Hypereport: Memantapkan Jakarta Sebagai Kiblat Kota Kreatif
25 November 2023 |
23:10 WIB
Tak lama lagi, status ibu kota boleh lah tak lagi tersemat pada Jakarta. Tapi, bukan berarti kota metropolitan ini tidak bisa terus melaju untuk menjadi kota maju dari berbagai sektor, tak terkecuali di bidang ekonomi kreatif (ekraf) yang selama ini telah dicanangkan sebagai hub bagi industri kreatif nasional.
Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur justru bisa membuka jalan bagi Jakarta untuk mengarahkan perhatiannya pada pengembangan sebagai kota bisnis global, yang didasarkan pada keberagaman budaya dan ekraf.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta telah menjadi tempat berkumpulnya para pelaku ekraf yang menonjolkan praktik inovatif dalam berbagai sektor kreatif. Kehadiran mereka telah memberikan dorongan signifikan terhadap inovasi, kreativitas, intelektual properti, dan pengembangan potensi bisnis yang mampu bersaing di pasar global.
Baca juga: Hypereport: Ketika Pahlawan Industri Kreatif Berjuang lewat Karya
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai produk domestik regional bruto (PDRB) ekonomi kreatif DKI Jakarta mencapai Rp257 miliar. Angka itu tercatat meningkat dari tahun 2017 yang mencatatkan pendapatan Rp231 miliar, dan Rp208 miliar pada 2016.
Nilai PDRB ekraf di Jakarta juga memberikan kontribusi sebesar 9,87 persen terhadap total PDRB. Adapun, subsektor kuliner memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB ekraf Jakarta yakni sebesar 42,54%. Disusul dengan sektor penerbitan sebesar 21,35%, fesyen sebesar 12,20%, TV dan radio sebesar 8,12%, serta aplikasi dan game developer sebesar 5,10%.
Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani mengatakan dengan histori yang panjang sejak ratusan tahun yang lalu, Jakarta memiliki modal yang besar untuk menjadi kota kreatif. Hal itu utamanya ditopang dengan banyaknya sarana dan prasarana yang bisa menunjang ragam kegiatan kreatif, sehingga menjadikan Jakarta sebagai pusat seni dan budaya di Indonesia.
"Pemain-pemain industri kreatifnya juga ada di sini [Jakarta], dan itu bisa dikembangkan atau dilanjutkan saja karena tidak akan serta merta berpindah ketika ibu kota pindah ke IKN. Posisi itu di Jakarta mungkin tidak akan pernah pindah, bahkan menjadi leluasa untuk mengatur itu," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id.
Hasan berpendapat untuk mengangkat potensi Jakarta sebagai kota kreatif, hal pertama yang bisa dilakukan adalah pemaksimalan ketersediaan sarana dan prasarana untuk kegiatan kreatif. Menurutnya, jika ibu kota benar-benar pindah ke IKN dan kantor-kantor pemerintah juga akan bermigrasi, aset gedung-gedung tersebut bisa dialihkan menjadi pusat-pusat kegiatan seni kreatif.
Gedung-gedung tersebut misalnya bisa dialihfungsikan sebagai studio pembuatan film, bioskop, ruang pertunjukan, dan lainnya. Hal itu dinilai penting terlebih saat ini industri kreatif seperti perfilman tengah bergeliat di Indonesia. Masyarakat saat ini telah menaruh minat yang besar dengan film-film lokal yang semakin berkualitas.
Kebutuhan sarana prasarana itu juga masih cukup besar pada bidang kreatif yang lain seperti seni rupa dan kuliner. Hasan menilai sudah saatnya Jakarta memiliki museum nasional khusus yang bisa menyimpan koleksi lukisan-lukisan pencapaian seni lukis Nusantara, laiknya Museum of Modern Art (MoMA) di AS. Begitupun di bidang kuliner, perlu juga hadir museum kuliner Indonesia yang bisa menjadi pusat pengetahuan masyarakat tentang cita rasa Nusantara.
Tak hanya menjadi gedung yang mati, tempat-tempat tersebut juga diharapkan bisa rutin diramaikan oleh kegiatan-kegiatan kreatif yang bernilai seni, rekreasi, sekaligus komersial. Selain itu, harus pula mudah diakses masyarakat menggunakan transportasi umum. "Sarana prasarana penting karena itu akan menggerakkan industri kreatifnya, dan senimannya juga bisa hidup dari situ," ujar Hasan.
Selain sarana dan prasarana, geliat kegiatan kreatif juga perlu disokong dengan pendanaan yang berkelanjutan, dengan penyaluran yang transparan, akuntabel, dan kontekstual sesuai dengan prioritas pemajuan kebudayaan daerah setempat. Pasalnya, bidang kebudayaan selama ini cenderung tidak mendapatkan alokasi anggaran yang memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Hasan mengatakan pihaknya saat ini tengah mengupayakan dana abadi daerah untuk kebudayaan di Jakarta. Hal itu sejalan dengan amanat pembentukan Dana Abadi Daerah yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dapat menjadi sumber pendanaan seni budaya.
Menurutnya, pengadaan dana abadi tersebut perlu didukung oleh Peraturan Gubernur (Pergub) tentang subsidi kesenian. Dukungan ini menjadi penting terutama bagi keberlangsungan kegiatan seni dan budaya yang cenderung tidak populer di kalangan masyarakat, sehingga nilai komersialnya minim. Sementara kegiatan-kegiatan seni kreatif yang populer harus terus didukung agar terus tumbuh.
"Kalau di nasional sudah ada Dana Indonesiana, di daerah juga harusnya bisa dan Jakarta sedang menyiapkan untuk itu," terangnya.
Menurut Hasan, proses pengelolaan Jakarta sebagai kota kreatif sepatutnya tak hanya terfokus pada satu daerah tertentu, apalagi hanya berpusat misalnya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebaliknya, setiap potensi ekraf di masing-masing wilayah administrasi Jakarta harus diangkat sehingga menjadi ciri khas tersendiri yang bisa saling melengkapi.
Hal ini pulalah yang coba tengah diupayakan oleh Dewan Kesenian Jakarta selaku mitra strategis gubernur untuk mengembangkan kesenian di Jakarta. Ada usaha untuk memetakan ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan kesenian baik untuk pertunjukan maupun studio latihan. Termasuk, menggairahkan potensi-potensi kesenian di masing-masing wilayah administrasi Jakarta. "Saya melihat Jakarta kalau mau, benar-benar [bisa] menjadi ekosistem besar kesenian," ucapnya.
Data & Parameter
Arsitek sekaligus penulis Avianti Armand berpendapat sebelum membangun Jakarta sebagai kota kreatif, diperlukan riset dan pemetaan yang komprehensif terkait geliat kegiatan kesenian di Jakarta. Salah satunya adalah pendataan jumlah komunitas seni dan budaya, termasuk sarana dan prasarana yang ada di Jakarta. Sebab, menurutnya, upaya pendataan yang dilakukan selama ini masih tercerai berai dan tidak komprehensif.
Di samping pendataan, hal penting lainnya yang harus disiapkan Jakarta adalah parameter-parameter jelas yang menjadi indikator suatu wilayah disebut sebagai kota kreatif. "Bagaimana mau dibayangkan sebagai kota kreatif, kalau basis datanya tidak ada," katanya.
Perempuan yang akrab disapa Vivi itu menuturkan salah satu tantangan utama pembentukan Jakarta sebagai kota kreatif datang dari luasnya wilayah kota metropolitan itu, sehingga akses dari tempat kegiatan kreatif satu ke yang lainnya masih cukup jauh. Hal ini lah yang membuat belum terciptanya konektivitas kegiatan kreatif yang berkelanjutan.
Dia membandingkan dengan Yogyakarta yang menurutnya telah pantas disebut sebagai kota kreatif. Sebab, tata kota di Kota Gudeg itu membuat simpul-simpul seni dan budaya mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga komunikasi dan kegiatan kreatif benar-benar terasa hidup. "Bagaimana dengan di Jakarta? Apakah hal tersebut terjadi? Harus banyak studi dan analisa yang serius," ucapnya.
Turisme Kuliner
Merujuk pada data, kuliner masih menjadi subsektor ekonomi kreatif yang menyumbang PDRB tertinggi di Jakarta. Karakter kota yang menjadi titik temu banyak budaya antar suku bangsa membuat aspek kuliner Jakarta demikian kaya. Kuliner menjadi bagian yang erat dari warga ibu kota, baik itu sebagai pemenuh kebutuhan pangan maupun sumber penghasilan dalam sektor ekonomi kreatif.
