Jakarta Art Love U Fest: Ketika Ekspresi Cinta Diungkai Lewat Bahasa Rupa
11 November 2024 |
20:00 WIB
Sebuah instalasi seperti garis cakrawala menyambut mata pengunjung saat memasuki gedung Jakarta Design Center (JDC) di Jakarta Pusat. Berbentuk laiknya liana, karya seni dari bilah bambu itu berjejalin, merambati tiang-tiang pilar, bak tumbuhan ingin menggapai caahaya matahari.
Lawon Bebat, itulah judul karya instalasi Joko Avianto, satu dari ratusan karya dalam pameran Art Love U Fest, di JDC, Jakarta. Seperti judulnya, karya berbahasa Sunda yang berarti kain dengan rama garis-garis putih di ufuk timur, itu seolah memberi nuansa secercah harapan.
Baca juga: Pameran Anugerah Kebudayaan Hadirkan Senarai Karya Maestro Indonesia
Instalasi ini, sejatinya merupakan seri karya ke sekian dari dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, itu. Sebelumnya, Joko sempat membuat karya yang sama di Gedung BNPB, Jawa Barat, meski material yang digunakan berbeda, yakni HDPE.
Jika tahun sebelumnya, Lawon Bebat merespons pandemi covid-19, kali ini sang seniman sepertinya ingin menggugah kesadaran masyarakat pada situasi global. Mulai dari krisis alam, hingga perang tak berkesudahan, yang semuanya mengalir ke bahasa cinta.
"Karya ini ingin menggugah kembali kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga identitas budaya sebagai pelindung bagi jiwa manusia dan alam, sembari menghargai keterhubungan erat antara keduanya dalam kearifan lokal," katanya.
Memasuki gedung, publik juga bakal menemui sepilihan karya yang disebar di 7 lantai dengan ruang-ruang berbeda di tiap lantainya. Ada seniman yang memanfaatkan rajutan sebagai ekspresi cinta berbentuk gunungan, dari Rajut Kejut, hingga karya kontemporer lain, baik dua atau tiga dimensi.
Seniman Made Toris Mahendra misalnya, menyuguhkan dua karya bertajuk Reflection of Time, dan The Guardian of The Peace (mix media on canvas, 165x175 cm). Karya bertitimangsa 207-2018 itu, merefleksikan bagaimana mata dalam menangkap keberagaman, dan multikulturalnya Indonesia dari sudut pandang bola mata yang dilukis seperti alam semesta.
Selain menghadirkan visual reflektif, lepaan cat yang dilabur di sebidang kanvas itu juga membedah kelindan soal yang relevan dengan dunia hari ini. Krisis yang menggerogoti nurani, alam yang kian renta, serta tidak adanya keinginan manusia untuk sejenak menunda proses kepunahan tersebut.
"Lewat karya ini saya merefleksikan kekhawatiran di mana perbedaan itu dipertajam lewat politik identitas. Padahal, perbedaan itu sesuatu yang alami sekaligus anugerah yang tidak bisa dipertentangkan. Mata itu kan apa yang kita lihat, serap, dan dibagikan lagi ke orang lain," katanya.
Baca juga: Eksplorasi Kertas Ala Widi Pangestu dalam Pameran Natural Inclusion di CG Art Space
Ada pula karya Subandi Giyanto bertajuk Menembus Langit Berbintang (prada emas, cat akrilik di atas kanvas, 140x100 cm, 2020) yang mengimak tiga ekor kuda. Namun, keunikan karya ini bukanlah subjek kuda tersebut, melainkan bagaimana sang seniman mengisi bidang-bidang tubuh kuda motif karakter wayang.
Seniman asal Bantul, Yogyakarta itu memang piawai dalam menggambar wayang. Lewat karya ini, Giyanto juga menampilkan figur kuda dengan efek transparan yang di dalamnya terdapat figur wayang. Dalam nirmana dasar, teknik yang digunakan sang seniman disebut teknik 'mencadari' atau membeli selaput semacam cadar.
Kurator Mikke Susanto mengatakan, seiring bertambahnya jumlah seniman di Indonesia, mereka memang membutuhkan ruang-ruang ekspresi baru untuk menyampaikan gagasannya ke publik. Oleh karena itu, diperlukan tempat yang lebih beragam guna menampung berbagai kegelisahan tersebut.
Menurut Mikke, Festival seni juga penting dihadirkan dengan cara yang lebih inovatif dan cerlang. Sebab, kesenian merupakan salah satu aspek paling penting yang dibutuhkan publik sebagai terapi, yang nantinya akan berujung pada bagaimana mereka menghormati perbedaan yang berlaku di masyarakat.
"Karya seni dapat menjadi payung untuk berbagai macam keadaan, khususnya menjunjung humanisme, rasa sayang, rasa cinta dan berbagai macam hal yang ada di sekitar kita. Festival ini juga merujuk pada budaya cinta, di tengah krisis perang dan rasisme yang membuat kita dapat pecah," katanya.
Lebih lanjut, Mikke menuturkan, festival ini secara khusus dimanifestasikan sebagai bagian dari keintiman dan kegembiraan, sekaligus suka cita warga. Alih-alih hanya sekadar sebagai sarana peningkatan apresiasi seni, pesta ini juga mengarah pada bentuk ruang wisata baru berbasis kreativitas dan hiburan.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Menurutnya selain sebagai ajang pameran, festival ini juga turut mengadakan program untuk lebih dalam memaknai karya seni dengan cara lebih sangkil. Yaitu dengan mengundang para seniman yang menggelar lokakarya dan diskusi, serta edukasi terhadap kesenian, termasuk lewat workshop sketsa.
