Hypereport: Kekuatan Terapi Seni, Menyembuhkan Luka Melalui Kreativitas
26 August 2024 |
14:52 WIB
Di balik goresan kuas dan percikan cat, seni memiliki kekuatan yang lebih dari sekadar menampilkan keindahan. Bagi banyak orang, seni adalah obat yang menyembuhkan luka tersembunyi hingga membantu melawan trauma masa kecil. Tidak sedikit pula orang yang menemukan kembali keceriaan dan kepercayaan dirinya melalui terapi seni.
Lebih dari sekadar keindahan dan kesenangan, seni juga memiliki manfaat yang jauh lebih besar bagi individu yang menjalaninya. Kegiatan berkesenian, seperti melukis, membatik, bernyanyi, berdansa, dan sebagainya bisa menjadi alat terapi yang dapat menyembuhkan dan kian diminati.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Memulihkan Diri Melalui Lukisan
2. Hypereport: Sound Healing, Menyembuhkan Diri lewat Terapi Musik
3. Hypereport: 10 Metode Art Therapy Unik di Dunia, Membuat Film sampai Bermain Peran
Dengan baju berwarna merah muda, dalam foto yang dikirimkan ke Hypeabis.id, Aleena Nuzula Purnomo terlihat sedang asik berkesenian di atas kain bersama dengan seniman Priska Yeniriatno, di Singkawang, Kalimantan Barat. Kegiatan Aleena itu merupakan bagian dari terapi seni yang dijalaninya.
Nurul Asri Oktoviaty, ibu Aleena mengungkapkan, sang anak menjalani terapi atau art therapy dengan membatik dan melukis dengan cat warna sejak berusia 5 tahun. Kini, sebagai hasil dari terapi yang dijalani, dia terlihat kian ceria dan percaya diri.
Aleena kecil didiagnosa teratoma imatur dan harus menjalani sederet sesi kemoterapi hingga operasi. Kondisi tersebut membuatnya mengalami trauma mengingat harus menjalani proses kemoterapi yang tidak sebentar.
“Karena Aleena sakit sudah dari bayi sampai usia 5 tahun masih terus menjalani aktivitas di rumah sakit,” ujarnya.
Pada suatu waktu, seseorang dari salah satu yayasan kanker memberikan saran kepadanya untuk menjalani art therapy guna mengatasi trauma yang dialami Aleena. Saran itu tidak langsung diiyakan oleh Nurul. Dia menindaklanjuti saran itu dengan bertanya ke dokter yang memberikan lampu hijau agar Aleena dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan seni.
“Dokternya sangat dukung dan bilang bagus juga sebagai terapi untuk trauma Aleena selama menjalani proses terapi yang panjang,” katanya. Dukungan dari dokter membuat Nurul segera mencari tahu tentang art therapy dan manfaatnya.
Nurul memilih Priska Yeniriatno karena metode berkesenian yang bebas berekspresi. Setelah melihat proses membatik yang diajarkan Priska, Nurul membawa Aleena untuk terapi. Dalam terapi, Aleena bebas mencampur warna dan menuangkan ide gambarnya, tanpa terikat aturan batik yang kaku.
Saat menjalani kegiatan berkesenian sebagai terapi, Aleena bebas mencampur warna dan menuangkan ide gambar, sehingga tidak ada pakem-pakem pada batik yang harus dilakukan olehnya.
“Hasilnya Alhamdulillah, anaknya semakin ceria dan percaya diri karena juga pernah beberapa kali diajak Priska untuk ikut pameran dan fashion show untuk batiknya. Saya percaya hati yang senang itu juga bagian dari obat untuk anak-anak,” katanya.
Asri mengatakan bahwa Aleena kini telah sembuh dan mulai mengembangkan identitas batiknya sendiri dengan gaya kontemporer. Salah satu ciri khas karya Aleena adalah motif kupu-kupu cancer, yang selalu hadir dalam setiap karyanya.