Menurut Praktisi dan penulis kuliner Kevindra Prianto Soemantri, selama 10 tahun terakhir, transformasi lanskap restoran dan kafe di Jakarta itu sangat dinamis. Selama itu pula, banyak bermunculan tren kuliner baru di ibu kota dari segi restoran secara bersamaan, misalnya coffee shop, salted egg, makanan vegan, dan sebagainya.
Tak hanya menciptakan sederet tren, papar Kevin, perkembangan kuliner di Jakarta yang terbilang masif selama satu dekade juga menciptakan area-area destinasi kuliner baru di ibu kota. Misalnya, hadirnya kawasan kuliner di Pantai Indah Kapuk (PIK), kawasan kedai kopi di daerah Cipete, begitu pula dengan perubahan kawasan Senopati yang kini menjadi destinasi hang out anak muda.
"Jadi saya melihat dari segi urban planning, perubahan tata kota, ternyata restoran itu sangat punya impact untuk mengubah sebuah kawasan, dan teknologi dan digitalisasi akhirnya memiliki impact ke perkembangan tren [kuliner]," katanya
Menurutnya, sebagai melting pot atau tempat bertemunya berbagai budaya kuliner baik dari berbagai daerah di Nusantara maupun mancanegara, menjadi modal kuat bagi Jakarta sebagai destinasi utama wisata kuliner. Hal itu bisa diawali dengan pemetaan kawasan kuliner daerah-daerah di Jakarta yang ikonik, misalnya kawasan kuliner khas India dan Arab di daerah Pasar Baru, kawasan kedai kopi di daerah Cipete, kawasan kuliner Jepang di Blok M, dan sebagainya.
"Itu akan menjadi identitas tersendiri bagi Jakarta, terlebih nanti kalau ibu kota sudah pindah ke IKN. Jakarta mau dikenal sebagai apa? Harusnya salah satunya dari turisme kulinernya," ujarnya.
Kota Sastra
Sebelumnya, Jakarta juga telah dinobatkan sebagai Kota Sastra oleh UNESCO. Jakarta menjadi salah satu dari 49 kota di dunia yang terbaru masuk dalam Jejaring Kota Kreatif UNESCO atau UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Penobatan ini di satu sisi menjadi angin segar bagi percepatan perkembangan sastra dan ekosistemnya khususnya di Jakarta. Namun, di sisi lain, Jakarta juga memanggul kewajiban untuk menjadikan literasi sebagai salah satu ikon utama kultural.
Guru Besar Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Manneke Budiman, mengatakan perlu adanya fokus dalam upaya mewujudkan Jakarta sebagai Kota Sastra, dan bukan sebagai Kota Buku atau Literasi dalam artian yang lebih luas. Dengan begitu, para pemangku kepentingan yang terlibat bisa melihat secara realistis apa yang betul-betul bisa dikerjakan.
“Kita akan sangat terbantu kalau kita punya fokus yang jelas. Fokus pada sastra adalah yang paling realistis karena Jakarta sudah dikenal dan diakui sebagai pusat sastra di Indonesia,” katanya.
Sebagai pusat sastra, kata Manneke, Jakarta sudah memiliki beberapa infrastruktur eksisting yang mewujud pada banyak tempat dan programnya seperti di antaranya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Badan Bahasa Kemendikbud RI, Lontar Foundation, Jakarta International Literary Festival, dan ASEAN Literary Festival.
Selain itu, sebagai Kota Sastra, Jakarta juga telah memiliki modal historis yang kuat terkait dengan kesusastraan seperti Penerbit Balai Pustaka, peristiwa-peristiwa sastra seperti Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan, makam sastrawan-sastrawan di TPU Karet, dan tempat tinggal para sastrawan.
“Itu semua tidak terjadi di tempat lain tapi di Jakarta. Percaya atau tidak, ini kalau bisa dipercantik bisa menjadi suatu program atau objek wisata sendiri dan itu terbukti di tempat-tempat lain di luar negeri,” kata Manneke.
Dia memberi gambaran seperti Stratford-upon-Avon, rumah kelahiran William Shakespeare yang terletak di pedesaan Warwickshire di Inggris. Meski berada di pedesaan, rumah tersebut berhasil disulap menjadi objek wisata populer di Inggris yang terkenal di seluruh dunia.
