Hypereport: Pentingnya Perkuat Pondasi Pendidikan Dasar & Menengah
12 May 2025 |
08:30 WIB
Jenjang pendidikan dasar dan menengah berperan kuat dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas melalui pendidikan. Tak sekadar memberikan kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, pendidikan dasar dan menengah juga berfungsi membentuk karakter serta menumbuhkan kemampuan berpikir kritis.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengusung visi "Pendidikan Bermutu Untuk Semua", yang menekankan dua hal utama yakni pemerataan akses pendidikan dan jaminan mutu pendidikan.
Visi tersebut merupakan bentuk realisasi dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Termasuk, mengacu pada Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional 2003 yang menyebut bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, termasuk penyandang difabel dan yang berada di daerah terpencil, terbelakang, dan masyarakat adat. Begitu pula warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
"Intinya, setiap warga negara berhak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan sepanjang hayat," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Mereka yang Berjasa Meletakkan Dasar Pendidikan Indonesia
2. Hypereport: Potret Pendidikan Indonesia dalam Data & Angka
Mu'ti memaparkan sesuai dengan visi pendidikan bermutu untuk semua, Kemendikdasmen telah menyusun sejumlah program prioritas yang berkaitan dengan penguatan pendidikan karakter, wajib belajar 13 tahun, dan pemerataan kesempatan pendidikan.
Selain itu, program-program yang berkaitan dengan sarana dan prasarana yang memadai, pendidik dan tenaga kependidikan yang kompeten dan sejahtera, dan lingkungan sosial budaya yang mendukung. Lalu, pembelajaran adaptif dan bermakna, ketersediaan layanan yang merata, pembiayaan pendidikan afirmatif, layanan pendidikan inklusif, dan pengembangan talenta unggul.
Termasuk, peningkatan kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru, pengembangan talenta dan prestasi, pemenuhan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta pembangunan kebahasaan dan kesastraan.
Dengan anggaran sebesar Rp25 triliun untuk tahun 2025, Kemendikdasmen akan menjalankan sebanyak 25 program prioritas diantaranya wajib belajar 13 tahun dan pemerataan kesempatan pendidikan, penyediaan bantuan pendidikan dasar dan menengah melalui Program Indonesia Pintar (PIP), serta bantuan afirmasi untuk siswa daerah 3T dan Papua melalui program beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM).
Bantuan lainnya termasuk Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP), serta Beasiswa Unggulan, Darmasiswa, dan Beasiswa Indonesia Maju (BIM). Dari segi tenaga pendidik, Kemendikdasmen juga telah menganggarkan tunjangan guru, pelatihan peningkatan kompetensi guru BK, serta program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Sementara itu, untuk sarana dan prasarana pendidikan, Kemendikdasmen mencanangkan program revitalisasi pada 10.440 satuan pendidikan (rehabilitasi, penambahan ruang pembelajaran, dan satuan pendidikan baru) untuk mendukung perluasan akses dan penguatan pembelajaran berkualitas, seiring dengan upaya mendorong dampak ekonomi kepada masyarakat.
"[Program-program] ini merupakan bagian dari upaya kita untuk memberikan layanan pendidikan bermutu untuk semua, dalam rangka membangun generasi yang cerdas dan maju," ujar Mu'ti.
Lebih lanjut, Mu'ti menguraikan kebijakan pendidikan nasional diarahkan untuk membentuk generasi yang berpengetahuan (knowledgeable), terampil (capable), dan rendah hati (humble). Knowledgeable menggambarkan generasi yang tahu dan mengerti banyak hal, sehingga kekuatan ilmu akan menjadi kekuatan suatu bangsa.
Capable menunjukkan generasi yang memiliki keterampilan dan kesiapan menghadapi dunia kerja setelah menyelesaikan studi. Sementara humble menegaskan bahwa generasi muda tetap harus memiliki akhlak mulia dan budi pekerti luhur sesuai amanat konstitusi.
"Penguasaan ilmu pengetahuan harus dibarengi dengan keterampilan dan karakter yang baik," terangnya.
Termasuk, mewajibkan generasi muda untuk memiliki soft skills seperti kreativitas (creativity), berpikir kritis (critical thinking), komunikasi (communication), serta kolaborasi (collaboration) yang sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini.
Dalam upaya menumbuhkan hal-hal tersebut itulah, Kemendikdasmen menerapkan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning). Pada pendekatan itu, dua aspek yang ditekankan yaitu karakter (character) dan kewargaan (citizenship).
“Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan dalam pendidikan, demi menumbuhkan kepekaan, kepedulian, dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa," kata Mu’ti.
Melalui visi Pendidikan Bermutu untuk Semua dan pendekatan deep learning yang mengedepankan personalisasi, teknologi, serta penguatan karakter dan kewargaan, lanjutnya, Kemendikdasmen berkomitmen mendorong pendidikan yang transformatif dan berkelanjutan.
Kendati demikian, sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia masih dibayangi dengan sejumlah tantangan. Pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, mengatakan untuk menilai kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang kompetensi siswa, yang mencakup perilaku, pengetahuan, dan keterampilan.
Menurutnya, pendidikan karakter di Indonesia belum efektif. Hal itu tampak dari maraknya budaya mencontek dan kekerasan yang terjadi di sekolah. Begitupun dengan kejadian perundungan dan tawuran yang juga tinggi di kalangan siswa sekolah.
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa kasus menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah serta 98 persen kampus di Indonesia. Begitupun dengan praktik plagiarisme yang terjadi di 43 persen kampus dan 6 persen sekolah di Tanah Air.
Sementara itu, lanjut Jejen, di bidang akademik, nilai literasi dan numerasi siswa juga masih kalah dengan siswa di negara-negara tetangga. Seperti diketahui, literasi dan numerasi adalah dua kompetensi penting yang harus dimiliki siswa pada era globalisasi. Numerasi adalah kemampuan menerapkan konsep numerik dan matematika dalam sehari-hari.
Sementara literasi adalah kemampuan memahami dan menggunakan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Kedua kompetensi ini berhubungan erat dengan penalaran, kreativitas, dan keterampilan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Sayangnya, kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini terlihat dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh organisasi Organization for Economic Cooperation dan Development (OECD) pada 2022.
Meski hasil PISA Indonesia pada 2022 naik 5-6 peringkat dibandingkan dengan 2018 yang dilihat dari berbagai aspek, namun siswa Indonesia masih mendapat nilai rata-rata kemampuan numerasi dan literasi di bawah rata-rata OECD.
"Kualitas pendidikan kita di level kurang memuaskan," kata Jejen.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji juga menyoroti masih rendahnya tingkat kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurutnya, pemerintah semestinya berfokus untuk meningkatkan literasi dan numerasi sebagai kemampuan dasar yang dikuasai siswa.
Ubaid mengatakan sejumlah kemampuan dasar seharusnya tuntas dikuasai oleh siswa pada jenjang SMP, seperti kemampuan baca, tulis, literasi, matematika, numerasi, dan sains. Termasuk, pendidikan karakter.
"Kalau di pendidikan dasarnya ini SD sampai SMP karakternya buruk, matematikanya buruk, literasinya buruk, ya sampai ke perguruan tinggi pun enggak dapet apa-apa tuh anak," ucapnya.
Jejen berpendapat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia harus dimulai dari meningkatkan kualitas guru, dilanjutkan dengan kualitas kurikulum dan fasilitas pendidikan. Untuk mendapatkan guru berkualitas, paparnya, dapat diupayakan mulai dari proses rekrutmen yang baik, pembinaan yang baik, serta menjamin kesejahteraan para tenaga pendidik.
Sementara untuk memiliki kurikulum dan fasilitas yang baik, memerlukan komitmen dan political will baik dari pemerintah pusat maupun hingga tingkat daerah. "[Distribusi] guru harus merata, dan perbaikan fasilitas sekolah harus terencana," imbuhnya.
Menurut data Statistik Pendidikan 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah guru di Indonesia semakin berkurang. Komposisi guru paling banyak berada pada jenjang SD yaitu sebanyak 1,6 juta guru. Sementara guru pada jenjang SMP sekitar setengah dari jumlah guru SD yaitu sebanyak 715.253 guru, lalu di jenjang SMA dan SMK sebanyak 355.147 dan 339.715 guru
Di sisi lain, Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan bidang pendidikan dalam hal penerapan distribusi guru yang ideal dan menyeluruh. Lebih banyak guru tertumpuk di kota-kota besar, sementara di daerah terpencil kekurangan guru. Hal ini menyebabkan beban kerja guru di setiap daerah berbeda-beda.
Begitupun dengan sarana dan prasarana pendidikan. Menurut catatan BPS, pada tahun ajaran (TA) 2023/2024, jumlah sekolah di tingkat SD mengalami penurunan yakni sebanyak 148.758 sekolah. Jumlah itu menurun sebanyak 217 sekolah dari tahun ajaran 2022/2023 yang terdiri dari 148.975 sekolah.
Begitupun dengan jumlah sekolah tingkat SMA yang menurun sebanyak 13 sekolah menjadi 14.252 sekolah pada TA 2023/2024. Sementara itu, jumlah sekolah di tingkat SMP dan SMA mengalami peningkatan, masing-masing 562 sekolah dan 209 sekolah. Secara total, jumlah sekolah SMP menjadi 42.548 sekolah sementara untuk jenjang SMA sebanyak 14.445 sekolah.
Tak hanya jumlah bangunannya yang menurun signifikan, kondisi ruang-ruang kelas di sekolah tingkat SD juga masih menghadapi tantangan. Pada jenjang SD, masih terdapat sekitar 10,52 persen ruang kelas dengan kondisi rusak berat. Posisinya disusul oleh jenjang SMP sebesar 6,63 persen, SMA 5,69 persen, dan SMK sebanyak 2,96 persen.
Dengan kondisi seperti itu, Jejen menilai penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan terkait pendidikan dasar dan menengah berbasis masalah, bukan selera pejabat termasuk presiden maupun menteri. Dia menegaskan penting untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dalam setiap merancang kebijakan untuk pendidikan.
"Harus juga anti atau zero korupsi dalam pelaksanaan setiap kebijakan dari pusat hingga daerah. Menunjuk orang-orang berkualitas di pemerintahan, melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan secara konsisten, dan menindaklanjuti hasil monev untuk perbaikan kebijakan dan program di masa depan," jelasnya.
Ubaid menambahkan manajemen perubahan dalam sistem pendidikan tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah harus hadir di setiap level sekolah untuk melakukan pembenahan, mulai dari proses belajar, pembuatan kurikulum di level lokal, hingga pelaksanaan evaluasi belajar.
"Enggak ada logika manajemen perubahan yang bisa dilakukan secara instan. Harusnya ya ditata secara baik berdasarkan data," ujarnya.
Baca juga: Sejarah Kurikulum Pendidikan di Indonesia, dari Rencana 1947 hingga Kurikulum Merdeka
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengusung visi "Pendidikan Bermutu Untuk Semua", yang menekankan dua hal utama yakni pemerataan akses pendidikan dan jaminan mutu pendidikan.
Visi tersebut merupakan bentuk realisasi dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Termasuk, mengacu pada Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional 2003 yang menyebut bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, termasuk penyandang difabel dan yang berada di daerah terpencil, terbelakang, dan masyarakat adat. Begitu pula warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
"Intinya, setiap warga negara berhak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan sepanjang hayat," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Mereka yang Berjasa Meletakkan Dasar Pendidikan Indonesia
2. Hypereport: Potret Pendidikan Indonesia dalam Data & Angka
Mu'ti memaparkan sesuai dengan visi pendidikan bermutu untuk semua, Kemendikdasmen telah menyusun sejumlah program prioritas yang berkaitan dengan penguatan pendidikan karakter, wajib belajar 13 tahun, dan pemerataan kesempatan pendidikan.
Selain itu, program-program yang berkaitan dengan sarana dan prasarana yang memadai, pendidik dan tenaga kependidikan yang kompeten dan sejahtera, dan lingkungan sosial budaya yang mendukung. Lalu, pembelajaran adaptif dan bermakna, ketersediaan layanan yang merata, pembiayaan pendidikan afirmatif, layanan pendidikan inklusif, dan pengembangan talenta unggul.
Termasuk, peningkatan kualifikasi, kompetensi, dan kesejahteraan guru, pengembangan talenta dan prestasi, pemenuhan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta pembangunan kebahasaan dan kesastraan.