Aleena adalah salah satu dari banyak orang yang menjalani terapi seni di Indonesia. Terapi seni, bagian dari terapi ekspresif, mencakup berbagai metode, termasuk seni rupa visual, terapi musik, terapi tari, terapi drama, dan lain-lain.
Mutia Ribowo, Founder ART+i Art Therapy Jakarta, mengungkapkan bahwa kegiatan atau intervensi terapi ekspresif sangat serius meskipun memiliki sifat-sifat yang menyenangkan. Dia menuturkan, banyak fakta dan data yang menunjukkan bahwa kegiatan terapi ini sangat efektif untuk menangani trauma.
Tidak hanya trauma, terapi ekspresif juga dapat menjadi pilihan untuk sejumlah penyakit, seperti demensi, rehabilitasi otot untuk stroke, anak-anak yang memiliki sensory problem seperti autism, dan sebagainya. “Karena range of materials kami itu sangat luas,” ujarnya.
Dalam proses terapi, material yang digunakan tidak sekadar media untuk menggambar atau melukis. Namun, media lain yang juga dapat digunakan seperti tanah liat, digital art, fotografi, dan tidak menutup kemungkinan woodworking yang masih langka.
Menurut Mutia, setiap material memiliki peran masing-masing terhadap peserta yang menjalani terapi. Jadi, mereka yang hendak menjalani terapi biasanya melalui proses art therapy assessment guna mengetahui kondisi dan penanganan yang tepat.
Dalam proses assessment, peserta biasanya harus mengisi form dan melalui proses wawancara. Mereka yang tidak bisa melalui proses wawancara lantaran beberapa kondisi melewati proses observasi dengan menggunakan gambar, simbol, dan sebagainya.
Dalam terapi ekspresif, tubuh mengalami berbagai reaksi tergantung jenis terapinya. Untuk trauma, terapi ini membantu mengeluarkan emosi yang terpendam dan merangsang kerja otak. Hal ini dapat mempercepat regenerasi sel otak dan mengatasi hambatan kesehatan. Terapi ini juga memicu pelepasan hormon positif seperti serotonin, endorfin, dan dopamin.
"Untuk penyembuhan, dibutuhkan energi dan emosi positif, yang mempercepat prosesnya. Jadi, terapi ekspresif ini menawarkan semuanya dalam satu paket," katanya.
Kesadaran akan manfaat terapi ekspresif sudah meningkat, dengan banyak perusahaan dan organisasi pemerintah mulai memanfaatkannya. Mutia menyebutkan bahwa dia dan terapis lain di ART+i Art Therapy Jakarta sering diundang untuk memberikan pelatihan kepada pasien atau pendamping penderita trauma, seperti korban kekerasan seksual.
Selain itu, mereka juga sering diminta oleh tenaga kesehatan untuk memberikan pelajaran tentang terapi seni di rumah sakit, bahkan di samping tempat tidur pasien.
Saat ini, terapi seni sudah mulai diterapkan di beberapa rumah sakit, meskipun sebagian masih ditangani oleh relawan, bukan terapis profesional. Dia merasa bahwa kesadaran terhadap terapi seni di Indonesia cukup baik, meskipun belum sebanding dengan di luar negeri.
"Di luar negeri, terapi seni sudah banyak digunakan di rumah sakit, sekolah, dan untuk konseling. Art therapy sudah sangat berkembang di sana," ujarnya.
Peningkatan kesadaran terapi seni di dalam negeri dapat mengalami peningkatan karena banyak faktor, seperti riset tentang art therapy yang banyak dilakukan, buku-buku tentang terapi secara internasional, dan bukti atau hasil nyata terapi ini.
Selain itu, para praktisi atau terapis juga banyak memberikan edukasi dengan berbagai media, baik di media sosial, media massa, dan sebagainya. Tidak hanya itu, peningkatan minat masyarakat terhadap terapi dengan seni juga dapat terjadi dari cerita-cerita sukses orang yang menjalaninya atau dari mulut ke mulut.
Sayangnya, tinggi minat masyarakat terhadap terapi dengan seni tidak berbanding lurus dengan kondisi jumlah terapis yang ada di dalam negeri pada saat ini. Keberadaan jumlah terapis berlisensi masih sangat sedikit di Indonesia pada saat ini dan menjadi salah satu tantangan yang ada.
Mutia mengungkapkan bahwa jumlah terapis berlisensi khusus art therapy di Indonesia secara keseluruhan hanya 6 orang. Sementara itu, total terapis berlisensi terapi ekspresif secara keseluruhan hanya 8 orang.
Menurutnya, jumlah terapis berlisensi tersebut jauh dari kata ideal mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta orang. Padahal, dia menuturkan kebutuhan akan terapi ekspresif secara keseluruhan sangat banyak pada saat ini.
Selain kekurangan jumlah terapis, tantangan lain adalah kurangnya regulasi resmi untuk profesi terapis ekspresif di Indonesia, berbeda dengan negara lain di mana sudah diatur. Terapi ekspresif juga masih kurang dikenal dan sering dianggap sekadar kegiatan hiburan, padahal sebenarnya memiliki tujuan penyembuhan yang penting.
Mutia juga berharap terapi ekspresif di Indonesia dapat berkembang karena sudah terbukti bermanfaat. Dia juga ingin lebih banyak universitas membuka program S2 untuk terapi ekspresif agar ada lebih banyak terapis terlatih. Saat ini, hanya dua kampus di Indonesia yang menawarkan jurusan terkait, dan belum ada program S2, sehingga terapis harus mendapat lisensi dari luar negeri.
Dia juga mendorong regulasi dari pemerintah untuk mengakui profesi ini secara resmi, sehingga bisa diakses di berbagai unit kesehatan dan melalui BPJS. Biaya terapi bervariasi, dengan sesi bersama terapis senior bisa mencapai Rp700.000, sementara dengan terapis junior sekitar Rp350.000.
Meski begitu, Mutia menekankan bahwa profesi ini harus didasari keinginan tulus membantu orang lain, bukan semata untuk mencari uang. Kadang-kadang, dia memberikan layanan gratis bagi mereka yang tidak mampu membayar.
Baca juga: Ternyata Musik Bisa Menjadi Terapi Ajaib untuk Kesehatan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Lebih dari sekadar keindahan dan kesenangan, seni juga memiliki manfaat yang jauh lebih besar bagi individu yang menjalaninya. Kegiatan berkesenian, seperti melukis, membatik, bernyanyi, berdansa, dan sebagainya bisa menjadi alat terapi yang dapat menyembuhkan dan kian diminati.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Memulihkan Diri Melalui Lukisan
2. Hypereport: Sound Healing, Menyembuhkan Diri lewat Terapi Musik
3. Hypereport: 10 Metode Art Therapy Unik di Dunia, Membuat Film sampai Bermain Peran
Dengan baju berwarna merah muda, dalam foto yang dikirimkan ke Hypeabis.id, Aleena Nuzula Purnomo terlihat sedang asik berkesenian di atas kain bersama dengan seniman Priska Yeniriatno, di Singkawang, Kalimantan Barat. Kegiatan Aleena itu merupakan bagian dari terapi seni yang dijalaninya.
Nurul Asri Oktoviaty, ibu Aleena mengungkapkan, sang anak menjalani terapi atau art therapy dengan membatik dan melukis dengan cat warna sejak berusia 5 tahun. Kini, sebagai hasil dari terapi yang dijalani, dia terlihat kian ceria dan percaya diri.
Aleena kecil didiagnosa teratoma imatur dan harus menjalani sederet sesi kemoterapi hingga operasi. Kondisi tersebut membuatnya mengalami trauma mengingat harus menjalani proses kemoterapi yang tidak sebentar.
