genre film, membaca buku, belajar akting, dan mengoperasikan kamera. Sudah cukup lama Aghi bergelut dengan street fotografi. Ketika ada waktu luang, Aghi kerap pergi ke tempat-tempat tertentu, mengambil gambar di sana sembari menangkap rasa. Dari situ, sensitivitasnya sebagai penata musik makin terasah.
Baca juga: Hypeprofil Amrit Punjabi: Produser Bertangan Dingin & Mimpi Memajukan Industri Film Nasional
Kini, selain masih bergelat dengan profesi penata suara, Aghi juga tengah merencanakan comeback bersama salah satu bandnya, yakni Ape On The Roof. Dia sedang merencanakan pembuatan mini album. Di luar itu, Aghi juga aktif mengajar di Unisadhuguna International College.
Editor: Fajar Sidik
Film yang direncanakan tayang 10 April 2024 ini menambah daftar panjang kolaborasi keduanya. Duet sutradara dan penata suara ini kerap menghasilkan film-film dengan scoring yang berkarakter dan sering kali membawa pengalaman menonton yang berbeda.
Baca juga: Hypeprofil Syarla Marz: Melejit dengan Single Kasar dan Rencana Bermusik di Masa Depan
Aghi pun mendapatkan Piala Citra pertamanya untuk kategori penataan musik terbaik saat menggarap film Joko Anwar yang berjudul Pengabdi Setan pada 2017. Kini, dia kembali dipercaya meracik musik untuk film Siksa Kubur.
Namun, di luar Joko Anwar, selama lebih dari 19 tahun barkarier di bidang penata musik untuk film, sudah banyak sutradara lain yang bekerja sama dengannya. Hingga saat ini, tak kurang dari 80 judul film memakai komposisi buatannya sebagai musik latar.
Kepada Hypeabis.id, Aghi bercerita karier penata musik film yang digelutinya sekarang ini dimulai dari hal sederhana: berkhayal. Sebuah aktivitas yang tak pernah disesalinya dan terus dilakukannya hingga kini.
Dari akivitas yang kerap dianggap orang tidak berguna itu, Aghi kecil berani memulai mimpinya ketika pertama kali terpesona dengan audio di film yang begitu terasa hidup. Berkhayal juga membuat dirinya sekarang berani bereksplorasi dalam setiap bunyi-bunyian yang diciptakannya sekarang.
“Jadi, music director di film itu harus berani berkhayal. Sebuah adegan yang ada di naskah harus bisa dibayangkan, dari situ kita bisa menentukan musik atau suara seperti apa untuk mengiringi adegan tersebut,” ungkap pria berkacamata itu.
Aghi mulai tertarik pada scoring film saat masih kanak-kanak. Ketika sedang menonton film, bukan cerita atau visual betah berlama-lama di depan layar, justru musik di film yang jadi perhatiannya.
Suara-suara yang muncul di film selalu membuatnya penasaran. Sebab, Aghi merasa suara itulah yang membuat film jadi lebih menarik, suasana lebih hidup, dan terkadang mampu lebih mengungkapkan sebuah emosi.
Aghi kecil juga sejak kecil menyukai musik, bukan pop atau musik mainstream lain, justru dirinya menyenangi alunan musi klasik. Setiap malam, dia kerap menonton acara musik klasik tersebut di TVRI.
Menginjak usia remaja, referensi musiknya mulai beralih. Dari awalnya klasik, kini dia mulai terpesona dengan metal. Dari Testament, Metallica, hingga Iron Maiden, semua dilahapnya ketika itu.
Menurut Aghi, musik metal dan klasik sebenarnya punya satu benang merah yang cukup dekat. Dinamika kedua genre ini dinilainya sangat dekat dengan struktur musik untuk film, hal yang membuatnya mudah jatuh hati
Ketika masa SMP tersebut, Aghi juga mulai bermain gitar dan membentuk band. Namun, pada periode ini dirinya masih sering membawakan lagu-lagu milik orang lain alias sekadar cover version.
Baca juga: Hypeprofil Muhadkly Acho: dari Stand-up Comedian, Aktor hingga Sutradara 'Agak Laen'
Barulah ketika duduk di bangku SMA, pertemanannya makin luas. Variasi musiknya pun makin melebar. Aghi kemudian bergabung dengan band Skywalker dan mulai memainkan lagu-lagunya sendiri.
Ketika itu, demo album penuhnya sudah selesai direkam. Beberapa kali di bawa ke label rekaman. Hampir dirilis utuh, tetapi tanpa alasan yang jelas label tersebut kemudian membatalkannya. Albumnya pun tak jadi beredar.
Di luar band pribadinya, Aghi juga banyak menjadi pemain gitar di band-band lain. Dari sinilah jejaring musiknya makin meluas. “Dulu sampai ada sebuatn gitaris bispak. Karena memang ketika itu saya ada di band mana-mana,” ucap Aghi.
Penata musik/komposer film Aghi Narottama saat wawancara dengan Hypeabis.id di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (Sumber gambar: JIBI/Hypeabis/Himawan L)
Menjelang kuliah, Aghi sebenarnya ingin belajar musik. Namun, orang tuanya ketika itu menganggap musik hanya sekadar hobi. Jadilah saat itu Aghi memilih jurusan hukum. Meski berat, Aghi menjalaninya hingga lulus.
Setelahnya, jalan hidup kembali menuntunnya pada passion yang dimilikinya sejak kecil. setelah meraih gelar sarjana hukum, Aghi melanjutkan studi ke Audio Production di Seattle, Amerika Serikat.
Di bangku kuliah setara diploma itu, dirinya mendalami produksi suara, khususnya dalam aspek teknisnya. Setelah menyelesaikan studi, Aghi balik ke Jakarta. Dirinya pun membuka studio kecil-kecilan sembari terus menjaga eksistensi band dari masa remajanya.
Pergerakan bandnya di kancah musik independen kemudian membawanya pada perkenalan dengan Nia Dinata, seorang produser dan sutradara dari Kalyana Shira Films. Aghi kemudian diajak menata musik untuk proyek film Berbagi Suami (2006).
“Project ini bisa dibilang jadi pembuka jalan. Setelah itu, setiap tahun pasti ada saja musik film yang dikerjakan,” terangnya.
Baca juga: Hypeprofil Monica Gunawan: Telaten Merestorasi untuk Merawat Karya Seni
Ketika bekerja sama dengan Nia, Aghi merasa beruntung. Sebab, ketika menggarap project ini, Nia cukup banyak memberikannya masukan di dunia yang baru dimasukinya ini. Ketika itu, diskusi yang paling banyak dilakukan juga perihal selera musik dan referensi film.
Ketika kesamaan visi sudah didapat, barulah keduanya mulai meramu visi untuk project film berjudul Berbagi Suami tersebut. Pengalaman ini kemudian cukup membentuknya untuk mengambil treatment serupa setiap kali terlibat ke dalam penggarapan film.
Baginya, pemahaman yang sama antara sutradara dan penata musik adalah suatu kewajiban. Dari sini, keduanya bisa merespons cerita secara lebih baik. Sebab, sedari awal keduanya sudah berada di titik klik yang sama.
Penata musik/komposer film Aghi Narottama saat wawancara dengan Hypeabis.id di Jakarta, Kamis (29/2/2024). (Sumber gambar: JIBI/Hypeabis/Himawan L)
Seiring perjalanan kariernya, kepekaan Aghi dalam membubuhkan emosi melalui musik di dalam film makin terbentuk. Kepekaan tersebut muncul seiring dengan berbagai genre film, tidak hanya horor, yang digarapnya selama hampir dua dekade ini.
Aghi juga terus melatih kepaannya dengan menonton lebih banyak genre film, membaca buku, belajar akting, dan mengoperasikan kamera. Sudah cukup lama Aghi bergelut dengan street fotografi. Ketika ada waktu luang, Aghi kerap pergi ke tempat-tempat tertentu, mengambil gambar di sana sembari menangkap rasa. Dari situ, sensitivitasnya sebagai penata musik makin terasah.
Baca juga: Hypeprofil Amrit Punjabi: Produser Bertangan Dingin & Mimpi Memajukan Industri Film Nasional
Kini, selain masih bergelat dengan profesi penata suara, Aghi juga tengah merencanakan comeback bersama salah satu bandnya, yakni Ape On The Roof. Dia sedang merencanakan pembuatan mini album. Di luar itu, Aghi juga aktif mengajar di Unisadhuguna International College.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.