Ada juga Franz Kafka Museum yang merupakan museum dedikasi untuk novelis Franz Kafka yang terletak di Praha, Republik Ceko. Bahkan, lanjut Manneke, beberapa jalan di London, Inggris, dinamai dengan tokoh-tokoh fiktif sastra misalnya Sherlock Holmes Sr. Jika diterapkan, beberapa hal seperti itu menurutnya bisa menjadi benchmark Jakarta sebagai Kota Sastra.
“Jadi ini soal kemasan, program atau narasi. Bagaimana cerita itu dibuat untuk membuat suatu tempat yang tidak menarik secara pandangan mata, itu tiba-tiba kaya akan riwayat dan kisah. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya lebih menarik, menginspirasi, dan hasilnya itu bisa lebih dinilai saat kita fokus membangun Kota Sastra,” imbuhnya.
Selain itu, Manneke juga memberikan beberapa contoh program yang bisa dibuat di Jakarta seperti di antaranya poetry grafiti hall, munculnya penggalan sajak di tempat-tempat umum seperti stasiun, serta kutipan sastra di interior gedung-gedung publik seperti perpustakaan, mal dan stadion olahraga.
Untuk mewujudkan itu semua, dia mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dikelola secara birokrasi tetapi harus dikelola secara bisnis yang hanya bisa berkembang jika didukung oleh pemerintah. Hal itu dilakukan agar program yang dibuat mendatangkan profit sehingga program tersebut bisa terus berjalan secara berkelanjutan.
Baca juga: Hypereport: Desainer Muda Ikuti Jejak Para Tokoh Mode Nasional, dari Albert Yanuar sampai Rama Dauhan
Selain itu, pengelolaan program-program tersebut juga harus berbasis kemitraan yang bersifat partisipatoris seperti misalnya para pelajar, mahasiswa, dan komunitas. Keterlibatan mereka dalam mengelola, kata Manneke, bisa menjadi keterlibatan langsung mereka pada praktik kesusastraan.
“Jadi, kerjanya banyak tapi terfokus dan realistis bisa menjamin keberlanjutannya. Mengandalkan Pemprov DKI saja ada banyak hal yang bisa terlaksana tanpa harus melibatkan intersektoral seperti kementerian atau instansi,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur justru bisa membuka jalan bagi Jakarta untuk mengarahkan perhatiannya pada pengembangan sebagai kota bisnis global, yang didasarkan pada keberagaman budaya dan ekraf.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta telah menjadi tempat berkumpulnya para pelaku ekraf yang menonjolkan praktik inovatif dalam berbagai sektor kreatif. Kehadiran mereka telah memberikan dorongan signifikan terhadap inovasi, kreativitas, intelektual properti, dan pengembangan potensi bisnis yang mampu bersaing di pasar global.
Baca juga: Hypereport: Ketika Pahlawan Industri Kreatif Berjuang lewat Karya
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai produk domestik regional bruto (PDRB) ekonomi kreatif DKI Jakarta mencapai Rp257 miliar. Angka itu tercatat meningkat dari tahun 2017 yang mencatatkan pendapatan Rp231 miliar, dan Rp208 miliar pada 2016.
Nilai PDRB ekraf di Jakarta juga memberikan kontribusi sebesar 9,87 persen terhadap total PDRB. Adapun, subsektor kuliner memberikan kontribusi terbesar dalam PDRB ekraf Jakarta yakni sebesar 42,54%. Disusul dengan sektor penerbitan sebesar 21,35%, fesyen sebesar 12,20%, TV dan radio sebesar 8,12%, serta aplikasi dan game developer sebesar 5,10%.
Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani mengatakan dengan histori yang panjang sejak ratusan tahun yang lalu, Jakarta memiliki modal yang besar untuk menjadi kota kreatif. Hal itu utamanya ditopang dengan banyaknya sarana dan prasarana yang bisa menunjang ragam kegiatan kreatif, sehingga menjadikan Jakarta sebagai pusat seni dan budaya di Indonesia.
"Pemain-pemain industri kreatifnya juga ada di sini [Jakarta], dan itu bisa dikembangkan atau dilanjutkan saja karena tidak akan serta merta berpindah ketika ibu kota pindah ke IKN. Posisi itu di Jakarta mungkin tidak akan pernah pindah, bahkan menjadi leluasa untuk mengatur itu," katanya saat diwawancarai Hypeabis.id.
Hasan berpendapat untuk mengangkat potensi Jakarta sebagai kota kreatif, hal pertama yang bisa dilakukan adalah pemaksimalan ketersediaan sarana dan prasarana untuk kegiatan kreatif. Menurutnya, jika ibu kota benar-benar pindah ke IKN dan kantor-kantor pemerintah juga akan bermigrasi, aset gedung-gedung tersebut bisa dialihkan menjadi pusat-pusat kegiatan seni kreatif.
Gedung-gedung tersebut misalnya bisa dialihfungsikan sebagai studio pembuatan film, bioskop, ruang pertunjukan, dan lainnya. Hal itu dinilai penting terlebih saat ini industri kreatif seperti perfilman tengah bergeliat di Indonesia. Masyarakat saat ini telah menaruh minat yang besar dengan film-film lokal yang semakin berkualitas.
Kebutuhan sarana prasarana itu juga masih cukup besar pada bidang kreatif yang lain seperti seni rupa dan kuliner. Hasan menilai sudah saatnya Jakarta memiliki museum nasional khusus yang bisa menyimpan koleksi lukisan-lukisan pencapaian seni lukis Nusantara, laiknya Museum of Modern Art (MoMA) di AS. Begitupun di bidang kuliner, perlu juga hadir museum kuliner Indonesia yang bisa menjadi pusat pengetahuan masyarakat tentang cita rasa Nusantara.
Tak hanya menjadi gedung yang mati, tempat-tempat tersebut juga diharapkan bisa rutin diramaikan oleh kegiatan-kegiatan kreatif yang bernilai seni, rekreasi, sekaligus komersial. Selain itu, harus pula mudah diakses masyarakat menggunakan transportasi umum. "Sarana prasarana penting karena itu akan menggerakkan industri kreatifnya, dan senimannya juga bisa hidup dari situ," ujar Hasan.
Selain sarana dan prasarana, geliat kegiatan kreatif juga perlu disokong dengan pendanaan yang berkelanjutan, dengan penyaluran yang transparan, akuntabel, dan kontekstual sesuai dengan prioritas pemajuan kebudayaan daerah setempat. Pasalnya, bidang kebudayaan selama ini cenderung tidak mendapatkan alokasi anggaran yang memadai dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Hasan mengatakan pihaknya saat ini tengah mengupayakan dana abadi daerah untuk kebudayaan di Jakarta. Hal itu sejalan dengan amanat pembentukan Dana Abadi Daerah yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dapat menjadi sumber pendanaan seni budaya.
Menurutnya, pengadaan dana abadi tersebut perlu didukung oleh Peraturan Gubernur (Pergub) tentang subsidi kesenian. Dukungan ini menjadi penting terutama bagi keberlangsungan kegiatan seni dan budaya yang cenderung tidak populer di kalangan masyarakat, sehingga nilai komersialnya minim. Sementara kegiatan-kegiatan seni kreatif yang populer harus terus didukung agar terus tumbuh.
"Kalau di nasional sudah ada Dana Indonesiana, di daerah juga harusnya bisa dan Jakarta sedang menyiapkan untuk itu," terangnya.
Menurut Hasan, proses pengelolaan Jakarta sebagai kota kreatif sepatutnya tak hanya terfokus pada satu daerah tertentu, apalagi hanya berpusat misalnya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebaliknya, setiap potensi ekraf di masing-masing wilayah administrasi Jakarta harus diangkat sehingga menjadi ciri khas tersendiri yang bisa saling melengkapi.
Hal ini pulalah yang coba tengah diupayakan oleh Dewan Kesenian Jakarta selaku mitra strategis gubernur untuk mengembangkan kesenian di Jakarta. Ada usaha untuk memetakan ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan kesenian baik untuk pertunjukan maupun studio latihan. Termasuk, menggairahkan potensi-potensi kesenian di masing-masing wilayah administrasi Jakarta. "Saya melihat Jakarta kalau mau, benar-benar [bisa] menjadi ekosistem besar kesenian," ucapnya.
