Pentas Buku Foto: Memaknai Keragaman Realitas Lewat Visual Fotografi
08 February 2024 |
20:00 WIB
Bagi generasi 90-an, menikmati buku album foto, bukan sesuatu yang asing. Potret keluarga, kenangan masa silam, hingga bau kertas foto yang lengket dengan lembar plastik, menjadi suatu momen yang kini jarang ditemui dalam lembaran arsip ingatan kita yang pendek.
Zaman bergulir, album fotografi lindap dalam memori gawai. Media sosial meruyak, menjelma ruang interaksi baru untuk berbagi visual dan pengalaman. Hanya dengan menggulirkan jempol, seseorang bisa melipat jarak dan kenangan, semudah mata berkedip atau menekan tombol suka.
Baca juga: Kala Taruntum, Pameran Reuni Seniman ISI Yogyakarta Angkatan 1993 Berlangsung di Jakarta
Namun, pengalaman visual yang diberikan gawai tentu berbeda dengan buku foto. Ada keterbatasan perangkat, ukuran foto yang beragam, hingga tekstur kertas yang dapat dipegang. Semuanya, seolah memberi nuansa 'untuk mengalami'realitas yang diabadikan secara lebih konkrit.
Momen inilah, yang Hypeabis.id rasakan saat menikmati Pentas Buku Foto di yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, (7/2/2024). Menghadirkan puluhan buku foto pilihan empat kurator muda, pengunjung seolah diajak memasuki dunia imajiner mata fotografer dunia yang tak terbatas.
Misalnya, lewat buku foto Ulang Tahun ke-6 karya Ageng P. Galih. Lewat buku tipis terbitan 2023 itu, pengunjung diajak memasuki arsip foto sang pelaku lewat ucapan-ucapan ulang tahun dari keluarga. Momen ini pun tak ayal membangkitkan kenangan pada pembaca, untuk mengenal diri kembali mereka saat kecil.
Momen kolektif juga dihadirkan lewat Photozine Remember Me karya Arif Sahroni. Mengimak, alias meniru surat suara Pemilu, sang penulis mengumpulkan foto tentang stiker iklan-iklan pemilihan umum di jalanan Kota Bandung pada 2017, beserta janji-janji palsu para politikusnya.
Dalam bentangan sejarah yang acapkali suram, pengunjung akan dibuat takjub lewat proyek visual karya seniman Jan Banning. Fotografer asal Belanda itu, mendedah sisi lain konflik bersenjata, lewat mata dan raut wajah perempuan korban kekerasan seksual (jugun ianfu) selama Perang Dunia II.
Terbit pada 2010, dalam buku ini terdapat 18 orang penyintas, yang mendobrak tabu untuk angkat bicara mengenai sisi lain perang. Ditampilkan dalam kombinasi dengan poster perang Jepang, buku ini menampilkan sisi laki-laki dan perempuan, serta propaganda versus kenyataan, di mana rakyat selalu menjadi korban.
Octa Christi, salah satu kurator dari mataWaktu mengatakan, pameran ini dihelat untuk memasyarakatkan fotografi dan buku foto agar bisa diapresiasi lebih luas oleh publik. Selain itu, program perdana ini juga ingin memberikan sudut pandang dunia fotografi dari kacamata perempuan, saat memilih buku-buku yang dihadirkan.
"Sudut pandang perempuan itu jarang dilihat di [masyarakat] kita. Ini yang mau kita naikkan dalam pameran ini. Karena sekarang tahun politik, kita kombinasikan juga dengan buku visual, terutama terkait protes visual karya para pewarta foto," katanya.
Pendiri Yayasan Riset Visual mataWaktu, Oscar Motuloh mengatakan, proses pemilihan buku-buku fotografi yang dipacak merupakan hasil kurasi personal dari empat dewan kuratorium. Berkolaborasi dengan Gueari Galeri, para kurator itu adalah Grace Anata, Kurnia Yaumil, Fajar Caron Toshiko, dan Octa Christi.
Pementasan buku foto tersebut diharap dapat membuat generasi muda kembali antusias melihat artefak dunia fotografi. Pola ini selain itu juga bertujuan untuk memberikan sudut pandang alternatif agar anak-anak muda dapat melihat produk fotografi secara langsung, dalam bentuk fisik karya dari fotografer terkenal.
"Media sosial itu tidak salah. Tapi saya harap perangkat tersebut jadi pintu masuk untuk melihat sesuatu yang nyata. Dan alangkah lebih serunya saat kita bisa melihat sesuatu dari sumber utamanya [buku] atau karya fotografi," katanya.
Apa yang disampaikan fotografer senior itu memang bukan isapan jempol semata. Sebab, dalam pameran ini, pengunjung akan mengalami secara langsung sudut pandang para kurator dalam merefleksikan realitas melalui lima tema yang hadir dan menjadi sajian utama untuk dicerap oleh publik.
Misalnya, Caron Toshiko, akan membawa kita dalam perjalanan memulihkan narasi gender, seksualitas, dan hak reproduksi lewat sepilihan karya buku foto yang telah dikurasi. Seperti lewat buku foto berjudul Undo Motherhood, The Institute of Sexology, dan Aphroditus Diary.
Ada pula sepilihan buku kurator dari Grace Ananta yang memvisualkan identitas kolektif terhadap kesadaran dan identifikasi diri. Misalnya lewat buku karya Ridha Budiana berjudul Lack of Measurement, yang mengeksplorasi batasan-batasan ideal mengenai tubuh yang direpresentasikan dunia industri dan media.
Keunikan lain dari pameran ini adalah menghadirkan 15 buku foto dummy pemenang Hong Kong Dummy Award 2023, hasil kerjasama dengan Hong Kong Photobook Festival. Selain itu, dihadirkan juga acara musikalisasi buku foto hingga peluncuran buku foto oleh Dhika Prabowo, Baskara Puraga, dan Krisna ‘Ncis’ Satmoko.
Baca juga: Pameran Kartorupa, Saat Kartografi & Seni Melebur dalam Estetika Peta
Editor: Dika Irawan
Zaman bergulir, album fotografi lindap dalam memori gawai. Media sosial meruyak, menjelma ruang interaksi baru untuk berbagi visual dan pengalaman. Hanya dengan menggulirkan jempol, seseorang bisa melipat jarak dan kenangan, semudah mata berkedip atau menekan tombol suka.
Baca juga: Kala Taruntum, Pameran Reuni Seniman ISI Yogyakarta Angkatan 1993 Berlangsung di Jakarta
Namun, pengalaman visual yang diberikan gawai tentu berbeda dengan buku foto. Ada keterbatasan perangkat, ukuran foto yang beragam, hingga tekstur kertas yang dapat dipegang. Semuanya, seolah memberi nuansa 'untuk mengalami'realitas yang diabadikan secara lebih konkrit.
Momen inilah, yang Hypeabis.id rasakan saat menikmati Pentas Buku Foto di yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, (7/2/2024). Menghadirkan puluhan buku foto pilihan empat kurator muda, pengunjung seolah diajak memasuki dunia imajiner mata fotografer dunia yang tak terbatas.
Misalnya, lewat buku foto Ulang Tahun ke-6 karya Ageng P. Galih. Lewat buku tipis terbitan 2023 itu, pengunjung diajak memasuki arsip foto sang pelaku lewat ucapan-ucapan ulang tahun dari keluarga. Momen ini pun tak ayal membangkitkan kenangan pada pembaca, untuk mengenal diri kembali mereka saat kecil.
Sepilhan buku fotografi dalam acara Pentas Buku Foto di Yayasan mataWaktu (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Dalam bentangan sejarah yang acapkali suram, pengunjung akan dibuat takjub lewat proyek visual karya seniman Jan Banning. Fotografer asal Belanda itu, mendedah sisi lain konflik bersenjata, lewat mata dan raut wajah perempuan korban kekerasan seksual (jugun ianfu) selama Perang Dunia II.
Terbit pada 2010, dalam buku ini terdapat 18 orang penyintas, yang mendobrak tabu untuk angkat bicara mengenai sisi lain perang. Ditampilkan dalam kombinasi dengan poster perang Jepang, buku ini menampilkan sisi laki-laki dan perempuan, serta propaganda versus kenyataan, di mana rakyat selalu menjadi korban.
Octa Christi, salah satu kurator dari mataWaktu mengatakan, pameran ini dihelat untuk memasyarakatkan fotografi dan buku foto agar bisa diapresiasi lebih luas oleh publik. Selain itu, program perdana ini juga ingin memberikan sudut pandang dunia fotografi dari kacamata perempuan, saat memilih buku-buku yang dihadirkan.
"Sudut pandang perempuan itu jarang dilihat di [masyarakat] kita. Ini yang mau kita naikkan dalam pameran ini. Karena sekarang tahun politik, kita kombinasikan juga dengan buku visual, terutama terkait protes visual karya para pewarta foto," katanya.
Kurasi Personal
Pendiri Yayasan Riset Visual mataWaktu, Oscar Motuloh mengatakan, proses pemilihan buku-buku fotografi yang dipacak merupakan hasil kurasi personal dari empat dewan kuratorium. Berkolaborasi dengan Gueari Galeri, para kurator itu adalah Grace Anata, Kurnia Yaumil, Fajar Caron Toshiko, dan Octa Christi. Pementasan buku foto tersebut diharap dapat membuat generasi muda kembali antusias melihat artefak dunia fotografi. Pola ini selain itu juga bertujuan untuk memberikan sudut pandang alternatif agar anak-anak muda dapat melihat produk fotografi secara langsung, dalam bentuk fisik karya dari fotografer terkenal.
"Media sosial itu tidak salah. Tapi saya harap perangkat tersebut jadi pintu masuk untuk melihat sesuatu yang nyata. Dan alangkah lebih serunya saat kita bisa melihat sesuatu dari sumber utamanya [buku] atau karya fotografi," katanya.
Sepilhan buku fotografi dalam acara Pentas Buku Foto di Yayasan mataWaktu (sumber gambar Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Misalnya, Caron Toshiko, akan membawa kita dalam perjalanan memulihkan narasi gender, seksualitas, dan hak reproduksi lewat sepilihan karya buku foto yang telah dikurasi. Seperti lewat buku foto berjudul Undo Motherhood, The Institute of Sexology, dan Aphroditus Diary.
Ada pula sepilihan buku kurator dari Grace Ananta yang memvisualkan identitas kolektif terhadap kesadaran dan identifikasi diri. Misalnya lewat buku karya Ridha Budiana berjudul Lack of Measurement, yang mengeksplorasi batasan-batasan ideal mengenai tubuh yang direpresentasikan dunia industri dan media.
Keunikan lain dari pameran ini adalah menghadirkan 15 buku foto dummy pemenang Hong Kong Dummy Award 2023, hasil kerjasama dengan Hong Kong Photobook Festival. Selain itu, dihadirkan juga acara musikalisasi buku foto hingga peluncuran buku foto oleh Dhika Prabowo, Baskara Puraga, dan Krisna ‘Ncis’ Satmoko.
Baca juga: Pameran Kartorupa, Saat Kartografi & Seni Melebur dalam Estetika Peta
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.