Pameran Propaganda: Official Hoax Dibuka, Tampilkan Fragmen & Sejarah Propaganda RI
23 August 2024 |
07:46 WIB
Pameran Propaganda: Official Hoax resmi dibuka di Yayasan Riset Visual Matawaktu, Jakarta. Ajang seni ini dihelat untuk menyambut bulan kemerdekaan dengan mengusung jargon Merdeka di Fatma, yang berlangsung pada 22 Agustus sampai 7 September 2024.
Propaganda: Official Hoax menampilkan ratusan arsip propaganda sejarah, fotografi, dan karya-karya terbaru yang merespon arsip tersebut dalam bentuk cukil dan poster. Beberapa seniman yang terlibat adalah RW Mulyadi, Alit Ambara, Digie Sigit, Graphic Victims, Diky Halim, dan Andi Ari Setiadi.
Pendiri Yayasan Matawaktu, Oscar Motuloh mengatakan, pameran kali ini menampilkan beberapa karya yang mewakili respon terhadap sebuah zaman atau rezim. Oleh karena itu, salah satu bentuk pendekatan benang merahnya adalah mengambil secuplik-secuplik peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau.
Baca juga: Provokasi Visual Justian Jafin dalam Pameran Bara Beku Tetes Tandus di Nadi Gallery
Citraan itu pun terefleksi dari berbagai poster propaganda yang dilakukan berbagai negara di di masa lalu. Misalnya rezim Nazi Jerman, lewat Menteri Propaganda dan Penerangan Publik, Joseph Goebbels membangun citra Hitler sebagai pemimpin yang karismatik, dan berhasil mengendalikan media informasi.
Konsep ini diduplikasi ulang oleh Jepang, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Padahal, tujuan utama mereka adalah untuk mengendalikan dan memanipulasi masyarakat guna memuluskan perang Jepang di kawasan Asia-Pasifik. Ini salah satunya disebarkan lewat propaganda, bahwa Jepang merupakan Saudara Tua dari rakyat Indonesia.
Kendati begitu, pembuatan grafiti dan mural di tembok-tembok tersebut akhirnya juga memberi inspirasi seniman dan perupa perang pada era tersebut. Beberapa di antaranya yang tergabung di kelompok perupa indie Seniman Indonesia Muda (SIM), atau Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang ada di Yogyakarta.
Momen inilah yang menurut Oscar menjadi bentuk serangan balik, yakni ketika para seniman (rakyat) akhirnya juga melakukan propaganda perlawan terhadap fasisme Jepang dan Belanda. Salah satunya dengan menyebarkan pamflet-pamflet penyemangat, serta teguh bersatu untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia, saat Agresi Militer II pada 1948.
"Refleksi dari pameran ini adalah bahwa suara rakyat adalah untuk terus kritis terhadap hoaks. Karena hoaks dalam ekshibisi ini merujuk pada sebuah ungkapan atau propaganda-propaganda yang dilakukan oleh [elite] politik, ini bisa negara atau apapun," katanya.
Selaras, Gunawan Wijaya, salah satu pendiri Yayasan Matawaktu mengatakan, dalam sejarahnya propaganda memang kerap digunakan oleh berbagai institusi. Oleh karena itu lewat pameran ini dia berharap publik memahami dan merespon dengan baik bahwa propaganda juga masih terus berlangsung hingga sekarang.
Gunawan mencontohkan, jika dulu propaganda dilakukan lewat poster, pamflet atau selebaran berita, tapi saat ini mediumnya telah berubah. Alih-alih menggunakan material lama tersebut, institusi yang bersangkutan menggunakan media sosial sebagai pintu utama untuk melakukan propaganda.
"Kampanye Pemilu kemarin kan juga menggunakan jargon-jargon dan bahasa-bahasa yang sifatnya merayu. Seorang jendral yang dulu terkenal garang, tiba-tiba bisa terlihat gemoy. Ini kan propaganda juga, yang sayangnya publik tidak melihat sejarahnya," katanya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
Alih-alih hanya menduplikasi dalam medium berbeda, seniman jebolan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) angkatan pertama itu memberi tulisan 'Sekali Merdeka, Basmi Nepotisme!', dan 'Tanpa Korupsi, Tetap Merdeka!' dalam karya berjudul Wasiat Pemimpin 1, dan Wasiat pemimpin 2, yang bertarikh 2024.
"Ini persoalan kekinian, dan kondisi perpolitikan hari ini. Inspirasi ini datang tiba-tiba. Karena profesi saya memang printmaker, karya ini dibuat tanpa membutuhkan waktu yang lama. Ini 3-4 hari selesai," katanya.
Lain lagi Alit Ambara, yang memacak dua karya poster sarkastik sebagai respon pada pelanggaran HAM, yang terjadi sejak era 1966, hingga gerakan Reformasi berhasil menjungkalkan presiden daripada Soeharto. Itu diungkapnya lewat karya berjudul NKRI Harga Nego (2011), dan Ingatan Kami (2010), yang menggambarkan label harga di ujung moncong senjata dan sosok jendral terbalik.
Ada pula karya Diky Halim yang merespon karya-karya arsip dari karya seniman pejuang djawatan Penerangan Kepanewon Galur, Kulon Progo pimpinan Noor Efendi. Menurut Oscar, arsip-arsip tersebut sebelumnya menjadi koleksi yang disimpan oleh Museum Perjuangan, yang kemudian digabungkan dalam satu buku dan disimpan di Museum Vredeburg, Yogyakarta.
Salah satunya yaitu lewat karya berjudul Bagaimana Perasaan Tuan! (1949) yang menggambarkan seorang Belanda bertopi membungkuk bertanda bendera triwarna, dan diinjak oleh sebuah kaki tentara Hitler dengan tanda swastika. Saat itu, poster ini dibuat agar masyarakat tetap setia pada Republik Indonesia, dan tidak bekerjasama dengan Belanda.
Sementara itu, Digie Sigit membuat poster tentang anak-anak Palestina, yang menurut Oscar merupakan sebuah respon terhadap universalitas humanisme yang menjadi korban perang. Padahal, jika merujuk pada Undang-undang, kemerdekaan adalah milik segala bangsa, dan penjajahan (kolonialisme) harus dimusnahkan.
"Baik penjajahan itu entah di Palestina, entah itu di Ukraina, entah itu di Bangladesh, dan juga jangan lupa.. di Papua," katanya.
Baca juga: Catatan Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia dalam Pameran Two Nations: A Friendship is Born
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Propaganda: Official Hoax menampilkan ratusan arsip propaganda sejarah, fotografi, dan karya-karya terbaru yang merespon arsip tersebut dalam bentuk cukil dan poster. Beberapa seniman yang terlibat adalah RW Mulyadi, Alit Ambara, Digie Sigit, Graphic Victims, Diky Halim, dan Andi Ari Setiadi.
Pendiri Yayasan Matawaktu, Oscar Motuloh mengatakan, pameran kali ini menampilkan beberapa karya yang mewakili respon terhadap sebuah zaman atau rezim. Oleh karena itu, salah satu bentuk pendekatan benang merahnya adalah mengambil secuplik-secuplik peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau.
Baca juga: Provokasi Visual Justian Jafin dalam Pameran Bara Beku Tetes Tandus di Nadi Gallery
Salah satu propaganda Jepang pada zaman penjajahan dan kemerdekaan RI di pameran Propaganda:Official Hoax (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Konsep ini diduplikasi ulang oleh Jepang, untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Padahal, tujuan utama mereka adalah untuk mengendalikan dan memanipulasi masyarakat guna memuluskan perang Jepang di kawasan Asia-Pasifik. Ini salah satunya disebarkan lewat propaganda, bahwa Jepang merupakan Saudara Tua dari rakyat Indonesia.
Kendati begitu, pembuatan grafiti dan mural di tembok-tembok tersebut akhirnya juga memberi inspirasi seniman dan perupa perang pada era tersebut. Beberapa di antaranya yang tergabung di kelompok perupa indie Seniman Indonesia Muda (SIM), atau Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang ada di Yogyakarta.
Momen inilah yang menurut Oscar menjadi bentuk serangan balik, yakni ketika para seniman (rakyat) akhirnya juga melakukan propaganda perlawan terhadap fasisme Jepang dan Belanda. Salah satunya dengan menyebarkan pamflet-pamflet penyemangat, serta teguh bersatu untuk tetap mempertahankan kemerdekaan Indonesia, saat Agresi Militer II pada 1948.
"Refleksi dari pameran ini adalah bahwa suara rakyat adalah untuk terus kritis terhadap hoaks. Karena hoaks dalam ekshibisi ini merujuk pada sebuah ungkapan atau propaganda-propaganda yang dilakukan oleh [elite] politik, ini bisa negara atau apapun," katanya.
Pengunjung menikmati pameran Propaganda:Official Hoax di Yayasan Riset Visual Matawaktu. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Gunawan mencontohkan, jika dulu propaganda dilakukan lewat poster, pamflet atau selebaran berita, tapi saat ini mediumnya telah berubah. Alih-alih menggunakan material lama tersebut, institusi yang bersangkutan menggunakan media sosial sebagai pintu utama untuk melakukan propaganda.
"Kampanye Pemilu kemarin kan juga menggunakan jargon-jargon dan bahasa-bahasa yang sifatnya merayu. Seorang jendral yang dulu terkenal garang, tiba-tiba bisa terlihat gemoy. Ini kan propaganda juga, yang sayangnya publik tidak melihat sejarahnya," katanya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
Karya Unik & Satir
Selain merekam renik-renik sejarah propaganda dalam bentuk arsip foto, dan poster, pameran ini juga menghadirkan karya-karya unik dan satir. Seniman RW Mulyadi, misalnya merespons dua foto Mendur Bersaudara yang memotret sosok Bung Hatta dan Bung Karno dengan karya cukil yang direfleksikan ke situasi politik hari ini.Alih-alih hanya menduplikasi dalam medium berbeda, seniman jebolan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) angkatan pertama itu memberi tulisan 'Sekali Merdeka, Basmi Nepotisme!', dan 'Tanpa Korupsi, Tetap Merdeka!' dalam karya berjudul Wasiat Pemimpin 1, dan Wasiat pemimpin 2, yang bertarikh 2024.
"Ini persoalan kekinian, dan kondisi perpolitikan hari ini. Inspirasi ini datang tiba-tiba. Karena profesi saya memang printmaker, karya ini dibuat tanpa membutuhkan waktu yang lama. Ini 3-4 hari selesai," katanya.
Lain lagi Alit Ambara, yang memacak dua karya poster sarkastik sebagai respon pada pelanggaran HAM, yang terjadi sejak era 1966, hingga gerakan Reformasi berhasil menjungkalkan presiden daripada Soeharto. Itu diungkapnya lewat karya berjudul NKRI Harga Nego (2011), dan Ingatan Kami (2010), yang menggambarkan label harga di ujung moncong senjata dan sosok jendral terbalik.
Seniman RW Mulyadi berpose dengan karyanya di pameran Propaganda:Official Hoax pada Kamis, (22/8/24). (sumber gambar: Hypeabis.id/Abdurachman)
Salah satunya yaitu lewat karya berjudul Bagaimana Perasaan Tuan! (1949) yang menggambarkan seorang Belanda bertopi membungkuk bertanda bendera triwarna, dan diinjak oleh sebuah kaki tentara Hitler dengan tanda swastika. Saat itu, poster ini dibuat agar masyarakat tetap setia pada Republik Indonesia, dan tidak bekerjasama dengan Belanda.
Sementara itu, Digie Sigit membuat poster tentang anak-anak Palestina, yang menurut Oscar merupakan sebuah respon terhadap universalitas humanisme yang menjadi korban perang. Padahal, jika merujuk pada Undang-undang, kemerdekaan adalah milik segala bangsa, dan penjajahan (kolonialisme) harus dimusnahkan.
"Baik penjajahan itu entah di Palestina, entah itu di Ukraina, entah itu di Bangladesh, dan juga jangan lupa.. di Papua," katanya.
Baca juga: Catatan Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia dalam Pameran Two Nations: A Friendship is Born
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.