“Karena Aleena sakit sudah dari bayi sampai usia 5 tahun masih terus menjalani aktivitas di rumah sakit,” ujarnya.
Pada suatu waktu, seseorang dari salah satu yayasan kanker memberikan saran kepadanya untuk menjalani art therapy guna mengatasi trauma yang dialami Aleena. Saran itu tidak langsung diiyakan oleh Nurul. Dia menindaklanjuti saran itu dengan bertanya ke dokter yang memberikan lampu hijau agar Aleena dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan seni.
“Dokternya sangat dukung dan bilang bagus juga sebagai terapi untuk trauma Aleena selama menjalani proses terapi yang panjang,” katanya. Dukungan dari dokter membuat Nurul segera mencari tahu tentang art therapy dan manfaatnya.
Nurul memilih Priska Yeniriatno karena metode berkesenian yang bebas berekspresi. Setelah melihat proses membatik yang diajarkan Priska, Nurul membawa Aleena untuk terapi. Dalam terapi, Aleena bebas mencampur warna dan menuangkan ide gambarnya, tanpa terikat aturan batik yang kaku.
Saat menjalani kegiatan berkesenian sebagai terapi, Aleena bebas mencampur warna dan menuangkan ide gambar, sehingga tidak ada pakem-pakem pada batik yang harus dilakukan olehnya.
“Hasilnya Alhamdulillah, anaknya semakin ceria dan percaya diri karena juga pernah beberapa kali diajak Priska untuk ikut pameran dan fashion show untuk batiknya. Saya percaya hati yang senang itu juga bagian dari obat untuk anak-anak,” katanya.
Asri mengatakan bahwa Aleena kini telah sembuh dan mulai mengembangkan identitas batiknya sendiri dengan gaya kontemporer. Salah satu ciri khas karya Aleena adalah motif kupu-kupu cancer, yang selalu hadir dalam setiap karyanya.
Aleena adalah salah satu dari banyak orang yang menjalani terapi seni di Indonesia. Terapi seni, bagian dari terapi ekspresif, mencakup berbagai metode, termasuk seni rupa visual, terapi musik, terapi tari, terapi drama, dan lain-lain.
Ilustrasi terapi ekspresif. (Sumber foto: Pexels/cottonbro studio)
Tidak hanya trauma, terapi ekspresif juga dapat menjadi pilihan untuk sejumlah penyakit, seperti demensi, rehabilitasi otot untuk stroke, anak-anak yang memiliki sensory problem seperti autism, dan sebagainya. “Karena range of materials kami itu sangat luas,” ujarnya.
Dalam proses terapi, material yang digunakan tidak sekadar media untuk menggambar atau melukis. Namun, media lain yang juga dapat digunakan seperti tanah liat, digital art, fotografi, dan tidak menutup kemungkinan woodworking yang masih langka.
Menurut Mutia, setiap material memiliki peran masing-masing terhadap peserta yang menjalani terapi. Jadi, mereka yang hendak menjalani terapi biasanya melalui proses art therapy assessment guna mengetahui kondisi dan penanganan yang tepat.
Dalam proses assessment, peserta biasanya harus mengisi form dan melalui proses wawancara. Mereka yang tidak bisa melalui proses wawancara lantaran beberapa kondisi melewati proses observasi dengan menggunakan gambar, simbol, dan sebagainya.
Dalam terapi ekspresif, tubuh mengalami berbagai reaksi tergantung jenis terapinya. Untuk trauma, terapi ini membantu mengeluarkan emosi yang terpendam dan merangsang kerja otak. Hal ini dapat mempercepat regenerasi sel otak dan mengatasi hambatan kesehatan. Terapi ini juga memicu pelepasan hormon positif seperti serotonin, endorfin, dan dopamin.
"Untuk penyembuhan, dibutuhkan energi dan emosi positif, yang mempercepat prosesnya. Jadi, terapi ekspresif ini menawarkan semuanya dalam satu paket," katanya.
Kesadaran akan manfaat terapi ekspresif sudah meningkat, dengan banyak perusahaan dan organisasi pemerintah mulai memanfaatkannya. Mutia menyebutkan bahwa dia dan terapis lain di ART+i Art Therapy Jakarta sering diundang untuk memberikan pelatihan kepada pasien atau pendamping penderita trauma, seperti korban kekerasan seksual.
Selain itu, mereka juga sering diminta oleh tenaga kesehatan untuk memberikan pelajaran tentang terapi seni di rumah sakit, bahkan di samping tempat tidur pasien.
Saat ini, terapi seni sudah mulai diterapkan di beberapa rumah sakit, meskipun sebagian masih ditangani oleh relawan, bukan terapis profesional. Dia merasa bahwa kesadaran terhadap terapi seni di Indonesia cukup baik, meskipun belum sebanding dengan di luar negeri.
"Di luar negeri, terapi seni sudah banyak digunakan di rumah sakit, sekolah, dan untuk konseling. Art therapy sudah sangat berkembang di sana," ujarnya.
Peningkatan kesadaran terapi seni di dalam negeri dapat mengalami peningkatan karena banyak faktor, seperti riset tentang art therapy yang banyak dilakukan, buku-buku tentang terapi secara internasional, dan bukti atau hasil nyata terapi ini.
Selain itu, para praktisi atau terapis juga banyak memberikan edukasi dengan berbagai media, baik di media sosial, media massa, dan sebagainya. Tidak hanya itu, peningkatan minat masyarakat terhadap terapi dengan seni juga dapat terjadi dari cerita-cerita sukses orang yang menjalaninya atau dari mulut ke mulut.
Tantangan
Sayangnya, tinggi minat masyarakat terhadap terapi dengan seni tidak berbanding lurus dengan kondisi jumlah terapis yang ada di dalam negeri pada saat ini. Keberadaan jumlah terapis berlisensi masih sangat sedikit di Indonesia pada saat ini dan menjadi salah satu tantangan yang ada.Mutia mengungkapkan bahwa jumlah terapis berlisensi khusus art therapy di Indonesia secara keseluruhan hanya 6 orang. Sementara itu, total terapis berlisensi terapi ekspresif secara keseluruhan hanya 8 orang.
Menurutnya, jumlah terapis berlisensi tersebut jauh dari kata ideal mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta orang. Padahal, dia menuturkan kebutuhan akan terapi ekspresif secara keseluruhan sangat banyak pada saat ini.
Selain kekurangan jumlah terapis, tantangan lain adalah kurangnya regulasi resmi untuk profesi terapis ekspresif di Indonesia, berbeda dengan negara lain di mana sudah diatur. Terapi ekspresif juga masih kurang dikenal dan sering dianggap sekadar kegiatan hiburan, padahal sebenarnya memiliki tujuan penyembuhan yang penting.
Mutia juga berharap terapi ekspresif di Indonesia dapat berkembang karena sudah terbukti bermanfaat. Dia juga ingin lebih banyak universitas membuka program S2 untuk terapi ekspresif agar ada lebih banyak terapis terlatih. Saat ini, hanya dua kampus di Indonesia yang menawarkan jurusan terkait, dan belum ada program S2, sehingga terapis harus mendapat lisensi dari luar negeri.
Dia juga mendorong regulasi dari pemerintah untuk mengakui profesi ini secara resmi, sehingga bisa diakses di berbagai unit kesehatan dan melalui BPJS. Biaya terapi bervariasi, dengan sesi bersama terapis senior bisa mencapai Rp700.000, sementara dengan terapis junior sekitar Rp350.000.
Meski begitu, Mutia menekankan bahwa profesi ini harus didasari keinginan tulus membantu orang lain, bukan semata untuk mencari uang. Kadang-kadang, dia memberikan layanan gratis bagi mereka yang tidak mampu membayar.
Baca juga: Ternyata Musik Bisa Menjadi Terapi Ajaib untuk Kesehatan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.