Provokasi Visual Justian Jafin dalam Pameran Bara Beku Tetes Tandus di Nadi Gallery
21 August 2024 |
15:21 WIB
Seniman muda Justian Jafin menggelar pameran tunggal bertajuk Bara Beku Tetes Tandus di Nadi Gallery, Jakarta. Pameran ini berlangsung pada 20 Agustus-15 September 2024 dengan menampilkan puluhan karya terbaru Jafin dalam berbagai ukuran.
Bara Beku Tetes Tandus dipilih menjadi judul pameran bukan tanpa alasan. Ihwal tajuk yang diusung, pilihan itu diambil dari berbagai tulisan sang seniman yang digoreskan di atas kanvas setelah menorehkan purwarupa warna, simbol, dan petanda untuk dibagikan ke publik.
Memasuki galeri, pengunjung akan disambut lukisan berjudul Tumbuh dan Kembang #1 dan #02 (acrylic on canvas 100x100 cm). Karya bertarikh 2024 yang berada di kedua ujung tangga ini menggambarkan bentuk-bentuk kontrasitas dari penggunaan warna dan objek lukisan.
Tumbuh dan Kembang #1 melukiskan pohon kaktus gigantik yang tumbuh subur dataran bersalju. Padahal, kaktus umumnya hanya dapat tumbuh di wilayah tropis dan sub tropis. Namun, sang seniman melukiskannya dalam situasi berbeda, di mana tumbuhan berduri ini juga menghasilkan bunga warna-warni.
Baca juga: Catatan Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia dalam Pameran Two Nations: A Friendship is Born
Masih menggunakan pola yang sama, pada lukisan Tumbuh dan Kembang #2, sang seniman mengimak pohon pinus raksasa yang tumbuh di dataran gurun. Tumbuhan paku ini tampak teraklimatisasi dengan baik, di lingkungan yang seharusnya bukan tempatnya tumbuh. Bahkan menghasilkan berbagai jenis bunga dari varietas lain.
Tiba di lantai dua, mata pengunjung akan disergap puluhan lukisan penuh warna, dengan bentuk yang tajam, dan kontras. Ini salah satunya terefleksi dalam dua karya yang menjadi benang merah dari seteleng Jafin ini, yakni keluarga, sebagai pondasi awal seseorang mengenal dunia sekitar. Tabula rasa jika meminjam istilah psikologi pendidikan.
Misalnya dalam lukisan Darah Daging Buah Hati-Mimpi Masyarakat Tropis #1 dan #2 (acrylic on canvas 160x200 cm, 2024). Tampak ledang, kedua lukisan tersebut menggambarkan sebuah keluarga yang berpose untuk difoto dengan berbusana lengkap mengenakan baju terbaik mereka. Perempuan berkain sari, lelaki mengenakan setelan jas. Semuanya tampil sempurna.
Pose-pose seperti ini, dalam realitasnya juga kerap dijumpai di ruang tamu kalangan menengah yang ingin menunjukkan bahwa keluarga mereka [masih?] baik-baik saja. Menjadi semacam harapan, juga ironi, dan paradoks-paradoks yang menyertainya. Di tengah gempuran cicilan rumah atau bayar kontrakan, SPP, hingga kredit gawai terbaru dan termutakhir.
Uniknya, sang seniman juga masih menghadirkan petanda-petanda dari dunia luar 'tropical family' itu. Hal itu ditampilkan dengan menghamparkan dunia yang mulai terlipat. Di sana kaktus tumbuh di ruang tamu, berdampingan dengan pisang, serta beralaskan salju, yang seolah menjadi nubuat? Atau sebuah keniscayaan di tengah derasnya arus informasi dan perubahan iklim?
Hasrat tersebut tentu merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat Indonesia. Sebab, menurut laporan Bank Dunia pada 2020, satu dari lima masyarakat Indonesia merupakan kelas menengah. Jumlah kelompok ini mencapai 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk, yang sebagian besar menghuni kota-kota besar.
Walakin, provokasi Jafin sepertinya tidak berhenti di situ. Laiknya pencipta sanepan dalam masyarakat Jawa, seniman jebolan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta itu juga membuat bahasa-bahasa rupa kiasan dari objek yang dilukis. Kelimun keluarga atau sosok-sosok tersebut wajahnya meleleh, bahkan diganti pepaya atau tertutupi setandan pisang yang mewakili keluarga tropis
Beranjak ke sisi lain, Genhype juga akan bersitatap dengan tegangan-tegangan lain, seperti benturan budaya, dan gap culture di tengah koar-koar bonus demografi. Namun, masih menggunakan idiomatika keluarga sebagai inspirasi, Jafin juga menempatkan term tersebut sebagai sumber masalah sekaligus solusi di tengah persoalan yang semakin centang perenang itu.
"Kalau melihat di Indonesia sekarang, faktor dari 'luar' itu sudah sangat jauh merasuk, ke lini paling mendasar, yakni keluarga. Yang terjadi adalah saat kita terlalu tercerabut akarnya secara keseluruhan ini akan menjadi hal yang krusial untuk terus dipersoalkan," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Kurator Suwarno Wisetrotomo mengatakan, karya-karya Jafin dalam ekshibisi ini memang bukan menjadi formulasi atau menjawab permasalahan yang kompleks tersebut. Akan tetapi sebagai bentuk refleksi untuk membangun pertahanan yang berdaya tahan (resiliensi) pada publik agar kembali menengok pada akar yang selama ini membentuk identitas mereka di tengah dunia simulakra ini.
"Dengan kata lain, lukisan Jafin merupakan provokasi visual, yang kadang meratap, kadang lucu, kadang nyinyir, kadang satir, dan kadang berharap," tuturnya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Bara Beku Tetes Tandus dipilih menjadi judul pameran bukan tanpa alasan. Ihwal tajuk yang diusung, pilihan itu diambil dari berbagai tulisan sang seniman yang digoreskan di atas kanvas setelah menorehkan purwarupa warna, simbol, dan petanda untuk dibagikan ke publik.
Memasuki galeri, pengunjung akan disambut lukisan berjudul Tumbuh dan Kembang #1 dan #02 (acrylic on canvas 100x100 cm). Karya bertarikh 2024 yang berada di kedua ujung tangga ini menggambarkan bentuk-bentuk kontrasitas dari penggunaan warna dan objek lukisan.
Tumbuh dan Kembang #1 melukiskan pohon kaktus gigantik yang tumbuh subur dataran bersalju. Padahal, kaktus umumnya hanya dapat tumbuh di wilayah tropis dan sub tropis. Namun, sang seniman melukiskannya dalam situasi berbeda, di mana tumbuhan berduri ini juga menghasilkan bunga warna-warni.
Baca juga: Catatan Hubungan Diplomatik Indonesia-Australia dalam Pameran Two Nations: A Friendship is Born
Lukisan Tumbuh dan Kembang #1 (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Tiba di lantai dua, mata pengunjung akan disergap puluhan lukisan penuh warna, dengan bentuk yang tajam, dan kontras. Ini salah satunya terefleksi dalam dua karya yang menjadi benang merah dari seteleng Jafin ini, yakni keluarga, sebagai pondasi awal seseorang mengenal dunia sekitar. Tabula rasa jika meminjam istilah psikologi pendidikan.
Misalnya dalam lukisan Darah Daging Buah Hati-Mimpi Masyarakat Tropis #1 dan #2 (acrylic on canvas 160x200 cm, 2024). Tampak ledang, kedua lukisan tersebut menggambarkan sebuah keluarga yang berpose untuk difoto dengan berbusana lengkap mengenakan baju terbaik mereka. Perempuan berkain sari, lelaki mengenakan setelan jas. Semuanya tampil sempurna.
Pose-pose seperti ini, dalam realitasnya juga kerap dijumpai di ruang tamu kalangan menengah yang ingin menunjukkan bahwa keluarga mereka [masih?] baik-baik saja. Menjadi semacam harapan, juga ironi, dan paradoks-paradoks yang menyertainya. Di tengah gempuran cicilan rumah atau bayar kontrakan, SPP, hingga kredit gawai terbaru dan termutakhir.
Uniknya, sang seniman juga masih menghadirkan petanda-petanda dari dunia luar 'tropical family' itu. Hal itu ditampilkan dengan menghamparkan dunia yang mulai terlipat. Di sana kaktus tumbuh di ruang tamu, berdampingan dengan pisang, serta beralaskan salju, yang seolah menjadi nubuat? Atau sebuah keniscayaan di tengah derasnya arus informasi dan perubahan iklim?
Lukisan Darah Daging Buah Hati-Mimpi Masyarakat Tropis #1 (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Walakin, provokasi Jafin sepertinya tidak berhenti di situ. Laiknya pencipta sanepan dalam masyarakat Jawa, seniman jebolan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta itu juga membuat bahasa-bahasa rupa kiasan dari objek yang dilukis. Kelimun keluarga atau sosok-sosok tersebut wajahnya meleleh, bahkan diganti pepaya atau tertutupi setandan pisang yang mewakili keluarga tropis
Beranjak ke sisi lain, Genhype juga akan bersitatap dengan tegangan-tegangan lain, seperti benturan budaya, dan gap culture di tengah koar-koar bonus demografi. Namun, masih menggunakan idiomatika keluarga sebagai inspirasi, Jafin juga menempatkan term tersebut sebagai sumber masalah sekaligus solusi di tengah persoalan yang semakin centang perenang itu.
"Kalau melihat di Indonesia sekarang, faktor dari 'luar' itu sudah sangat jauh merasuk, ke lini paling mendasar, yakni keluarga. Yang terjadi adalah saat kita terlalu tercerabut akarnya secara keseluruhan ini akan menjadi hal yang krusial untuk terus dipersoalkan," katanya saat ditemui Hypeabis.id.
Kurator Suwarno Wisetrotomo mengatakan, karya-karya Jafin dalam ekshibisi ini memang bukan menjadi formulasi atau menjawab permasalahan yang kompleks tersebut. Akan tetapi sebagai bentuk refleksi untuk membangun pertahanan yang berdaya tahan (resiliensi) pada publik agar kembali menengok pada akar yang selama ini membentuk identitas mereka di tengah dunia simulakra ini.
"Dengan kata lain, lukisan Jafin merupakan provokasi visual, yang kadang meratap, kadang lucu, kadang nyinyir, kadang satir, dan kadang berharap," tuturnya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.