Menilik Sumbangsih S. Sudjojono Terhadap Sejarah Seni Rupa Indonesia dari Mata Sanento Yuliman
06 October 2024 |
21:20 WIB
Nama S. Sudjojono dalam seni rupa Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudjojono (1913-1985) merupakan salah satu tokoh utama sejarah seni lukis di Tanah Air. Seniman asal Sumatera Utara itu juga ditasbihkan sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia.
Pemberian gelar Bapak Seni Rupa Modern Indonesia terhadap Sudjojono juga bukan tanpa alasan. Sebab, Sudjojono merupakan seniman pertama di Tanah Air yang memperkenalkan modernitas seni rupa Indonesia, lewat berbagai tulisan, pandangan, dan karya-karyanya.
Terbaru, momen sumbangsih Sudjojono terhadap sejarah seni rupa Indonesia itu juga diungkai dengan bernas dalam buku, S. Sudjojono dan Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Gang Kabel pada Februari 2024 itu, merupakan terjemahan disertasi Sanento Yuliman, saat menempuh gelar doktor di Prancis.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Sanento Yuliman Hadiwardoyo (1941-1992) merupakan salah satu kritikus seni rupa sekaligus esais terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Sanento mengambil pendidikan tingginya di studio seni lukis, Fakultas Seni Rupa, ITB, dan menyelesaikan gelar Doktoral di Ecole des Hautes en Sciences Sociales (EHESS) Paris.
Dalam diskusi yang dihelat di Art Jakarta pada Minggu, (6/10/24), sosok Sudjojono memang dikenal sebagai tokoh pembaru sejarah seni rupa Indonesia. Danuh Tyas Pradipta mengatakan, selain sebagai seniman, Sudjojono juga dikenal sebagai organisator yang banyak mengagitasi kegiatan seni rupa pada dekade sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Tak hanya itu, Sudjojono juga menjadi salah satu tokoh pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) , Artis Muda Indonesia, mentor seni di Poetra – Departemen Kebudayaan, dan Keimin Bunka Shidosho. Bahkan, saat revolusi, Sudjojono juga banyak menggagas berbagai kegiatan untuk menggelorakan semangat menjaga kemerdekan lewat seni rupa.
"Pada masa ini dia juga bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan melatih seniman banyak seniman muda. Pada dekade 60 sampai 70-an Sudjojono juga aktif di organisasi Lekra, hingga akhirnya mengundurkan diri," katanya.
Baca juga: Maestro Lukis S. Sudjojono di Mata Sang Anak, Tidak Main-main Ketika Membuat Karya
Selaras, Maya Sudjojono, anak dari pelukis S. Sudjojono juga mengenang sang ayah sebagai orang yang total dalam berkesenian. Oleh karena itu, dengan diterjemahkannya buku ini ke Bahasa Indonesia oleh Ninus Andarnuswari, diharap dapat memperkenalkan pemikiran-pemikiran S.Sudjojono pada generasi muda.
Menurut Maya, buku memang dapat menjadi salah satu medium dalam menguraikan gagasan pada publik. Gagasan-gagasan Sudjojono dalam buku ini, menurutnya juga patut untuk dikontekstualisasikan dalam situasi seni rupa kiwari. Selain juga dengan berbagai medium yang menyenangkan dan inovatif.
"Selain pandangan terhadap sejarah seni rupa. Nilai-nilai yang mungkin bisa diserap dari buku ini adalah bagaimana generasi muda mengenal apa itu 'jiwa ketok'. Kalau di sekolah-sekolah tidak diajar siapa S. Sudjojono, maka mereka juga tidak akan tahu," katanya.
Sindoedarsono Soedjojono lahir di Kisaran, Sumatera Utara pada 14 Desember 1913 dari orang tua bersuku Jawa. Sewaktu kecil, Sudjojono mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada 1925 dan dibesarkan oleh ayah angkatnya, seorang guru yang bernama Yudhokusumo.
Setelah tamat dari HIS, Sudjojono lalu melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogyakarta pada 1932, dan sempat belajar melukis pada RM Pirngadie dan pelukis berwarga negara Jepang, Chiyoji Yazaki saat dia akhirnya pindah ke Jakarta pada 1935.
S.Sudjojono juga dikenal sebagai salah satu pendiri PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1940, dan aktif di beberapa organisasi lain termasuk, Poetra, keimin Bunka Shidoso, dan Seniman Muda Indonesia (SIM) pada 1946.
Selama hidupnya sang seniman juga dikenal sebagai penulis dan seniman yang produktif, karyanya merentang dari lukisan, sketsa, seni pahat, relief, hingga seni keramik, dan mebel. S. Sudjojono meninggal di Jakarta pada 25 Maret 1985 dan dimakamkan di TPU Pondok Rangon.
Baca juga: Ekspektasi Tinggi Galeri di Art Jakarta 2024, Sejumlah Karya Terjual Habis Sebelum Pembukaan
Editor: Puput Ady Sukarno
Pemberian gelar Bapak Seni Rupa Modern Indonesia terhadap Sudjojono juga bukan tanpa alasan. Sebab, Sudjojono merupakan seniman pertama di Tanah Air yang memperkenalkan modernitas seni rupa Indonesia, lewat berbagai tulisan, pandangan, dan karya-karyanya.
Terbaru, momen sumbangsih Sudjojono terhadap sejarah seni rupa Indonesia itu juga diungkai dengan bernas dalam buku, S. Sudjojono dan Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia. Buku yang diterbitkan oleh Gang Kabel pada Februari 2024 itu, merupakan terjemahan disertasi Sanento Yuliman, saat menempuh gelar doktor di Prancis.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Sanento Yuliman Hadiwardoyo (1941-1992) merupakan salah satu kritikus seni rupa sekaligus esais terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Sanento mengambil pendidikan tingginya di studio seni lukis, Fakultas Seni Rupa, ITB, dan menyelesaikan gelar Doktoral di Ecole des Hautes en Sciences Sociales (EHESS) Paris.
Dalam diskusi yang dihelat di Art Jakarta pada Minggu, (6/10/24), sosok Sudjojono memang dikenal sebagai tokoh pembaru sejarah seni rupa Indonesia. Danuh Tyas Pradipta mengatakan, selain sebagai seniman, Sudjojono juga dikenal sebagai organisator yang banyak mengagitasi kegiatan seni rupa pada dekade sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Tak hanya itu, Sudjojono juga menjadi salah satu tokoh pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) , Artis Muda Indonesia, mentor seni di Poetra – Departemen Kebudayaan, dan Keimin Bunka Shidosho. Bahkan, saat revolusi, Sudjojono juga banyak menggagas berbagai kegiatan untuk menggelorakan semangat menjaga kemerdekan lewat seni rupa.
"Pada masa ini dia juga bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan melatih seniman banyak seniman muda. Pada dekade 60 sampai 70-an Sudjojono juga aktif di organisasi Lekra, hingga akhirnya mengundurkan diri," katanya.
Baca juga: Maestro Lukis S. Sudjojono di Mata Sang Anak, Tidak Main-main Ketika Membuat Karya
Selaras, Maya Sudjojono, anak dari pelukis S. Sudjojono juga mengenang sang ayah sebagai orang yang total dalam berkesenian. Oleh karena itu, dengan diterjemahkannya buku ini ke Bahasa Indonesia oleh Ninus Andarnuswari, diharap dapat memperkenalkan pemikiran-pemikiran S.Sudjojono pada generasi muda.
Diskusi ini menghadirkan panelis Maya Sudjojono (perwakilan dari Sudjojono Center) Danuh Tyas Pradipta (Pengajar seni Rupa), dan dimoderatori oleh Berto Tukan (Penerbit Gang Kabel).
Menurut Maya, buku memang dapat menjadi salah satu medium dalam menguraikan gagasan pada publik. Gagasan-gagasan Sudjojono dalam buku ini, menurutnya juga patut untuk dikontekstualisasikan dalam situasi seni rupa kiwari. Selain juga dengan berbagai medium yang menyenangkan dan inovatif.
"Selain pandangan terhadap sejarah seni rupa. Nilai-nilai yang mungkin bisa diserap dari buku ini adalah bagaimana generasi muda mengenal apa itu 'jiwa ketok'. Kalau di sekolah-sekolah tidak diajar siapa S. Sudjojono, maka mereka juga tidak akan tahu," katanya.
Sindoedarsono Soedjojono lahir di Kisaran, Sumatera Utara pada 14 Desember 1913 dari orang tua bersuku Jawa. Sewaktu kecil, Sudjojono mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada 1925 dan dibesarkan oleh ayah angkatnya, seorang guru yang bernama Yudhokusumo.
Setelah tamat dari HIS, Sudjojono lalu melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogyakarta pada 1932, dan sempat belajar melukis pada RM Pirngadie dan pelukis berwarga negara Jepang, Chiyoji Yazaki saat dia akhirnya pindah ke Jakarta pada 1935.
S.Sudjojono juga dikenal sebagai salah satu pendiri PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1940, dan aktif di beberapa organisasi lain termasuk, Poetra, keimin Bunka Shidoso, dan Seniman Muda Indonesia (SIM) pada 1946.
Selama hidupnya sang seniman juga dikenal sebagai penulis dan seniman yang produktif, karyanya merentang dari lukisan, sketsa, seni pahat, relief, hingga seni keramik, dan mebel. S. Sudjojono meninggal di Jakarta pada 25 Maret 1985 dan dimakamkan di TPU Pondok Rangon.
Baca juga: Ekspektasi Tinggi Galeri di Art Jakarta 2024, Sejumlah Karya Terjual Habis Sebelum Pembukaan
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.