Ilustrasi siswa sekolah dasar. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Program & Arah Kebijakan Pendidikan
Dengan anggaran sebesar Rp25 triliun untuk tahun 2025, Kemendikdasmen akan menjalankan sebanyak 25 program prioritas diantaranya wajib belajar 13 tahun dan pemerataan kesempatan pendidikan, penyediaan bantuan pendidikan dasar dan menengah melalui Program Indonesia Pintar (PIP), serta bantuan afirmasi untuk siswa daerah 3T dan Papua melalui program beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM).Bantuan lainnya termasuk Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP), serta Beasiswa Unggulan, Darmasiswa, dan Beasiswa Indonesia Maju (BIM). Dari segi tenaga pendidik, Kemendikdasmen juga telah menganggarkan tunjangan guru, pelatihan peningkatan kompetensi guru BK, serta program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Sementara itu, untuk sarana dan prasarana pendidikan, Kemendikdasmen mencanangkan program revitalisasi pada 10.440 satuan pendidikan (rehabilitasi, penambahan ruang pembelajaran, dan satuan pendidikan baru) untuk mendukung perluasan akses dan penguatan pembelajaran berkualitas, seiring dengan upaya mendorong dampak ekonomi kepada masyarakat.
"[Program-program] ini merupakan bagian dari upaya kita untuk memberikan layanan pendidikan bermutu untuk semua, dalam rangka membangun generasi yang cerdas dan maju," ujar Mu'ti.
Lebih lanjut, Mu'ti menguraikan kebijakan pendidikan nasional diarahkan untuk membentuk generasi yang berpengetahuan (knowledgeable), terampil (capable), dan rendah hati (humble). Knowledgeable menggambarkan generasi yang tahu dan mengerti banyak hal, sehingga kekuatan ilmu akan menjadi kekuatan suatu bangsa.
Capable menunjukkan generasi yang memiliki keterampilan dan kesiapan menghadapi dunia kerja setelah menyelesaikan studi. Sementara humble menegaskan bahwa generasi muda tetap harus memiliki akhlak mulia dan budi pekerti luhur sesuai amanat konstitusi.
"Penguasaan ilmu pengetahuan harus dibarengi dengan keterampilan dan karakter yang baik," terangnya.
Termasuk, mewajibkan generasi muda untuk memiliki soft skills seperti kreativitas (creativity), berpikir kritis (critical thinking), komunikasi (communication), serta kolaborasi (collaboration) yang sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini.
Dalam upaya menumbuhkan hal-hal tersebut itulah, Kemendikdasmen menerapkan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning). Pada pendekatan itu, dua aspek yang ditekankan yaitu karakter (character) dan kewargaan (citizenship).
“Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan dalam pendidikan, demi menumbuhkan kepekaan, kepedulian, dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa," kata Mu’ti.
Melalui visi Pendidikan Bermutu untuk Semua dan pendekatan deep learning yang mengedepankan personalisasi, teknologi, serta penguatan karakter dan kewargaan, lanjutnya, Kemendikdasmen berkomitmen mendorong pendidikan yang transformatif dan berkelanjutan.
Ilustrasi siswa sekolah dasar. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Tantangan Pendidikan Dasar & Menengah
Kendati demikian, sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia masih dibayangi dengan sejumlah tantangan. Pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, mengatakan untuk menilai kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang kompetensi siswa, yang mencakup perilaku, pengetahuan, dan keterampilan.Menurutnya, pendidikan karakter di Indonesia belum efektif. Hal itu tampak dari maraknya budaya mencontek dan kekerasan yang terjadi di sekolah. Begitupun dengan kejadian perundungan dan tawuran yang juga tinggi di kalangan siswa sekolah.
Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa kasus menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah serta 98 persen kampus di Indonesia. Begitupun dengan praktik plagiarisme yang terjadi di 43 persen kampus dan 6 persen sekolah di Tanah Air.
Sementara itu, lanjut Jejen, di bidang akademik, nilai literasi dan numerasi siswa juga masih kalah dengan siswa di negara-negara tetangga. Seperti diketahui, literasi dan numerasi adalah dua kompetensi penting yang harus dimiliki siswa pada era globalisasi. Numerasi adalah kemampuan menerapkan konsep numerik dan matematika dalam sehari-hari.
Sementara literasi adalah kemampuan memahami dan menggunakan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Kedua kompetensi ini berhubungan erat dengan penalaran, kreativitas, dan keterampilan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Sayangnya, kemampuan literasi dan numerasi siswa di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini terlihat dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh organisasi Organization for Economic Cooperation dan Development (OECD) pada 2022.
Meski hasil PISA Indonesia pada 2022 naik 5-6 peringkat dibandingkan dengan 2018 yang dilihat dari berbagai aspek, namun siswa Indonesia masih mendapat nilai rata-rata kemampuan numerasi dan literasi di bawah rata-rata OECD.
"Kualitas pendidikan kita di level kurang memuaskan," kata Jejen.
Ilustrasi siswa sekolah menengah. (Sumber gambar: Ed Us/Unsplash)
Ubaid mengatakan sejumlah kemampuan dasar seharusnya tuntas dikuasai oleh siswa pada jenjang SMP, seperti kemampuan baca, tulis, literasi, matematika, numerasi, dan sains. Termasuk, pendidikan karakter.
"Kalau di pendidikan dasarnya ini SD sampai SMP karakternya buruk, matematikanya buruk, literasinya buruk, ya sampai ke perguruan tinggi pun enggak dapet apa-apa tuh anak," ucapnya.
Jejen berpendapat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia harus dimulai dari meningkatkan kualitas guru, dilanjutkan dengan kualitas kurikulum dan fasilitas pendidikan. Untuk mendapatkan guru berkualitas, paparnya, dapat diupayakan mulai dari proses rekrutmen yang baik, pembinaan yang baik, serta menjamin kesejahteraan para tenaga pendidik.
Sementara untuk memiliki kurikulum dan fasilitas yang baik, memerlukan komitmen dan political will baik dari pemerintah pusat maupun hingga tingkat daerah. "[Distribusi] guru harus merata, dan perbaikan fasilitas sekolah harus terencana," imbuhnya.
Menurut data Statistik Pendidikan 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), semakin tinggi jenjang pendidikan, jumlah guru di Indonesia semakin berkurang. Komposisi guru paling banyak berada pada jenjang SD yaitu sebanyak 1,6 juta guru. Sementara guru pada jenjang SMP sekitar setengah dari jumlah guru SD yaitu sebanyak 715.253 guru, lalu di jenjang SMA dan SMK sebanyak 355.147 dan 339.715 guru
Di sisi lain, Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan bidang pendidikan dalam hal penerapan distribusi guru yang ideal dan menyeluruh. Lebih banyak guru tertumpuk di kota-kota besar, sementara di daerah terpencil kekurangan guru. Hal ini menyebabkan beban kerja guru di setiap daerah berbeda-beda.
Begitupun dengan sarana dan prasarana pendidikan. Menurut catatan BPS, pada tahun ajaran (TA) 2023/2024, jumlah sekolah di tingkat SD mengalami penurunan yakni sebanyak 148.758 sekolah. Jumlah itu menurun sebanyak 217 sekolah dari tahun ajaran 2022/2023 yang terdiri dari 148.975 sekolah.
Begitupun dengan jumlah sekolah tingkat SMA yang menurun sebanyak 13 sekolah menjadi 14.252 sekolah pada TA 2023/2024. Sementara itu, jumlah sekolah di tingkat SMP dan SMA mengalami peningkatan, masing-masing 562 sekolah dan 209 sekolah. Secara total, jumlah sekolah SMP menjadi 42.548 sekolah sementara untuk jenjang SMA sebanyak 14.445 sekolah.
Tak hanya jumlah bangunannya yang menurun signifikan, kondisi ruang-ruang kelas di sekolah tingkat SD juga masih menghadapi tantangan. Pada jenjang SD, masih terdapat sekitar 10,52 persen ruang kelas dengan kondisi rusak berat. Posisinya disusul oleh jenjang SMP sebesar 6,63 persen, SMA 5,69 persen, dan SMK sebanyak 2,96 persen.
Kebijakan Berbasis Data
Dengan kondisi seperti itu, Jejen menilai penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan terkait pendidikan dasar dan menengah berbasis masalah, bukan selera pejabat termasuk presiden maupun menteri. Dia menegaskan penting untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dalam setiap merancang kebijakan untuk pendidikan."Harus juga anti atau zero korupsi dalam pelaksanaan setiap kebijakan dari pusat hingga daerah. Menunjuk orang-orang berkualitas di pemerintahan, melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan secara konsisten, dan menindaklanjuti hasil monev untuk perbaikan kebijakan dan program di masa depan," jelasnya.
Ubaid menambahkan manajemen perubahan dalam sistem pendidikan tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah harus hadir di setiap level sekolah untuk melakukan pembenahan, mulai dari proses belajar, pembuatan kurikulum di level lokal, hingga pelaksanaan evaluasi belajar.
"Enggak ada logika manajemen perubahan yang bisa dilakukan secara instan. Harusnya ya ditata secara baik berdasarkan data," ujarnya.
Baca juga: Sejarah Kurikulum Pendidikan di Indonesia, dari Rencana 1947 hingga Kurikulum Merdeka
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.