Hypereport: Urgensi Meningkatkan Kualitas Peserta Didik & Lulusan Perguruan Tinggi
16 May 2025 |
16:18 WIB
Tidak sekadar kuantitas, kualitas juga menjadi bagian penting yang harus dipikirkan ketika hendak menaikkan angka masyarakat yang menempuh pendidikan di level perguruan tinggi. Bukan tanpa alasan, pendidikan di level ini dapat mendorong warga Indonesia lebih unggul di tengah ketatnya persaingan dalam mencari kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi Indonesia 2024 sebesar 32,00 persen. Angka ini mengalami pertumbuhan 0,55 basis points dibandingkan dengan 2023, yakni 31,45 persen.
Pertumbuhan itu masih membuat Indonesia berada di bawah sejumlah negara-negara Asean. Data World Bank pada 2022 menunjukkan bahwa APK Pendidikan Tinggi Malaysia mencapai 43 persen dan Thailand 49,29 persen. Sementara itu, Singapura berada di angka 91,09 persen.
Baca juga laporan terkait:
Pertama adalah ekonomi. Seseorang yang berada jauh di sejumlah daerah di Indonesia harus mengeluarkan total biaya yang tidak sedikit ketika menempuh pendidikan tinggi. Selain biaya kuliah, individu juga harus berpikir banyak hal, seperti biaya hidup sehari-hari, transportasi, dan sebagainya.
Kedua, alasan angka partisipasi kasar perguruan tinggi Indonesia yang masih rendah juga tidak dapat dilepaskan dari jumlah penduduknya yang besar dan beban ekonominya yang tidak sedikit. Dia menuturkan, dalam perbandingan dengan negara lain dengan GDP yang tidak jauh berbeda seperti Kolombia, Indonesia memiliki APK yang lebih rendah lantaran.
Dengan kondisi tersebut, langkah utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengatasi kendala ekonomi. Pada saat ini, pemerintah telah melakukan intervensi dengan menyediakan sejumlah beasiswa. Akan tetapi, jumlahnya masih belum cukup dan perlu ditingkatkan.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memikirkan sistem secara keseluruhan yang memungkinkan anak dari keluarga tidak mampu dapat menempuh pendidikan tinggi tanpa memikirkan biaya untuk hidup, transportasi, dan sebagainya.
“Jadi, secara ekonominya, masih banyak anak-anak muda yang perlu kita bantu. Terkecuali kalau nanti seperti Korea Selatan, ketika ekonomi sudah maju, pertumbuhan lebih tinggi, kemudian juga merata pendapatannya, itu bisa kita lakukan - tidak perlu lagi intervensi dari negara untuk membantu mereka,” katanya.
Terkait dengan kemungkinan beasiswa dari luar negeri, saat ini, banyak anak Indonesia di berbagai daerah yang pintar dan memiliki kemampuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Hanya saja, mereka umumnya masih memiliki kendala terkait bahasa.
Kondisi kendala bahasa dapat terjadi lantaran Pendidikan di tingkat yang lebih bawahnya juga tidak terlalu baik, sehingga penguasaan bahasa asing sangat rendah. Jadi, pemerintah dapat membantu dengan mengadakan biaya untuk kursus bahasa asing bagi individu yang hendak memperoleh beasiswa perguruan tinggi di luar negeri.
“Jadi, lihat saja. hampir semua seleksi beasiswa luar negeri, itu kendalanya pasti anak ini enggak bisa bahasa Inggris atau angka bahasa Inggrisnya rendah. Biasanya begitu,” ujarnya.
Baca juga: Hypereport: Potret Pendidikan Indonesia dalam Data & Angka
Pendidikan di perguruan tinggi, tidak dapat dimungkiri, sangat penting bagi individu dan negara. Terutama pada era yang penuh dengan persaingan ketat pada saat ini dan Indonesia yang akan memperoleh bonus demografi.
Individu yang menempuh atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi kerap memiliki cara berpikir yang berbeda. Saat kuliah, mereka minimal akan diajari cara berpikir yang logis. Mereka juga akan mulai dibiasakan untuk berpikir kritis.
“Dia harus disiplin. Dia juga harus memenuhi waktu dengan baik. Belum lagi yang soal kecerdasan emosional, spiritual, dan lain-lain. Jadi, sebenarnya, ketika anak belajar di perguruan tinggi, paling tidak di masyarakat kita itu sudah selesai untuk berpikir aspek-aspek kompetensi itu,” katanya.
Pada gilirannya, seseorang dengan pikiran kritis dan kreatif itu diperlukan untuk diri sendiri dan juga bangsa. Mereka akan membuat Indonesia lebih kompetitif, berdaya saing, dan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan negara lain.
Pada akhirnya, kualitas juga perlu menjadi perhatian selain mengejar tingkat APK perguruan tinggi, bukan hanya soal jumlah individu yang menempuh pendidikan tinggi.
Totok menilai secara keseluruhan sistem pendidikan di perguruan tinggi Indonesia masih dapat ditingkatkan. Salah satu di antaranya adalah dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi jarak jauh yang memiliki manfaat untuk menjangkau individu di daerah-daerah.
Dari sisi fasilitas, pendidikan tinggi di kota-kota besar di Indonesia tentu lebih bagus dibandingkan dengan di level daerah. Hal ini misalnya terlihat dari jaringan internet, sebagai perangkat penting untuk bisa mengakses informasi.
Bukan tanpa alasan, kehadiran internet dan alat untuk mengaksesnya menjadi penting di tengah perkembangan digital pada saat ini, terlebih dengan makin masifnya pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Khairul Munadi mengungkapkan bahwa upaya menaikkan APK belum terintegrasi secara optimal. Tidak hanya itu, pendekatan yang dilakukan juga masih parsial.
“Karena itu kami mendorong agar hal ini menjadi perhatian bersama. Kita perlu menyusun strategi nasional yang tepat dan integratif, karena keberhasilannya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan tidak bisa hanya bergantung pada satu sektor saja,” katanya dalam laman Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Saat ini, pemerintah tengah mematangkan strategi baru yang lebih komprehensif guna meningkatkan APK perguruan tinggi. Salah satunya melalui penguatan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah daerah diharapkan dapat membantu menjangkau lebih banyak calon mahasiswa yang selama ini belum tersentuh skema beasiswa nasional dengan aktif menyediakan dana pendidikan untuk masyarakatnya.
Tidak hanya itu, diversifikasi skema beasiswa juga perlu menjadi salah satu perhatian. Sebagai contoh, penerima beasiswa wajib kembali dan mengabdi di desa asal setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, sehingga menjadi penggerak pembangunan di daerahnya.
Selain itu, dia juga berharap ada perbaikan dalam mekanisme perekrutan dan penyebaran peluang pendidikan tinggi secara merata. Salah satu permasalahan mendasar yang ada adalah ketergantungan berlebihan terhadap beasiswa yang hanya mampu menjangkau kelompok tertentu, seperti siswa yang telah memiliki akses informasi dan jaringan yang memadai.
Baca juga: Hypereport: Mereka yang Berjasa Meletakkan Dasar Pendidikan Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi Indonesia 2024 sebesar 32,00 persen. Angka ini mengalami pertumbuhan 0,55 basis points dibandingkan dengan 2023, yakni 31,45 persen.
Pertumbuhan itu masih membuat Indonesia berada di bawah sejumlah negara-negara Asean. Data World Bank pada 2022 menunjukkan bahwa APK Pendidikan Tinggi Malaysia mencapai 43 persen dan Thailand 49,29 persen. Sementara itu, Singapura berada di angka 91,09 persen.
Baca juga laporan terkait:
- Hypereport: Refleksi Pendidikan Indonesia, Menyongsong Era Baru Penuh Tantangan
- Hypereport: Peran Besar Vokasi Jadi Tulang Punggung Ekonomi Indonesia
- Hypereport: Pentingnya Perkuat Pondasi Pendidikan Dasar & Menengah
Pertama adalah ekonomi. Seseorang yang berada jauh di sejumlah daerah di Indonesia harus mengeluarkan total biaya yang tidak sedikit ketika menempuh pendidikan tinggi. Selain biaya kuliah, individu juga harus berpikir banyak hal, seperti biaya hidup sehari-hari, transportasi, dan sebagainya.
Kedua, alasan angka partisipasi kasar perguruan tinggi Indonesia yang masih rendah juga tidak dapat dilepaskan dari jumlah penduduknya yang besar dan beban ekonominya yang tidak sedikit. Dia menuturkan, dalam perbandingan dengan negara lain dengan GDP yang tidak jauh berbeda seperti Kolombia, Indonesia memiliki APK yang lebih rendah lantaran.
Dengan kondisi tersebut, langkah utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengatasi kendala ekonomi. Pada saat ini, pemerintah telah melakukan intervensi dengan menyediakan sejumlah beasiswa. Akan tetapi, jumlahnya masih belum cukup dan perlu ditingkatkan.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memikirkan sistem secara keseluruhan yang memungkinkan anak dari keluarga tidak mampu dapat menempuh pendidikan tinggi tanpa memikirkan biaya untuk hidup, transportasi, dan sebagainya.
“Jadi, secara ekonominya, masih banyak anak-anak muda yang perlu kita bantu. Terkecuali kalau nanti seperti Korea Selatan, ketika ekonomi sudah maju, pertumbuhan lebih tinggi, kemudian juga merata pendapatannya, itu bisa kita lakukan - tidak perlu lagi intervensi dari negara untuk membantu mereka,” katanya.
Terkait dengan kemungkinan beasiswa dari luar negeri, saat ini, banyak anak Indonesia di berbagai daerah yang pintar dan memiliki kemampuan untuk menempuh pendidikan tinggi. Hanya saja, mereka umumnya masih memiliki kendala terkait bahasa.
Kondisi kendala bahasa dapat terjadi lantaran Pendidikan di tingkat yang lebih bawahnya juga tidak terlalu baik, sehingga penguasaan bahasa asing sangat rendah. Jadi, pemerintah dapat membantu dengan mengadakan biaya untuk kursus bahasa asing bagi individu yang hendak memperoleh beasiswa perguruan tinggi di luar negeri.
“Jadi, lihat saja. hampir semua seleksi beasiswa luar negeri, itu kendalanya pasti anak ini enggak bisa bahasa Inggris atau angka bahasa Inggrisnya rendah. Biasanya begitu,” ujarnya.
Baca juga: Hypereport: Potret Pendidikan Indonesia dalam Data & Angka
Urgensi Pendidikan Tinggi
Pendidikan di perguruan tinggi, tidak dapat dimungkiri, sangat penting bagi individu dan negara. Terutama pada era yang penuh dengan persaingan ketat pada saat ini dan Indonesia yang akan memperoleh bonus demografi.Individu yang menempuh atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi kerap memiliki cara berpikir yang berbeda. Saat kuliah, mereka minimal akan diajari cara berpikir yang logis. Mereka juga akan mulai dibiasakan untuk berpikir kritis.
“Dia harus disiplin. Dia juga harus memenuhi waktu dengan baik. Belum lagi yang soal kecerdasan emosional, spiritual, dan lain-lain. Jadi, sebenarnya, ketika anak belajar di perguruan tinggi, paling tidak di masyarakat kita itu sudah selesai untuk berpikir aspek-aspek kompetensi itu,” katanya.
Pada gilirannya, seseorang dengan pikiran kritis dan kreatif itu diperlukan untuk diri sendiri dan juga bangsa. Mereka akan membuat Indonesia lebih kompetitif, berdaya saing, dan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan negara lain.
Pada akhirnya, kualitas juga perlu menjadi perhatian selain mengejar tingkat APK perguruan tinggi, bukan hanya soal jumlah individu yang menempuh pendidikan tinggi.
BI Goes to Campus(Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha)
Dari sisi fasilitas, pendidikan tinggi di kota-kota besar di Indonesia tentu lebih bagus dibandingkan dengan di level daerah. Hal ini misalnya terlihat dari jaringan internet, sebagai perangkat penting untuk bisa mengakses informasi.
Bukan tanpa alasan, kehadiran internet dan alat untuk mengaksesnya menjadi penting di tengah perkembangan digital pada saat ini, terlebih dengan makin masifnya pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Khairul Munadi mengungkapkan bahwa upaya menaikkan APK belum terintegrasi secara optimal. Tidak hanya itu, pendekatan yang dilakukan juga masih parsial.
“Karena itu kami mendorong agar hal ini menjadi perhatian bersama. Kita perlu menyusun strategi nasional yang tepat dan integratif, karena keberhasilannya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan tidak bisa hanya bergantung pada satu sektor saja,” katanya dalam laman Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Saat ini, pemerintah tengah mematangkan strategi baru yang lebih komprehensif guna meningkatkan APK perguruan tinggi. Salah satunya melalui penguatan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah daerah diharapkan dapat membantu menjangkau lebih banyak calon mahasiswa yang selama ini belum tersentuh skema beasiswa nasional dengan aktif menyediakan dana pendidikan untuk masyarakatnya.
Tidak hanya itu, diversifikasi skema beasiswa juga perlu menjadi salah satu perhatian. Sebagai contoh, penerima beasiswa wajib kembali dan mengabdi di desa asal setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, sehingga menjadi penggerak pembangunan di daerahnya.
Selain itu, dia juga berharap ada perbaikan dalam mekanisme perekrutan dan penyebaran peluang pendidikan tinggi secara merata. Salah satu permasalahan mendasar yang ada adalah ketergantungan berlebihan terhadap beasiswa yang hanya mampu menjangkau kelompok tertentu, seperti siswa yang telah memiliki akses informasi dan jaringan yang memadai.
Baca juga: Hypereport: Mereka yang Berjasa Meletakkan Dasar Pendidikan Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.