Pengunjung melihat karya seniman Widi Pangestu dalam pameran tunggal Natural Inclusion di Rumah Miring by Cgartspace di Jakarta, Sabtu (19/10/2024). (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)

Eksplorasi Kertas Ala Widi Pangestu dalam Pameran Natural Inclusion di CG Art Space

20 October 2024   |   10:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Kertas, sebagai salah satu objek material telah dimanfaatkan sebagai medium seni sejak berabad-abad silam. Material yang berasal dari serat tanaman seperti bambu dan rami ini, bahkan telah dijadikan sebagai bidang untuk seni lukis kaligrafi atau karya cetak.

Namun seiring berjalannya waktu, kertas juga terus dieksplorasi seniman lewat cara baru dalam menyampaikan bahasa rupa publik. Kertas digunakan bukan hanya sebagai media lukisan, tetapi juga sebagai bahan dasar untuk seni tiga dimensi dengan corak yang khas.

Momen inilah sekiranya, yang terejawantah dalam pameran tunggal Widi Pangestu, bertajuk Natural Inclusion, di CG Artspace, Rumah Miring, Jakarta pada 20-31 Oktober 2024. Menjadi ekshibisi tunggal ke-3, eksplorasi Widi dalam seteleng ini sepertinya membuka wacana baru dalam melihat kertas sebagai medium karya.

Alih-alih menjadikan kertas sebatas sebagai medium, Widi justru kini menciptakan karya seni yang berfokus pada kertas itu sendiri. Caranya dengan mengeraskan, menyaring, atau membuatnya menjadi karya seni yang lentur laiknya kain, dengan bantuan benang, sehingga tercipta jaring yang unik. 

Baca juga: Cek 5 Karya Seni Langka dalam Pameran Flaneur di Galeri Nasional Indonesia
 

Fanny Kusumawardhani

Seorang pengunjung berdiri di samping karya Widi Pangestu bertajuk With, Beside, Against  (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani) 

Dalam Natural Inclusion, Widi sengaja menggunakan kertas sebagai medium utama melalui teknik pembuatan kertas tradisional (traditional papermaking). Proses pembuatan kertas dengan tangan (hand papermaking) inilah yang memberikan kesempatan padanya untuk mengungkai material yang dipakai. 

Misalnya, terefleksi dalam karya bertajuk With, Beside, Against (pigmented and natural cotton and laminated bamboo, 150x16x8 cm). Karya berbentuk persegi panjang yang dibuat pada 2024 itu, sepintas mengimak benda-benda kriya yang umumnya terpacak di sebuah dinding dengan warna primer.

Walakin, Genhype bakal melihat pola-pola geometris dengan nuansa otentik dari corak kayu yang ditata sedemikian rupa. Padahal, pigmen tersebut dibuat oleh seniman dengan mengeraskan bubur kayu yang yang diolah sendiri dari serat bambu, abaca (spesies pisang), dan kulit pohon murbei.

Ada pula karya bertajuk Common roots: Interlace Inclusion I (pigmented abaca paper framed on laminated bamboo, 130x70x14 cm, 2024). Karya yang sepintas mirip jaring ini juga dibuat oleh sang seniman dari bubur kertas yang direkatkan di atas benang sebagai penyangga, yang nantinya mengering.
 

ahah

Seorang pengunjung berdiri di balik karya seniman Widi Pangestu bertajuk Common roots: Interlace Inclusion I, dalam pameran tunggal Natural Inclusion di Rumah Miring by Cgartspace di Jakarta, Sabtu (19/10/2024).  (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani) 

Beranjak ke bagian lain, kita juga akan disuguhi karya bertajuk Fractured Geometry (pigmented handmade abaca, mulberry, and lace mulberry paper framed on laminated bamboo, 83x47,5x4,5 cm, 2024). Berbeda dari sebelumnya, corak geometri dalam karya ini terlihat lebih terstruktur, karena dibuat dengan modular khusus.

Bentuk dan corak yang abstrak juga tergambar dalam karya bertajuk Pearl Concrete, Elemental Interplay, Equilibrium, dan The Conservator. Memboyong sekitar 20 karya dalam pameran ini, sebagian besar karya Widi memang memiliki corak abstrak yang didominasi palet biru, coklat, hijau, dan kekuningan. 
 

Berangkat dari Tradisi 

Proses pembuatan kertas sebagai karya seni menurut Widi, telah menjadi bukti fisik atas hubungan manusia dan alam. Sebab dalam sejarahnya, di setiap kebudayaan yang menghasilkan kertas, para 'produsennya' selalu terhubung dengan berbagai material alam terdekat dari lokasi pembuatan kertas tersebut.

Di Indonesia misalnya, masyarakat mengenal kertas daluang yang dibuat dari serat kayu paper mulberry (Broussonetia papyrifera Vent). Kemudian di Korea dan Jepang juga dikenal kertas hanji dan washi, yang hingga kini masih terus digunakan sebagai salah satu medium seni, baik untuk alat lukis dan origami.

"Praktik traditional paper making inilah yang coba aku masuki dalam kesenian. Namun, selain memikirkan bagaimana kertas ini berpotensi sebagai karya seni, tetapi aku juga mencoba menjadi jembatan dalam memperkenalkan praktek pembuatan kertas tradisional ini ke publik," katanya.
 

Common roots: Interlace Inclusion I

Pengunjung melihat karya seniman Widi Pangestu dalam pameran tunggal Natural Inclusion di Rumah Miring by Cgartspace di Jakarta, Sabtu (19/10/2024).  (Sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)

Menggunakan tiga pohon sebagai bahan dasar karya, kertas-kertas yang dibuat dari teknik tradisional itu menurut Widi juga menghasilkan karakter yang berbeda. Dari Abaca, misalnya akan menghasilkan kertas dengan tekstur yang lebih kasar, sedangkan Mulberry lebih halus dengan serat-serat yang berbeda satu sama lain. 

Lebih dari sewindu menggeluti praktek pembuatan kertas sebagai bahan baku seni, menurut Widi kegiatan ini juga tak bisa dilepaskan dari penggunaan kimia tertentu. Sebab, dengan bantuan kimia tersebut publik akan disuguhi persepsi baru bahwa kertas bisa diubah menjadi benda padat, alih-alih mudah rusak atau gampang terburai. 

"Ini memang ada formulasi khusus. Selain itu, karena ini telah menjadi karya seni, jadi perlu di treatment dengan cara dipernis dikasih silk, biar menjaga dari cuaca dan air. Singkat kata, fungsionalitas kertasnya aku hilangkan dan dijadikan objek karya seni," imbuhnya.

Widi Pangestu merupakan seniman jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dia telah menjalani beberapa program residensi seni seperti Years of Culture, Dialog of Paper Programme, Qatar Museum, Qatar (2023) dan Ricahrd Koh Fine Art Gallery and Blue Art Centre Residency Programme, Seam Reap, Cambodia (2023).

Finalis kompetisi UOB Painting of the Year ke-39 pada 2019 itu juga telah berpameran di dalam dan luar negeri. Termasuk Beyond Painting, Mizuma Singapura (2022), Making Sense of Sense Making, Ace House (2021) dan Everything in Between, Indonesia Contemporary Art Network (ICAN) (2017). 

Baca juga: Menyelami Estetika Rupa dari Sudut Pandang Perempuan dalam Pameran Nonalog

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Naik Commuter Line & LRT Jabodebek Hanya Rp1 pada Minggu 20 Oktober 2024

BERIKUTNYA

4 Ruas Jalan Jakarta yang Tutup saat Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2024

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: