Hypereport: Journaling sebagai Metode Terapi Untuk Mengenali Emosi dan Berekspresi
26 August 2024 |
17:08 WIB
Journaling atau menuliskan pikiran, perasaan, pengalaman, atau refleksi secara berkala merupakan salah satu metode dari art therapy. Melalui kegiatan ini, seseorang bisa mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk tulisan, gambar, atau kombinasi keduanya.
Journaling pun bisa dilakukan di buku, perangkat digital, atau di media apapun. Sedangkan art therapy atau terapi seni merupakan salah satu bentuk terapi yang memanfaatkan proses kreatif seni untuk mengelola kesehatan mental dan emosional seseorang.
Setiap orang dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka lewat berbagai bentuk seni, seperti melukis, menggambar, atau menulis jurnal. Mengutip American Art Therapy Association, terapi seni membantu seseorang untuk mengendalikan hidupnya dan meredakan kecemasan dan depresi, termasuk pada pasien dengan penyakit kronis seperti kanker, tuberkulosis, dan veteran militer dengan PTSD.
Baca juga: Hypereport: Tokoh-tokoh Art Therapy di Dunia yang Paling Berpengaruh
Terapi seni membantu mengelola rasa sakit dengan mengalihkan fokus mental dari stimulus yang memicu rasa sakit. Nantinya ada sesi journaling dipandu oleh seorang psikolog atau terapis profesional. Kegoatan ini tidak memfokuskan pada hasil akhir karya tulisnya, melainkan pada proses kreatif dan ekspresi diri yang terjadi selama terapi.
Journaling memungkinkan individu untuk mengeksplorasi perasaan mereka secara visual dan tekstual, memberikan cara yang lebih dalam untuk memahami emosi dan pengalaman mereka.
Psikolog Klinis Istiana Tajuddin memaparkan ketika kita mengalami masalah, seringkali pikiran dan perasaan tak bisa diekspresikan dengan benar. Akhirnya seseorang tidak bisa mengatasi emosinya, sehingga sering tidak bersemangat dan marah-marah.
"Melalui journaling kita bisa mengungkapkan semuanya dan mengetahui sejauh mana kita butuh pertolongan dari profesional," katanya kepada Hypeabis.id.
Ada dua model journaling yang banyak diterapkan, yakni gratitude journaling dan expressive writing. Walau sama-sama menulis, kedua model tersebut memiliki proses dan tujuan yang berbeda. "Gratitude journaling adalah tulisan untuk mengungkapkan rasa bersukur, istilahnya one day one gratitude," katanya pada Hypeabis.id.
Istiana memaparkan, cara melakukan gratitude journaling sangat mudah. Kita bisa menulisan minimal satu kalimat bersyukur mulai dari bangun pagi sampai malam sebelum tidur. Metode ini dinilai cocok untuk orang-orang yang tidak terbiasa menulis panjang dan baru memulai kegiatan journaling.
Baginya, rasa bersyukur memiliki keterkaitan erat dengan orang-orang yang mengalami depresi dan putus harapan. Dengan menuliskan hal-hal yang membuat kita bersyukur setiap harinya, diharapkan orang-orang bisa lebih menghargai kehidupannya dan mengapresiasi dirinya sendiri.
"Expressive writing adalah model journaling yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan emosi-emosinya dalam bentuk tulisan," papar Istiana.
Baca juga: Hypereport: 10 Metode Art Therapy Unik di Dunia, Membuat Film sampai Bermain Peran
Lebih lanjut dia memaparkan, melalui expressive writing seseorang bisa menggali ke dalam dirinya dan mencoba memahami apa yang dia rasakan terhadap suatu peristiwa tertentu. Kegiatan ini bisa dilakukan sekitar 20 menit sebanyak 3-4 kali seminggu.
Journaling dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada menulis kata-kata di atas kertas atau media lainnya. Menulis bisa dibarengi dengan kegiatan menggambar, melukis, kolase, dan teknik seni lainnya sekreatif mungkin.
Meski begitu ada kalanya, seseorang sulit membiasakan untuk menulis dengan konsisten. Kalau sudah begini, sesi terapi jadi sia-sia dan dia merasa kondisi mentalnya jadi tidak lebih baik dari sebelumnya. Mengatasi hal tersebut, Istiana memaparkan harusnya kita membuat kegiatan menulis jadi menyenangkan.
"Sebetulnya kita enggak harus menulis atau mengetik, sekarang sudah ada teknologi yang memungkinkan suara untuk diubah jadi tulisan," katanya.
Namun, tetap saja baginya kegiatan menulis dan menyusun kata itu punya efek terapeutik yang membantu seseorang untuk berpikir secara sistematis dan memetakan masalah dengan pikiran yang lebih jernih. Menulis pun tidak perlu panjang-panjang, bisa satu kalimat setiap hari, lalu ditingkatkan jadi setengah halaman, asalkan dilakukan konsisten.
Kegiatan journaling ini dipantau oleh terapis dan psikolog, melalui tulisan mereka bisa menilai apakah seseorang mulai mengalami perubahan pada kondisi mentalnya menjadi lebih baik. Hal tersebut terlihat pada isi tulisannya di mana seseorang sudah mampu untuk mengenali masalah dan menentukan bagaimana harus bertindak.
"Saat dihadapkan dengan masalah, dia tahu kapan harus mengambil jarak untuk istirahat atau menghubungi profesional, responsnya juga terukur karena kesadarannya sudah lebih baik dari sebelumnya," kata Istiana.
Adi Chandra, psikolog dari komunitas RupaSwaraJiwa kerap melakukan sesi workshop art therapy, di mana dia menggunakan metode menulis dan menggambar. Menurutnya, saat melakukan kegiatan ini harus memposisikan diri sendiri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa.
"Pendekatan orang dalam melihat masalah beda-beda, ketika kita makin tahu banyak hal, maka semakin takut untuk kita mengeksplorasi ekspresi diri tanpa batas," katanya.
Kegiatan menulis dan menggambar bisa dilakukan bersama-sama, bisa dua orang atau lebih. Setiap orang bisa menggambar telapak tangannya dengan satu tarikan garis tanpa putus, sambil menutup mata. Lalu menggambar yang kedua kalinya secara bebas dengan mata terbuka.
Setelahnya masing-masing dapat mengungkapkan perasaan mereka, apa perbedaannya saat menggambar dengan mata tertutup dan mata terbuka.
Baca juga: Hypereport: Sound Healing, Menyembuhkan Diri lewat Terapi Musik
Saat menutup mata, seseorang bisa menggambar dengan bebas, tanpa memikirkan apapun di sekitarnya. Selain itu juga, membuat pikirannya fokus pada satu hal, tanpa memikirkan apapun di sekitarnya. Sementara, saat membuka mata ada juga orang yang jadi berambisi untuk menggambar dengan bagus.
Ada juga yang takut salah saat menggambar dengan mata tertutup. Ini membuatnya sulit memusatkan pikiran karena khawatir hasil gambarnya jelek. Sebaliknya, dia merasa percaya diri saat menggambar sambil membuka mata karena tahu apa yang harus dilakukan.
Sebetulnya tidak ada yang benar dan salah dengan semua perasaan tersebut. Diharapkan masing-masing peserta bisa mengenali emosi dalam dirinya dan menerapkan mindfullness untuk meningkatkan kesadaran diri dan menghilangkan stres.
"Saat menggambar tangan dengan mata tertutup, kita sedang memercayai sebuah proses, bukan hasil, karena sejak sejak kecil mungkin kita sudah dipaksa untuk memberikan hasil atau result oriented," katanya.
Adi memaparkan, tentunya bagus untuk memiliki pencapaian yang membanggakan orang-orang di sekitar kita, namun ada kalanya penting juga untuk rehat sejenak. Emosi negatif yang ditahan akan menumpuk dan sewaktu-waktu bisa meledak.
Selanjutnya, sambil melihat gambar tangan kita, tuliskan sebuah cerita yang mendeskripsikan diri sendiri dalam beberapa kata, di samping gambar tangan. Kegiatan ini juga sekaligus menjadi ajang untuk saling mengenal dan menumbuhkan empati dengan mendengarkan dan menyimak cerita orang lain.
"Dengan mendengar cerita orang lain saja, itu sudah terapeutik, karena dunia kita bising dan tak jarang membuat stres," kata Adi.
Baca juga: Hypereport: Memulihkan Diri Melalui Lukisan
Meski begitu, art therapy juga bisa dilakukan sendiri. Caranya dengan mendeskripsikan diri sendiri, mengenali needs atau apa yang kita pikirkan dan butuhkan, lalu menuangkannya dalam tulisan.
Dengan demikian, journaling dalam art therapy dinilai sebagai metode yang efektif untuk mengekspresikan emosi dan pikiran seseorang. Dengan menggabungkan elemen seni berupa tulisan dan gambar, individu dapat menemukan cara baru untuk memahami dan mengelola emosinya.
Editor: Fajar Sidik
Journaling pun bisa dilakukan di buku, perangkat digital, atau di media apapun. Sedangkan art therapy atau terapi seni merupakan salah satu bentuk terapi yang memanfaatkan proses kreatif seni untuk mengelola kesehatan mental dan emosional seseorang.
Setiap orang dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka lewat berbagai bentuk seni, seperti melukis, menggambar, atau menulis jurnal. Mengutip American Art Therapy Association, terapi seni membantu seseorang untuk mengendalikan hidupnya dan meredakan kecemasan dan depresi, termasuk pada pasien dengan penyakit kronis seperti kanker, tuberkulosis, dan veteran militer dengan PTSD.
Baca juga: Hypereport: Tokoh-tokoh Art Therapy di Dunia yang Paling Berpengaruh
Terapi seni membantu mengelola rasa sakit dengan mengalihkan fokus mental dari stimulus yang memicu rasa sakit. Nantinya ada sesi journaling dipandu oleh seorang psikolog atau terapis profesional. Kegoatan ini tidak memfokuskan pada hasil akhir karya tulisnya, melainkan pada proses kreatif dan ekspresi diri yang terjadi selama terapi.
Journaling memungkinkan individu untuk mengeksplorasi perasaan mereka secara visual dan tekstual, memberikan cara yang lebih dalam untuk memahami emosi dan pengalaman mereka.
Psikolog Klinis Istiana Tajuddin memaparkan ketika kita mengalami masalah, seringkali pikiran dan perasaan tak bisa diekspresikan dengan benar. Akhirnya seseorang tidak bisa mengatasi emosinya, sehingga sering tidak bersemangat dan marah-marah.
"Melalui journaling kita bisa mengungkapkan semuanya dan mengetahui sejauh mana kita butuh pertolongan dari profesional," katanya kepada Hypeabis.id.
Ada dua model journaling yang banyak diterapkan, yakni gratitude journaling dan expressive writing. Walau sama-sama menulis, kedua model tersebut memiliki proses dan tujuan yang berbeda. "Gratitude journaling adalah tulisan untuk mengungkapkan rasa bersukur, istilahnya one day one gratitude," katanya pada Hypeabis.id.
Istiana memaparkan, cara melakukan gratitude journaling sangat mudah. Kita bisa menulisan minimal satu kalimat bersyukur mulai dari bangun pagi sampai malam sebelum tidur. Metode ini dinilai cocok untuk orang-orang yang tidak terbiasa menulis panjang dan baru memulai kegiatan journaling.
Baginya, rasa bersyukur memiliki keterkaitan erat dengan orang-orang yang mengalami depresi dan putus harapan. Dengan menuliskan hal-hal yang membuat kita bersyukur setiap harinya, diharapkan orang-orang bisa lebih menghargai kehidupannya dan mengapresiasi dirinya sendiri.
"Expressive writing adalah model journaling yang memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan emosi-emosinya dalam bentuk tulisan," papar Istiana.
Baca juga: Hypereport: 10 Metode Art Therapy Unik di Dunia, Membuat Film sampai Bermain Peran
Lebih lanjut dia memaparkan, melalui expressive writing seseorang bisa menggali ke dalam dirinya dan mencoba memahami apa yang dia rasakan terhadap suatu peristiwa tertentu. Kegiatan ini bisa dilakukan sekitar 20 menit sebanyak 3-4 kali seminggu.
Journaling dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada menulis kata-kata di atas kertas atau media lainnya. Menulis bisa dibarengi dengan kegiatan menggambar, melukis, kolase, dan teknik seni lainnya sekreatif mungkin.
Meski begitu ada kalanya, seseorang sulit membiasakan untuk menulis dengan konsisten. Kalau sudah begini, sesi terapi jadi sia-sia dan dia merasa kondisi mentalnya jadi tidak lebih baik dari sebelumnya. Mengatasi hal tersebut, Istiana memaparkan harusnya kita membuat kegiatan menulis jadi menyenangkan.
"Sebetulnya kita enggak harus menulis atau mengetik, sekarang sudah ada teknologi yang memungkinkan suara untuk diubah jadi tulisan," katanya.
Namun, tetap saja baginya kegiatan menulis dan menyusun kata itu punya efek terapeutik yang membantu seseorang untuk berpikir secara sistematis dan memetakan masalah dengan pikiran yang lebih jernih. Menulis pun tidak perlu panjang-panjang, bisa satu kalimat setiap hari, lalu ditingkatkan jadi setengah halaman, asalkan dilakukan konsisten.
Kegiatan journaling ini dipantau oleh terapis dan psikolog, melalui tulisan mereka bisa menilai apakah seseorang mulai mengalami perubahan pada kondisi mentalnya menjadi lebih baik. Hal tersebut terlihat pada isi tulisannya di mana seseorang sudah mampu untuk mengenali masalah dan menentukan bagaimana harus bertindak.
"Saat dihadapkan dengan masalah, dia tahu kapan harus mengambil jarak untuk istirahat atau menghubungi profesional, responsnya juga terukur karena kesadarannya sudah lebih baik dari sebelumnya," kata Istiana.
Terapi Kombinasi Menulis dan Menggambar
Adi Chandra, psikolog dari komunitas RupaSwaraJiwa kerap melakukan sesi workshop art therapy, di mana dia menggunakan metode menulis dan menggambar. Menurutnya, saat melakukan kegiatan ini harus memposisikan diri sendiri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa."Pendekatan orang dalam melihat masalah beda-beda, ketika kita makin tahu banyak hal, maka semakin takut untuk kita mengeksplorasi ekspresi diri tanpa batas," katanya.
Kegiatan menulis dan menggambar bisa dilakukan bersama-sama, bisa dua orang atau lebih. Setiap orang bisa menggambar telapak tangannya dengan satu tarikan garis tanpa putus, sambil menutup mata. Lalu menggambar yang kedua kalinya secara bebas dengan mata terbuka.
Setelahnya masing-masing dapat mengungkapkan perasaan mereka, apa perbedaannya saat menggambar dengan mata tertutup dan mata terbuka.
Baca juga: Hypereport: Sound Healing, Menyembuhkan Diri lewat Terapi Musik
Saat menutup mata, seseorang bisa menggambar dengan bebas, tanpa memikirkan apapun di sekitarnya. Selain itu juga, membuat pikirannya fokus pada satu hal, tanpa memikirkan apapun di sekitarnya. Sementara, saat membuka mata ada juga orang yang jadi berambisi untuk menggambar dengan bagus.
Ada juga yang takut salah saat menggambar dengan mata tertutup. Ini membuatnya sulit memusatkan pikiran karena khawatir hasil gambarnya jelek. Sebaliknya, dia merasa percaya diri saat menggambar sambil membuka mata karena tahu apa yang harus dilakukan.
Sebetulnya tidak ada yang benar dan salah dengan semua perasaan tersebut. Diharapkan masing-masing peserta bisa mengenali emosi dalam dirinya dan menerapkan mindfullness untuk meningkatkan kesadaran diri dan menghilangkan stres.
"Saat menggambar tangan dengan mata tertutup, kita sedang memercayai sebuah proses, bukan hasil, karena sejak sejak kecil mungkin kita sudah dipaksa untuk memberikan hasil atau result oriented," katanya.
Adi memaparkan, tentunya bagus untuk memiliki pencapaian yang membanggakan orang-orang di sekitar kita, namun ada kalanya penting juga untuk rehat sejenak. Emosi negatif yang ditahan akan menumpuk dan sewaktu-waktu bisa meledak.
Selanjutnya, sambil melihat gambar tangan kita, tuliskan sebuah cerita yang mendeskripsikan diri sendiri dalam beberapa kata, di samping gambar tangan. Kegiatan ini juga sekaligus menjadi ajang untuk saling mengenal dan menumbuhkan empati dengan mendengarkan dan menyimak cerita orang lain.
"Dengan mendengar cerita orang lain saja, itu sudah terapeutik, karena dunia kita bising dan tak jarang membuat stres," kata Adi.
Baca juga: Hypereport: Memulihkan Diri Melalui Lukisan
Meski begitu, art therapy juga bisa dilakukan sendiri. Caranya dengan mendeskripsikan diri sendiri, mengenali needs atau apa yang kita pikirkan dan butuhkan, lalu menuangkannya dalam tulisan.
Dengan demikian, journaling dalam art therapy dinilai sebagai metode yang efektif untuk mengekspresikan emosi dan pikiran seseorang. Dengan menggabungkan elemen seni berupa tulisan dan gambar, individu dapat menemukan cara baru untuk memahami dan mengelola emosinya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.