Dongo Dinongo Reactor, Karya Restorasi Sejarah Keluarga dari Peristiwa 1965
10 July 2021 |
19:42 WIB
Kisah keluarga yang pahit selama 14 tahun sebagai imbas dari peristiwa berdarah tahun 1965-1966 masih membekas di hati keluarga seniman Sirin Farid Stevy dan ayahnya Asto Puaso.
Berangkat dari penelusuran lokasi makam mendiang kakek dari Farid sekaligus ayah dari Asto, lahir sebuah karya bernama Dongo Dinongo Reactor yang tampil dalam bentuk instalasi media campur dengan berbagai variasi dimensi yang tampil sebagai salah satu karya dalam perhelatan ARTJOG MMXXI: Arts in Common - Time (to) Wonder pada tahun ini.
Farid bercerita bahwa karya Dongo Dinongo Reactor merupakan arsip perjalanan mencari kuburan asli mendiang kakek dengan tujuan yang sederhana: supaya keluarga tahu di mana mereka akan nyekar setelah selama ini upayanya dilakukan pada kunjungan makam palsu.
Perjalanan kilas balik untuk mencari tempat terakhir keberadaan sang kakek akhirnya berakhir pada tahun 2020, di mana mereka mengunjungi sebuah kawasan di Luweng Grubug, Semanu, Gunungkidul yang diduga sebagai tempat eksekusi orang-orang yang terlibat dengan organisasi selama tahun 1965 dan 1966.
"Meski sulit membuktikan secara empirik, getar hati serta burai tangis rindu yang kami rasakan sejak saat pertama mengunjungi lokasi tersebut, kami yakini sebagai lokasi terakhir kakek dan bapak kami," cerita Farid dan Asto dalam pernyataan resmi yang diterima Hypeabis.id.
Perjalanan selama 14 tahun itu kemudian diilustrasikan secara fisik oleh keduanya dalam sebuah upaya rekonsiliasi kecil, partisipasi, dialog, doa, serta dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat. Dongo Dinongo Reactor, bagi keduanya, adalah usaha untuk memperbaiki sejarah mendiang keluarga yang perlu diluruskan.
Kisah ini kemudian dibawakan dalam bentuk 65 buah tangga bambu yang diberikan oleh keluarga, rekan-rekan, kalangan penyintas atau di luar penyintas dari berbagai latar belakang yang peduli dengan perjuangan rekonsiliasi peristiwa 1965. Tangga ini disusun layaknya lingkaran dengan inti di tengah yang diisi dengan berbagai artefak keluarga dan beberapa hal terkait Kejawen.
Tak hanya sekadar fisik saja, Dongo Dinongo Reactor juga memuat berbagai testimoni, lukisan, dan catatan yang dibuat untuk mengiringi proses berkala dari cerita ini.
Farid dan Asto juga berbagi bahwa proses pencarian selama bertahun-tahun ini membuatnya berhadapan dengan berbagai peristiwa yang membuka mata dan memantik kesadaran dalam mengenali laku Jawa dari berbagai mimpi, intuisi, dan doa-doa yang membawanya pada berbagai pertemuan secara spiritual.
Selain sebagai bentuk restorasi dari sejarah mendiang kakek dan ayah, karya Dongo Dinongo Reactor juga merupakan bentuk penghormatan kepada semua orang yang memperjuangkan hak asasi manusia.
Dalam pembukaan perhelatan ARTJOG MMXXI: Arts in Common - Time (to) Wonder pada Kamis (8/7), Farid mengatakan bahwa karya seni ini juga bisa menjadi sumber energi untuk saling mendoakan untuk tiga hal di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Pertama, karya Dongo Dinongo Reactor hadir untuk mendoakan mendiang kakek yang kebetulan terkena dampak dari kisruh politik tahun 1965.
"Kemudian untuk hari ini saya harap reaktor ini juga berfungsi sebagai pemantik kesadaran kita bersama untuk saling mendoakan, untuk sehat bersama, untuk tuntas dalam melewati situasi pandemi yang tentu kita rasakan bersama semoga segera usai," jelasnya.
Terakhir, instalasi media campuran partisipatoris ini diharapkan juga sebagai reaktor doa untuk kelancaran usaha-usaha rekonsiliasi peristiwa tahun 1965 dan usaha masyarakat yang memperjuangkan isu hak asasi manusia di Indonesia.
Farid berharap, karya instalasi bersama ayahnya ini dapat membawa energi baik berupa doa-doa kepada tiga hal yang dia sampaikan serta menjadi media yang kemudian membuka diskusi atau dialog dengan anggota keluarga dan penduduk desa tentang kekeliruan penulisan sejarah dari para korban yang terdampak pada peristiwa 1965.
Editor: Fajar Sidik
Berangkat dari penelusuran lokasi makam mendiang kakek dari Farid sekaligus ayah dari Asto, lahir sebuah karya bernama Dongo Dinongo Reactor yang tampil dalam bentuk instalasi media campur dengan berbagai variasi dimensi yang tampil sebagai salah satu karya dalam perhelatan ARTJOG MMXXI: Arts in Common - Time (to) Wonder pada tahun ini.
Farid bercerita bahwa karya Dongo Dinongo Reactor merupakan arsip perjalanan mencari kuburan asli mendiang kakek dengan tujuan yang sederhana: supaya keluarga tahu di mana mereka akan nyekar setelah selama ini upayanya dilakukan pada kunjungan makam palsu.
Perjalanan kilas balik untuk mencari tempat terakhir keberadaan sang kakek akhirnya berakhir pada tahun 2020, di mana mereka mengunjungi sebuah kawasan di Luweng Grubug, Semanu, Gunungkidul yang diduga sebagai tempat eksekusi orang-orang yang terlibat dengan organisasi selama tahun 1965 dan 1966.
"Meski sulit membuktikan secara empirik, getar hati serta burai tangis rindu yang kami rasakan sejak saat pertama mengunjungi lokasi tersebut, kami yakini sebagai lokasi terakhir kakek dan bapak kami," cerita Farid dan Asto dalam pernyataan resmi yang diterima Hypeabis.id.
Salah satu medium dalam instalasi Dongo Dinongo Reactor karya Sirin Farid Stevy & Asto Puaso. (Dok. Sirin Farid Stevy & Asto Puaso)
Kisah ini kemudian dibawakan dalam bentuk 65 buah tangga bambu yang diberikan oleh keluarga, rekan-rekan, kalangan penyintas atau di luar penyintas dari berbagai latar belakang yang peduli dengan perjuangan rekonsiliasi peristiwa 1965. Tangga ini disusun layaknya lingkaran dengan inti di tengah yang diisi dengan berbagai artefak keluarga dan beberapa hal terkait Kejawen.
Tak hanya sekadar fisik saja, Dongo Dinongo Reactor juga memuat berbagai testimoni, lukisan, dan catatan yang dibuat untuk mengiringi proses berkala dari cerita ini.
Farid dan Asto juga berbagi bahwa proses pencarian selama bertahun-tahun ini membuatnya berhadapan dengan berbagai peristiwa yang membuka mata dan memantik kesadaran dalam mengenali laku Jawa dari berbagai mimpi, intuisi, dan doa-doa yang membawanya pada berbagai pertemuan secara spiritual.
Selain sebagai bentuk restorasi dari sejarah mendiang kakek dan ayah, karya Dongo Dinongo Reactor juga merupakan bentuk penghormatan kepada semua orang yang memperjuangkan hak asasi manusia.
Instalasi Dongo Dinongo Reactor karya Sirin Farid Stevy & Asto Puaso. (Dok. ARTJOG/Sirin Farid Stevy & Asto Puaso)
Pertama, karya Dongo Dinongo Reactor hadir untuk mendoakan mendiang kakek yang kebetulan terkena dampak dari kisruh politik tahun 1965.
"Kemudian untuk hari ini saya harap reaktor ini juga berfungsi sebagai pemantik kesadaran kita bersama untuk saling mendoakan, untuk sehat bersama, untuk tuntas dalam melewati situasi pandemi yang tentu kita rasakan bersama semoga segera usai," jelasnya.
Terakhir, instalasi media campuran partisipatoris ini diharapkan juga sebagai reaktor doa untuk kelancaran usaha-usaha rekonsiliasi peristiwa tahun 1965 dan usaha masyarakat yang memperjuangkan isu hak asasi manusia di Indonesia.
Farid berharap, karya instalasi bersama ayahnya ini dapat membawa energi baik berupa doa-doa kepada tiga hal yang dia sampaikan serta menjadi media yang kemudian membuka diskusi atau dialog dengan anggota keluarga dan penduduk desa tentang kekeliruan penulisan sejarah dari para korban yang terdampak pada peristiwa 1965.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.