Data & Parameter
Arsitek sekaligus penulis Avianti Armand berpendapat sebelum membangun Jakarta sebagai kota kreatif, diperlukan riset dan pemetaan yang komprehensif terkait geliat kegiatan kesenian di Jakarta. Salah satunya adalah pendataan jumlah komunitas seni dan budaya, termasuk sarana dan prasarana yang ada di Jakarta. Sebab, menurutnya, upaya pendataan yang dilakukan selama ini masih tercerai berai dan tidak komprehensif.
Di samping pendataan, hal penting lainnya yang harus disiapkan Jakarta adalah parameter-parameter jelas yang menjadi indikator suatu wilayah disebut sebagai kota kreatif. "Bagaimana mau dibayangkan sebagai kota kreatif, kalau basis datanya tidak ada," katanya.
Perempuan yang akrab disapa Vivi itu menuturkan salah satu tantangan utama pembentukan Jakarta sebagai kota kreatif datang dari luasnya wilayah kota metropolitan itu, sehingga akses dari tempat kegiatan kreatif satu ke yang lainnya masih cukup jauh. Hal ini lah yang membuat belum terciptanya konektivitas kegiatan kreatif yang berkelanjutan.
Dia membandingkan dengan Yogyakarta yang menurutnya telah pantas disebut sebagai kota kreatif. Sebab, tata kota di Kota Gudeg itu membuat simpul-simpul seni dan budaya mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga komunikasi dan kegiatan kreatif benar-benar terasa hidup. "Bagaimana dengan di Jakarta? Apakah hal tersebut terjadi? Harus banyak studi dan analisa yang serius," ucapnya.
Turisme Kuliner
Merujuk pada data, kuliner masih menjadi subsektor ekonomi kreatif yang menyumbang PDRB tertinggi di Jakarta. Karakter kota yang menjadi titik temu banyak budaya antar suku bangsa membuat aspek kuliner Jakarta demikian kaya. Kuliner menjadi bagian yang erat dari warga ibu kota, baik itu sebagai pemenuh kebutuhan pangan maupun sumber penghasilan dalam sektor ekonomi kreatif.
Menurut Praktisi dan penulis kuliner Kevindra Prianto Soemantri, selama 10 tahun terakhir, transformasi lanskap restoran dan kafe di Jakarta itu sangat dinamis. Selama itu pula, banyak bermunculan tren kuliner baru di ibu kota dari segi restoran secara bersamaan, misalnya coffee shop, salted egg, makanan vegan, dan sebagainya.
Tak hanya menciptakan sederet tren, papar Kevin, perkembangan kuliner di Jakarta yang terbilang masif selama satu dekade juga menciptakan area-area destinasi kuliner baru di ibu kota. Misalnya, hadirnya kawasan kuliner di Pantai Indah Kapuk (PIK), kawasan kedai kopi di daerah Cipete, begitu pula dengan perubahan kawasan Senopati yang kini menjadi destinasi hang out anak muda.
"Jadi saya melihat dari segi urban planning, perubahan tata kota, ternyata restoran itu sangat punya impact untuk mengubah sebuah kawasan, dan teknologi dan digitalisasi akhirnya memiliki impact ke perkembangan tren [kuliner]," katanya
Menurutnya, sebagai melting pot atau tempat bertemunya berbagai budaya kuliner baik dari berbagai daerah di Nusantara maupun mancanegara, menjadi modal kuat bagi Jakarta sebagai destinasi utama wisata kuliner. Hal itu bisa diawali dengan pemetaan kawasan kuliner daerah-daerah di Jakarta yang ikonik, misalnya kawasan kuliner khas India dan Arab di daerah Pasar Baru, kawasan kedai kopi di daerah Cipete, kawasan kuliner Jepang di Blok M, dan sebagainya.
"Itu akan menjadi identitas tersendiri bagi Jakarta, terlebih nanti kalau ibu kota sudah pindah ke IKN. Jakarta mau dikenal sebagai apa? Harusnya salah satunya dari turisme kulinernya," ujarnya.
Kota Sastra
Sebelumnya, Jakarta juga telah dinobatkan sebagai Kota Sastra oleh UNESCO. Jakarta menjadi salah satu dari 49 kota di dunia yang terbaru masuk dalam Jejaring Kota Kreatif UNESCO atau UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Penobatan ini di satu sisi menjadi angin segar bagi percepatan perkembangan sastra dan ekosistemnya khususnya di Jakarta. Namun, di sisi lain, Jakarta juga memanggul kewajiban untuk menjadikan literasi sebagai salah satu ikon utama kultural.
Guru Besar Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Manneke Budiman, mengatakan perlu adanya fokus dalam upaya mewujudkan Jakarta sebagai Kota Sastra, dan bukan sebagai Kota Buku atau Literasi dalam artian yang lebih luas. Dengan begitu, para pemangku kepentingan yang terlibat bisa melihat secara realistis apa yang betul-betul bisa dikerjakan.
“Kita akan sangat terbantu kalau kita punya fokus yang jelas. Fokus pada sastra adalah yang paling realistis karena Jakarta sudah dikenal dan diakui sebagai pusat sastra di Indonesia,” katanya.
Sebagai pusat sastra, kata Manneke, Jakarta sudah memiliki beberapa infrastruktur eksisting yang mewujud pada banyak tempat dan programnya seperti di antaranya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Badan Bahasa Kemendikbud RI, Lontar Foundation, Jakarta International Literary Festival, dan ASEAN Literary Festival.
Selain itu, sebagai Kota Sastra, Jakarta juga telah memiliki modal historis yang kuat terkait dengan kesusastraan seperti Penerbit Balai Pustaka, peristiwa-peristiwa sastra seperti Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan, makam sastrawan-sastrawan di TPU Karet, dan tempat tinggal para sastrawan.
“Itu semua tidak terjadi di tempat lain tapi di Jakarta. Percaya atau tidak, ini kalau bisa dipercantik bisa menjadi suatu program atau objek wisata sendiri dan itu terbukti di tempat-tempat lain di luar negeri,” kata Manneke.
Dia memberi gambaran seperti Stratford-upon-Avon, rumah kelahiran William Shakespeare yang terletak di pedesaan Warwickshire di Inggris. Meski berada di pedesaan, rumah tersebut berhasil disulap menjadi objek wisata populer di Inggris yang terkenal di seluruh dunia.
Ada juga Franz Kafka Museum yang merupakan museum dedikasi untuk novelis Franz Kafka yang terletak di Praha, Republik Ceko. Bahkan, lanjut Manneke, beberapa jalan di London, Inggris, dinamai dengan tokoh-tokoh fiktif sastra misalnya Sherlock Holmes Sr. Jika diterapkan, beberapa hal seperti itu menurutnya bisa menjadi benchmark Jakarta sebagai Kota Sastra.
“Jadi ini soal kemasan, program atau narasi. Bagaimana cerita itu dibuat untuk membuat suatu tempat yang tidak menarik secara pandangan mata, itu tiba-tiba kaya akan riwayat dan kisah. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya lebih menarik, menginspirasi, dan hasilnya itu bisa lebih dinilai saat kita fokus membangun Kota Sastra,” imbuhnya.
Selain itu, Manneke juga memberikan beberapa contoh program yang bisa dibuat di Jakarta seperti di antaranya poetry grafiti hall, munculnya penggalan sajak di tempat-tempat umum seperti stasiun, serta kutipan sastra di interior gedung-gedung publik seperti perpustakaan, mal dan stadion olahraga.
Untuk mewujudkan itu semua, dia mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dikelola secara birokrasi tetapi harus dikelola secara bisnis yang hanya bisa berkembang jika didukung oleh pemerintah. Hal itu dilakukan agar program yang dibuat mendatangkan profit sehingga program tersebut bisa terus berjalan secara berkelanjutan.
Baca juga: Hypereport: Desainer Muda Ikuti Jejak Para Tokoh Mode Nasional, dari Albert Yanuar sampai Rama Dauhan
Selain itu, pengelolaan program-program tersebut juga harus berbasis kemitraan yang bersifat partisipatoris seperti misalnya para pelajar, mahasiswa, dan komunitas. Keterlibatan mereka dalam mengelola, kata Manneke, bisa menjadi keterlibatan langsung mereka pada praktik kesusastraan.
“Jadi, kerjanya banyak tapi terfokus dan realistis bisa menjamin keberlanjutannya. Mengandalkan Pemprov DKI saja ada banyak hal yang bisa terlaksana tanpa harus melibatkan intersektoral seperti kementerian atau instansi,” ujarnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.