"Festival ini, secara khusus memang dimanifestasikan sebagai bagian dari keintiman dan kegembiraan, suka cita warga atas berbagai hal yang dihadapi oleh mereka selama ini," imbuhnya.
Editor: Fajar Sidik
Lawon Bebat, itulah judul karya instalasi Joko Avianto, satu dari ratusan karya dalam pameran Art Love U Fest, di JDC, Jakarta. Seperti judulnya, karya berbahasa Sunda yang berarti kain dengan rama garis-garis putih di ufuk timur, itu seolah memberi nuansa secercah harapan.
Baca juga: Pameran Anugerah Kebudayaan Hadirkan Senarai Karya Maestro Indonesia
Instalasi ini, sejatinya merupakan seri karya ke sekian dari dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, itu. Sebelumnya, Joko sempat membuat karya yang sama di Gedung BNPB, Jawa Barat, meski material yang digunakan berbeda, yakni HDPE.
Jika tahun sebelumnya, Lawon Bebat merespons pandemi covid-19, kali ini sang seniman sepertinya ingin menggugah kesadaran masyarakat pada situasi global. Mulai dari krisis alam, hingga perang tak berkesudahan, yang semuanya mengalir ke bahasa cinta.
"Karya ini ingin menggugah kembali kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga identitas budaya sebagai pelindung bagi jiwa manusia dan alam, sembari menghargai keterhubungan erat antara keduanya dalam kearifan lokal," katanya.
Memasuki gedung, publik juga bakal menemui sepilihan karya yang disebar di 7 lantai dengan ruang-ruang berbeda di tiap lantainya. Ada seniman yang memanfaatkan rajutan sebagai ekspresi cinta berbentuk gunungan, dari Rajut Kejut, hingga karya kontemporer lain, baik dua atau tiga dimensi.
Seniman Made Toris Mahendra misalnya, menyuguhkan dua karya bertajuk Reflection of Time, dan The Guardian of The Peace (mix media on canvas, 165x175 cm). Karya bertitimangsa 207-2018 itu, merefleksikan bagaimana mata dalam menangkap keberagaman, dan multikulturalnya Indonesia dari sudut pandang bola mata yang dilukis seperti alam semesta.
Selain menghadirkan visual reflektif, lepaan cat yang dilabur di sebidang kanvas itu juga membedah kelindan soal yang relevan dengan dunia hari ini. Krisis yang menggerogoti nurani, alam yang kian renta, serta tidak adanya keinginan manusia untuk sejenak menunda proses kepunahan tersebut.
"Lewat karya ini saya merefleksikan kekhawatiran di mana perbedaan itu dipertajam lewat politik identitas. Padahal, perbedaan itu sesuatu yang alami sekaligus anugerah yang tidak bisa dipertentangkan. Mata itu kan apa yang kita lihat, serap, dan dibagikan lagi ke orang lain," katanya.
Baca juga: Eksplorasi Kertas Ala Widi Pangestu dalam Pameran Natural Inclusion di CG Art Space
Ada pula karya Subandi Giyanto bertajuk Menembus Langit Berbintang (prada emas, cat akrilik di atas kanvas, 140x100 cm, 2020) yang mengimak tiga ekor kuda. Namun, keunikan karya ini bukanlah subjek kuda tersebut, melainkan bagaimana sang seniman mengisi bidang-bidang tubuh kuda motif karakter wayang.
Seniman asal Bantul, Yogyakarta itu memang piawai dalam menggambar wayang. Lewat karya ini, Giyanto juga menampilkan figur kuda dengan efek transparan yang di dalamnya terdapat figur wayang. Dalam nirmana dasar, teknik yang digunakan sang seniman disebut teknik 'mencadari' atau membeli selaput semacam cadar.
Ruang Ekspresi
Kurator Mikke Susanto mengatakan, seiring bertambahnya jumlah seniman di Indonesia, mereka memang membutuhkan ruang-ruang ekspresi baru untuk menyampaikan gagasannya ke publik. Oleh karena itu, diperlukan tempat yang lebih beragam guna menampung berbagai kegelisahan tersebut.Menurut Mikke, Festival seni juga penting dihadirkan dengan cara yang lebih inovatif dan cerlang. Sebab, kesenian merupakan salah satu aspek paling penting yang dibutuhkan publik sebagai terapi, yang nantinya akan berujung pada bagaimana mereka menghormati perbedaan yang berlaku di masyarakat.
"Karya seni dapat menjadi payung untuk berbagai macam keadaan, khususnya menjunjung humanisme, rasa sayang, rasa cinta dan berbagai macam hal yang ada di sekitar kita. Festival ini juga merujuk pada budaya cinta, di tengah krisis perang dan rasisme yang membuat kita dapat pecah," katanya.
Seorang pengunjung memotret salah satu karya di Festival Jakarta Art Love U pada Jumat (1/11/24). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Lebih lanjut, Mikke menuturkan, festival ini secara khusus dimanifestasikan sebagai bagian dari keintiman dan kegembiraan, sekaligus suka cita warga. Alih-alih hanya sekadar sebagai sarana peningkatan apresiasi seni, pesta ini juga mengarah pada bentuk ruang wisata baru berbasis kreativitas dan hiburan.
Baca juga: Agenda Pameran Seni Rupa November 2024, Ada Flaneur & Jendela Marida Nasution
Menurutnya selain sebagai ajang pameran, festival ini juga turut mengadakan program untuk lebih dalam memaknai karya seni dengan cara lebih sangkil. Yaitu dengan mengundang para seniman yang menggelar lokakarya dan diskusi, serta edukasi terhadap kesenian, termasuk lewat workshop sketsa.
"Festival ini, secara khusus memang dimanifestasikan sebagai bagian dari keintiman dan kegembiraan, suka cita warga atas berbagai hal yang dihadapi oleh mereka selama ini," imbuhnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.