Ilustrasi melukis (Sumber gambar: Unsplash/Christian Sterk )

Hypereport: Memulihkan Diri Melalui Lukisan

26 August 2024   |   08:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Viktor (26), seorang karyawan swasta di Jakarta, kerap kali mengisi waktu luangnya dengan melukis. Baginya, hobi menggambar yang belum lama ini dilakukannya tersebut bisa menjadi sarana sejenak meredam emosi di tengah tekanan pekerjaannya.

Bagi perantau sepertinya, melukis seperti sebuah katarsis. Bebunyian notifikasi WhatsApp tentang pekerjaan yang masih didapat ketika sampai di rumah, seolah teredam ketika dirinya menatap kanvas putih di kamarnya.

Lewat kanvas putih itulah, dia mencoba menepikan diri dari duniawi dan mulai menjalankan gilirannya untuk juga menuangkan perasaannya. Seni melukis telah membuka jalan baginya untuk tidak menyerah. 

Baca juga: Belajar Menghargai Diri Sendiri dan Alam dengan Gaya Hidup Slow Living
 

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Bench Accounting)

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Bench Accounting)

Melukis sebagai upaya menyenangkan untuk memulihkan tubuh akibat tekanan kehidupan memang bukanlah hal baru. Melukis untuk terapi atau lebih dikenal dengan art therapy adalah sejenis psikoterapi yang menggunakan seni sebagai medium utama menuangkan keresahannya.

Meski terlihat seperti main-main atau sekadar hobi, melukis memang punya kaitan dengan upaya penstabilan emosi seseorang. Kendati demikian, tak semua kegiatan melukis juga selalu dikaitkan dengan hal tersebut.

Amelia Devina, Co-founder Kriyajiva (art therapy & healing center), mengatakan art therapy adalah suatu metode healing bagi seseorang untuk menemukan akar masalah dan mengurangi gejala dari masalah tersebut melalui kegiatan seni, seperti melukis.

Menurutnya, tidak semua orang dapat mengeluarkan apa yang dirasakannya lewat kata-kata, sebagian bahkan terjadi resistensi. Ada beberapa penyebabnya, dari memang tidak bisa bercerita atau bahkan ada ketakutan tersendiri karena khawatir masalahnya akan di-judge.

Dengan art therapy, seseorang yang tadinya kesulitan menuangkan masalahnya dengan kata-kata, akhirnya bisa lebih tercurahkan lewat medium seni.

“Tanpa perlu dia berkata-kata, gambarnya itu akan menerangkan apa yang ada di alam bawah sadar seseorang. Setelahnya, seorang art therapy practitioner akan membantu menerjemahkan apa yang ada di bawah alam sadarnya,” ucap Amelia kepada Hypeabis.id

Bagi Amelia, art therapy memang menjadi salah satu medium healing yang menarik karena sifatnya fun. Sebab, selama ini healing kerap kali diidentikan dengan sesuatu yang berat, susah dijalani, atau juga menyakitkan.

Namun, lewat medium seni ini, penjabaran tersebut diselimuti dengan hal-hal yang justru menarik, yakni dengan menggambar. Tanpa harus berbicara, seseorang juga bisa menuangkan apa yang dirasakannya tanpa ada penghakiman atau juga stigmatisasi keliru saat seseorang pergi ke profesional karena masalah kesehatan mentalnya.

Art therapy ini tujuannya pada akhirnya adalah untuk meminimalkan gejala-gejala bagi orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, sebenarnya tidak hanya bisa diterapkan pada orang dengan gangguan mental saja, mereka yang sedang merasa tidak nyaman atau butuh sesuatu untuk lebih fresh juga bisa,” jelasnya.
 

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Florencia Potter)

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Florencia Potter)

Amelia menjelaskan art therapy umumnya bisa diterapkan untuk mengelola ragam masalah kesehatan mental. Dari yang kelasnya ringan, sekadar stres karena pekerjaan, sampai ke yang berat. Di luar itu, art therapy juga menjadi menarik karena cara ini juga bisa meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Menurutnya, penggunaannya pun jadi lebih meluas.

Dia mencontohkan, terapi seni tak hanya berlaku bagi individu. Untuk korporasi, hal ini juga bisa digunakan untuk team building atau goal setting. Lalu, untuk anak-anak, kegiatan menggambar juga bisa jadi medium melatih syaraf motorik dan membantu proses tumbuh kembangnya.

Sejauh ini, kata Amelia, untuk art therapy kliennya memang kerap datang dari dua segmen. Pertama adalah anak-anak, karena proses menggambar adalah sesuatu yang seru, apalagi bisa untuk healing. Kedua, adalah dewasa sekitar usia 30 tahunan, yang membutuhkan pelepasan kepenatan kerja atau stress release.

Sementara itu, terkait dengan prosesnya, art therapy biasanya dilakukan dengan beberapa cara. Tidak ada metode tunggal karena setiap prosesnya selalu bergantung dari individunya. Amelia menjelaskan ada beberapa orang yang diberi kebebasan untuk menggambar apa pun yang diinginkan. Namun, pada beberapa contoh yang lain, pihaknya juga bisa memberi semacam arahan.

Misalnya, ketika ada seseorang terindikasi menjadi korban perundungan, seorang art therapy practitioner akan memberi arahan untuk menggambarkan rasa takut tersebut. Nantinya, gambar tersebut akan dibebaskan, baik bentuk maupun warnanya.

Dari gambar-gambar tersebut, seorang art therapy practitioner akan mencerna apa yang sedang dialami oleh kliennya. “Umumnya, butuh 6-8 kali untuk bisa melihat perubahannya. Apakah sebelum itu bisa berubah? Tentu ada. Namun, kan kita inginnya lebih permanen. Perlu digarisbawahi juga, setiap individu itu unik ya dan ini perlu dilihat per case juga,” tuturnya. 

Baca juga: Tips Belajar Melukis untuk Pemula


Perkembangan Melukis untuk Terapi

Dosen Institut Teknologi Bandung sekaligus Art Therapist Ardhana Riswarie mengatakan metode art therapy untuk mengatasi kesehatan mental telah dimulai sejak lama. Secara global, ada dua titik besar yang mengilhami keilmuan ini.

Pertama, di Eropa, art therapy mulai berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Namun, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya konsep terapi seni sudah mulai menjadi diskusi menarik pada abad ke-19.

Kala itu, di Inggris ada seorang seniman yang tinggal di rumah sakit jiwa. Seniman tersebut tinggal bukan karena menjadi pengidap gangguan jiwa, melainkan lebih untuk meneliti apa yang terjadi di dalamnya.

Sang seniman juga bertugas untuk mengisi peran 'kamera', yakni menggambarkan kegiatan apa saja yang ada di sana atau merekam bentuk-bentuk kegilaan yang terjadi di dalamnya. Lama kelamaan, hal itu turut memantik perhatian si pasien.

Akhirnya, pasien pun mulai mencoba melukis. Rupanya, cara ini memberi dampak pada psikologis pasien. Misalnya, pasien menjadi bisa lebih bercerita, rileks, atau dampak-dampak tertentu lain.
 

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Ankhesenamun)

Melukis (Sumber gambar: Unsplash/Ankhesenamun)

Setelah Perang Dunia ke-2, mulai muncul diskusi seni dipakai untuk membantu mengatasi masalah mental tentara-tentara yang pulang berperang. Penelitian seni untuk membantu masalah mental pun mulai berkembang juga.

Kedua, di belahan dunia lain, pada waktu yang hampir bersamaan, art therapy juga berkembang di Amerika Serikat. Berbeda dari Inggris, di AS terapi seni muncul dari pendidikan seni rupa di sana.

Kala itu, guru-guru seni rupa di AS mulai melihat ada kaitan erat antara kesenian dan mental seseorang. Dalam kasusnya, ketika anak-anak mendapat pelajaran seni rupa, mereka jadi pribadi yang bisa bercerita banyak hal.

“Jadi, ini cukup tergambar kenapa akhirnya art therapy kemudian jadi cukup dekat dengan kesehatan mental dan dunia pendidikan dengan mulai diterapkannya sebagai metode konseling di sekolah-sekolah,” jelasnya.

Secara global, art therapy telah menjadi metode yang cukup lumrah dan berkembang. Namun, di Indonesia, metode ini memang terlihat belum terlalu masif atau cukup terdengar baru. 

Ardhana mengatakan hal ini terjadi karena beberapa hal. Secara umum, keilmuan psikologi berkembang di Indonesia juga belum selama apa yang terjadi di Eropa. Akan tetapi, perlahan-lahan metode art therapy mulai berkembang di bumi Ibu Pertiwi. 

Baca juga: Hypereport: Melukis Pesan, Mengukir Kesadaran, dan Mengubah Tindakan

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Rekam Jejak Seniman Sanggar Bumi Tarung Adrianus Gumelar yang Tutup Usia

BERIKUTNYA

Simak Perkembangan Kasus Mpox di Indonesia, Tetap Waspada

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: