Pendidikan penting untuk SDM berdaya saing (Sumber gambar/ilustrasi: Pexels/ Stanley Morales)

Riset IMD: Daya Saing SDM Indonesia Masuk 3 Besar di Asean

25 September 2024   |   06:00 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Riset terbaru dari The International Institute of Management and Development (IMD) berjudul IMD World Talent Ranking (WTR) 2024 menunjukkan bahwa daya saing sumber daya manusia Indonesia menempati posisi tiga terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara.

Riset dari IMD World Talent Ranking 2024 menunjukkan bahwa daya saing SDM Indonesia berada di atas Thailand dan Filipina. Meskipun begitu, riset terbaru tersebut memperlihatkan bahwa SDM Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Singapura.

Baca juga: IBM Gandeng Markoding & Universitas Ciputra Cetak SDM Mahir Teknologi AI

Di level dunia, daya saing SDM Indonesia pada 2024 tercatat lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu. Riset menunjukkan bahwa daya saing keahlian talenta di Indonesia berada di posisi 46 atau naik satu peringkat dari 47.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Singapura menjadi negara dengan SDM yang memiliki daya saing paling tinggi. Di level dunia, negara ini menempati posisi kedua.

Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC) Arturo Bris mengungkapkan bahwa ada langkah yang perlu ditiru oleh negara-negara Asia Tenggara lain – termasuk Indonesia agar sama seperti Singapura.

Menurutnya, keberhasilan Singapura berada di posisi kedua dunia karena negara tersebut memiliki kesiapan yang baik dan tenaga kerja dengan tingkat keterampilan yang tinggi.

“Hal ini ditandai dengan tingkat pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi (peringkat pertama dunia), ketersediaan tenaga kerja terampil (peringkat 1), ketersediaan keterampilan keuangan (1), dan ketersediaan manajer senior dengan pengalaman internasional yang signifikan,” katanya.

Dengan begitu, Singapura selalu mempunya talenta sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Tidak hanya itu, daya saing SDM Singapura yang tinggi juga tidak dapat dilepaskan dari kemampuan negara menarik tenaga ahli asing untuk bekerja.

Selain itu, pasar tenaga kerja Singapura yang kuat juga sebagai hasil dari kesigapan sistem pendidikan untuk menyiapkan SDM yang handal. Menurut Bris, pemerintah Singapura selalu responsif guna membuat tenaga kerjanya mempunyai keahlian yang mumpuni terhadap perkembangan teknologi terbaru.

“Pemerintah Singapura sangat gesit. Ketika ada perkembangan teknologi baru, mereka segera memasukkannya ke dalam kurikulum,” ujarnya.

Dia menambahkan, beberapa negara memiliki sistem pendidikan yang sangat baik. Namun, negara-negara itu tidak berhasil mempersiapkan sumber daya manusianya dan juga menarik talenta asing yang tepat guna memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.

Dia menambahkan bahwa laporan tersebut juga mengungkap bahwa pengaruh adopsi AI terhadap pengurangan karyawan, peningkatan ketimpangan, dan diskriminasi. Kecerdasan buatan memiliki dua sisi bagi tenaga kerja.

Di satu sisi, keberadaan AI menjanjikan efisiensi dan meningkatkan produktivitas bagi perusahaan. Di sisi lain, kecerdasan buatan juga memberikan ancaman terhadap sejumlah lapangan pekerjaan, terutama di sektor yang sangat bergantung kepada pekerjaan yang bisa diautomasi.

“Automasi ini lebih mengancam pekerja perempuan ketimbang laki-laki,” ujarnya.

Dalam laporan laporan IMD WTR 2024, kecerdasan buatan mengancam perempuan pekerja. Data International Labour Organization (ILO) mengungkapkan bahwa perbedaan gender memberikan dampak berbeda akibat impelementasi AI dan otomatisasi pekerjaan.

Menurutnya, pekerja perempuan di negara maju lebih terdampak jika dibandingkan dengan laki-laki. Laporan itu menunjukkan bahwa ada 7,9 persen yang terkena dampak. Sementara pria yang terkena dampak hanya 2,9 persen.

Kondisi serupa juga terjadi di negara berkembang. Riset mengungkapkan bahwa ada 2,7 persen yang terdampak akibat penerapan AI. Kemudian, jumlah laki-laki yang terdampak akibat kecerdasan buatan di negara berkembang hanya 1,3 persen.

Selain itu, riset ILO PBB menunjukkan AI akan mengubah atau menggantikan 5,5 persen pekerjaan di negara berpendapatan tinggi dan hanya kurang dari 0,4 persen di negara berpendapatan rendah. Negara berpendapatan rendah lebih sedikit terdampak AI lantaran ada keterbatasan dalam mengakses teknologi.

Kemudian, dalam riset IMD kepada para eksekutif di 67 negara menunjukkan 12 persen mengaku AI telah menggantikan sebagian pekerjaan. Kondisi ini membuat mereka dapat melakukan pengurangan jumlah karyawan.

Baca juga: APP Group Kolaborasi dengan Kampus di Indonesia untuk Pengembangan SDM

Sementara itu, 7 eksekutif berpikir bahwa AI menyebabkan karyawan membatasi kerja pada batas minimum (quiet quitting) atau memilih pensiun dini. Riset IMD itu juga memperlihatkan bahwa sebagian besar responden atau 58 persen merasa AI banyak dipakai untuk meningkatkan produktivitas pekerja.

Tidak hanya itu, laoran IMD juga menunjukkan bahwa hampir seperempat responden atau 23 persen merasa belum mengintegrasikan AI dalam operasional bisnis mereka.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Trik Memaksimalkan Fitur dan Ekstensi Google Chrome Untuk Memudahkan Pekerjaan

BERIKUTNYA

Review Film All We Imagine as Light, Kisah Tiga Perempuan Melawan Kegetiran

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: