Still photo All We Imagine as Light (Sumber gambar: Website festival film TIFF)

Review Film All We Imagine as Light, Kisah Tiga Perempuan Melawan Kegetiran

25 September 2024   |   07:13 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Hiruk pikuk dan kesibukan Kota Mumbai, India, disulap menjadi sajian yang lebih misterius sekaligus memikat dalam film All We Imagine as Light. Film yang memenangkan Grand Prix di Cannes Film Festival 2024 itu, akhirnya diputar juga di Indonesia lewat Jakarta World Cinema (JCW) 2024.

Karya ini adalah debut film fiksi panjang sutradara perempuan Payal Kapadia. Sebelumnya, dia lebih dikenal lewat garapan dokumenternya, A Night of Knowing Nothing. Namun, meski beralih ke fiksi, sisi dokumenternya yang tampak telah mendarah di karyanya tak ditepikan begitu saja di film ini.

Baca juga: 11 Film Indonesia Tayang Oktober 2024 di Bioskop, Didominasi Horor

Seperti kota metropolitan lainnya, Mumbai muncul seperti sebuah suar bagi banyak orang dengan ragam impian dan keadilan yang didambakan bagi orang-orang yang sudah lama tinggal maupun bagi pendatang dari daerah lain. Dengan populasi lebih dari 20 juta dan akan terus bertambah, Mumbai sama sekali tak kekurangan para pemimpi. Namun, tumpukan impian di kota ini tak ubahnya ilusi semata.

Sebagian besar film ini, terutama di babak pertama dan babak ketiga, berlatar setelah gelap. Kapadia lantas mengombinasikannya dengan nuansa biru yang cukup sering muncul, yang makin membuat film ini terasa dingin, tertekan, juga terisolasi, meski sebenarnya Mumbai diisi oleh lebih dari 20 juta jiwa.
 

Still photo All We Imagine as Light (Sumber gambar: Website festival film TIFF)

Still photo All We Imagine as Light (Sumber gambar: Website festival film TIFF)


Latar belakang dokumenter Kapadia begitu terasa di awal-awal film. Film ini dibuka dengan serangkaian montase yang menangkap hiruk pikuk perkotaan pada malam hari. Wajah-wajah manusia yang sudah lapuk saling berlalu-lalang di berbagai sudut, dari di pasar dengan kondisi yang masih ramai meski sudah malam, di jalanan perkotaan dipenuhi bising klakson dari mobil para orang kaya, hingga di stasiun tempat orang berdesak-desak menuju ke rumah masing-masing.

Bagi orang-orang yang belum mengenal Mumbai, Kapadia mempertontonkannya secara gamblang, dengan potongan gambar hotel bintang lima yang megah yang tepat di sebelah daerah kumuh, menggambarkan jurang pemisah yang dalam.

Gambar-gambar tersebut ditimpa suara yang berbagi perspektif mereka tentang kota ini, yang kemudian membawa penonton ke kehidupan tiga karakter utama yang seluruhnya adalah perempuan.

Baca juga: Fakta Menarik Film Thunderbolts: Villain ikonik Marvel Bersatu

Pertama ada Prabha (Kani Kusruti), dia seorang perawat senior di sebuah rumah sakit. Kemunculan pertamanya cukup menarik, Prabha tengah berada di kereta yang sedang melaju. Dia berdiri di dekat pintu dan tampak terombang ambing dengan kecepatan kereta yang terkadang tak konstan.

Matanya kosong dan wajahnya tanpa ekspresi, seperti seorang yang terjebak dalam hiruk pikuk tanpa gairah. Prabha hidup dalam kegetiran. Dia telah menikah dengan laki-laki yang dijodohkan orang tuanya.

Sesaat setelah menikah, laki-laki itu pergi ke Jerman untuk bekerja. Setahun berlalu, tak ada sama sekali kabar maupun surat apa pun darinya. Hingga suatu ketika, sebuah paket misterius berisi penanak nasi datang. Penanak nasi itu diproduksi perusahaan asal Jerman yang membangkitkan imaji dirinya dengan suami.

Entah senang atau sedih yang harus diperlihatkan Prabha. Setahun tanpa kabar dan dia setia menunggu, tetapi hanya penanak nasi yang didapatnya. Namun, di sisi lain, itu adalah satu-satunya hal yang bisa dipeluknya sekarang.

Di kota perantauannya di Mumbai, Prabha hidup bersama rekannya, seorang perempuan bernama Anu (Divya Prabha). Anu lebih muda dari Prabha. Keduanya bekerja di rumah sakit yang sama, tetapi Anu berada di meja resepsionis.
 

Still photo All We Imagine as Light (Sumber gambar: Website festival film TIFF)

Still photo All We Imagine as Light (Sumber gambar: Website festival film TIFF)


Anu juga dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya. Namun, Anu justru jatuh cinta dengan seorang laki-laki Muslim bernama Shiaz (Hridhu Haroon). Kehidupan Anu tampak lebih ceria. Sebagai generasi yang lebih muda, dia memang lebih berani memberontak. Meski itu masih dilakukannya sembunyi-sembunyi.

Keduanya bahkan tak segan menyisir sudut-sudut sepi di perkotaan dan mengubahnya menjadi ruang privat, ketika keduanya berciuman. Namun, pada akhirnya ada konsekuensi yang terjadi.

Kehidupan keduanya kemudian berkelindan dengan karyawan rumah sakit lainnya, Parvaty (Chhaya Kadam). Nasib malang perempuan ini hadir dalam kisah lain, yakni ketika rumah mendiang suaminya, yang telah ditinggali lama, terancam dibongkar hanya gara-gara tidak memiliki dokumen kewarganegaraan perihal strata kelas.

Di halaman depan, sebuah papan bertuliskan “Kelas adalah hak istimewa yang disediakan untuk orang-orang istimewa” terpampang.

All We Imagine as Light adalah potret tiga serangkai wanita yang telah mengabdikan hidup mereka untuk orang lain, tetapi hanya menerima sedikit imbalan yang pantas. Keadaan bisa jadi berubah jika mereka adalah pria.

Baca juga: Band Oasis Bakal Rilis Film Dokumenter Persiapan Tur Konser Reuni 2025

Dalam film ini, Kapadia menuturkan tangga dramatik ceritanya dengan lembut, terasa puitis, dan tenang. Dia tak terburu-buru menampilkan lapis emosi ke emosi lain yang makin membuncah seiring berjalannya film. Kendati tenang, film ini jauh dari kata bosan.

Di luar emosi para karakter di dalamnya, film ini juga mencoba merekam Mumbai apa adanya, terutama pada malam hari, ketika orang-orang mulai kembali merasakan berbagai rasa sakit setelah sejenak lupa oleh rutinitas siang hari.

Film ini juga dengan cerdik banyak memasukkan arus bawah politik, isu agama yang kerap terjadi di India, patriarki yang tak berkesudahan, kelas strata, urbanisasi, hingga kemiskinan.

Namun, alih-alih mempertontonkannya secara kasar, fim ini justru membiarkan dampaknya terekam secara impresif. Meski secara umum film ini dituturkan dengan gaya yang tenang, All We Imagine as Light tampak seperti sebuah kemarahan yang puitis dari Kapadia. 

Film ini hadir dalam bentuk narasi bercerita yang indah. Penggabungan gaya dokumenter juga fiksi membawa film ini tampak cukup personal, tetapi juga punya daya dobrak narasi yang kuat.

All We Imagine as Light secara perlahan beranjak dari penatnya kota ke desa indah tepi pantai. Di sana, koneksi antarkarakter muncul secara perlahan dan mengharu biru.

Baca juga: Film Skenario Terbaik Cannes The Substance Diputar di Jakarta World Cinema 2024

Di akhir film, gambar menyorot rumah baru Parvaty yang berada di dekat pantai di sebuah desa yang jauh dari kota. Di tengah gelapnya malam, rumah itu tampak bercahaya dari lampu-lampu yang menggantung di dinding.

Di dalamnya, Prabha, Anu, dan Parvaty tengah berkumpul bersama menepi dari kota sambil berharap cahaya penerang kegetiran mereka juga muncul. Namun, dari apa yang telah dilakukannya, merekalah cahaya itu sendiri yang membawa terang, cinta, juga harapan kepada orang-orang Mumbai dan barangkali dunia.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Riset IMD: Daya Saing SDM Indonesia Masuk 3 Besar di Asean

BERIKUTNYA

Paris Fashion Week 2025, Debut Alessandro Michele di Valentino dan Kembalinya Gabriela Hearst

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: