Wayang Potehi. (Sumber gambar: Indonesia Kaya)

Mengenal Wayang Potehi, Pertunjukan Tradisional Boneka Kain Khas Tionghoa

29 January 2025   |   11:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Ada banyak kesenian tradisional Tionghoa yang eksis di Indonesia, salah satunya adalah seni pertunjukan wayang Potehi. Berasal dari China bagian selatan, wayang Potehi dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara hingga menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia sampai saat ini.

Tak hanya mengandung nilai seni yang tinggi, wayang potehi juga erat kaitannya dengan harmonisasi budaya dan sejarah yang mendalam. Perpaduan unsur budaya asal China dengan budaya lokal memberi warna tersendiri bagi etnis Tionghoa di Nusantara, termasuk yang ada di Kabupaten Jombang dan Kota Surabaya, sebagai wilayah utama yang membawa kesenian wayang potehi ke Tanah Air.

Baca juga: Daftar Makhluk Mitologi terkait Perayaan Imlek & Tradisi Tionghoa

Menukil dari situs Kemdikbud, wayang potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Fujian, China Selatan. Nama potehi berasal dari kata "pou" yang berarti kain, "te" (kantong), dan "hi" (wayang), sehingga secara harfiah bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain, meski beberapa bagiannya terbuat dari kayu.

Di tempat asalnya, akar dari kesenian wayang potehi telah berkembang sejak ribuan tahun lalu. Kesenian wayang potehi sudah ada sejak zaman kekaisaran China, tepatnya pada masa Pemerintahan Dinasti Jin 265 – 420 Masehi dan berkembang pesat pada zaman Dinasti Song 960 – 1279 Masehi.

Menurut cerita tutur, wayang potehi dibuat oleh lima terpidana mati yang sedang menunggu hari eksekusi. Untuk menghilangkan kesedihan, mereka membuat boneka dari potongan kain dan memainkannya dengan musik pengiring dari barang-barang seadanya.

Pertunjukan itu ternyata bukan hanya menghibur mereka, tapi juga tahanan lain dan para sipir penjara. Akhinya, keberadaan pertunjukan itu sampai ke telinga raja yang kemudian meminta mereka bermain di istana. Mereka pun dibebaskan dari hukuman mati, karena berhasil menghibur raja dengan pertunjukan boneka kain tersebut.
 

e

Wayang Potehi. (Sumber gambar: Indonesia Kaya)


Wayang Potehi di Indonesia

Wayang potehi dibawa imigran asal China ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Wayang potehi awalnya masuk ke Kabupaten Jombang diperkirakan sejak tahun 1920 dan berpusat di Klenteng Hong San Kiong Gudo, yang khususnya dibawa oleh para imigran China. Pada masa itu, banyak pendatang dari China ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Beberapa dari mereka bahkan menetap di Indonesia dan memperkenalkan kesenian tradisional ini.

Bukan hanya sebagai sarana hiburan, wayang potehi juga memiliki fungsi ritual. Pertunjukan wayang potehi menjadi sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur. Tak heran jika kesenian ini berkembang di sekitar kelenteng, terutama di beberapa kota di pantai utara Jawa.

Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang. Adapun, pementasan dilakukan di sebuah panggung yang disebut pay low dan berwarna merah. Panggung ini berbentuk miniatur rumah yang bisa dibuat permanen ataupun bongkar-pasang.

Untuk memainkan wayang potehi ini, dibutuhkan 5 pemain yang terdiri dari 2 pemain berperan sebagai dalang dan asisten dalang, serta 3 pemain sebagai pengiring musiknya.  

Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti wayang, busana, dan senjata serta menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Adapun, masing-masing dapat memainkan dua wayang, dimana sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.

Sementara itu, 3 orang pengiring musik akan memainkan alat musik seperti gembreng besar (toa loo), rebab (hian na), kayu (piak ko), suling (bien siauw), gembreng kecil (siauw loo), gendang (tong ko), dan selompret (thua jwee). Adapun, satu musisi dapat memainkan dua atau tiga alat musik sekaligus.

Pertunjukan wayang potehi tidak dilakukan semalam suntuk seperti wayang kulit melainkan hanya berdurasi 1,5 atau 2 jam. Pertunjukan pun dibawakan secara serial. Bahkan, ada kisah yang memerlukan waktu pementasan selama tiga bulan sampai cerita selesai secara keseluruhan.

Cerita yang dimainkan pada wayang potehi biasanya tentang legenda dan mitos klasik atau kepahlawanan dari China. Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie. Namun, bila wayang potehi pentas di luar kelenteng, diambil cerita-cerita yang populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang.
 

Wayang Potehi. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)

Wayang Potehi. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)

Namun, perkembangan kesenian wayang potehi di Indonesia mengalami pasang surut. Pada 1950-an, wayang potehi cukup populer di tengah masyarakat, sebagaimana dilansir dari Indonesia Kaya. Tapi, sejak 1967, seni wayang ini mengalami masa suram akibat larangan pemerintah terhadap tradisi dan budaya Tionghoa, termasuk ekspresi berkesenian di Indonesia. 

Secara sistematis, wayang potehi bahkan disingkirkan dari bagian dari budaya nasional. Dalam Buku Petunjuk Museum Wayang Jakarta yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984, wayang potehi tidak disebut. 

Sejak pelarangan itu, wayang potehi hanya pentas di kelenteng pada perayaan tertentu. Format pertunjukan pun berubah. Wayang potehi dilakukan secara berseri, biasanya berlangsung selama dua jam pada sore hari dan dua jam pada malam hari dengan permainan berbeda di setiap sesi.

Suluk (nyanyian dalang) cenderung hafalan, bahkan kemudian tak lagi dilantunkan dengan bahasa Hokkien karena banyak dalang tak lagi menguasai bahasa Hokkien. Apalagi mulai muncul seniman wayang potehi dari etnis Jawa yang memiliki keahlian sebagai dalang, asisten dalang, maupun musisi.

Baca juga: 5 Tradisi Unik Masyarakat Tionghoa Jelang Perayaan Imlek, dari Beberes Rumah hingga Kembang Api

Akulturasi dengan budaya Jawa pun tak terhindarkan dalam kesenian wayang potehi. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.

Setelah rezim Orde Baru tumbang, kesenian wayang potehi menggeliat di tengah semangat kebebasan pada era reformasi. Wayang potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat, bahkan merambah ke pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat perayaan Tahun Baru Imlek.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Daftar Makhluk Mitologi terkait Perayaan Imlek & Tradisi Tionghoa

BERIKUTNYA

6 Film Berkisah tentang Keluarga Tionghoa yang Cocok Ditonton saat Imlek

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: