Menyingkap Imaji Sejarah Lewat Visual Fotografi di Matawaktu
07 February 2023 |
11:00 WIB
Imaji visual bangsa Indonesia banyak diabadikan dalam foto. Namun, riset mengenai sejarah foto jurnalistik masih jauh dari kata lengkap. Minimnya literasi sejarah bahkan seringkali membuat periset kesulitan mengidentifikasi karya-karya pewarta foto di masa lalu.
Tak hanya itu, bahkan foto-foto ilustrasi sejarah bangsa seringkali tidak sesuai fakta yang sebenarnya, dan kerap menimbulkan kerancuan di masyarakat. Padahal, keberadaan dokumen tersebut adalah jalan masuk utama untuk menelusuri kisah dan kondisi di masa lalu.
Berawal dari sanalah sejumlah pewarta senior Indonesia berinisiatif mendirikan yayasan yang bergerak di bidang riset visual bernama Matawaktu. Organisasi nirlaba ini mengemban misi penelitian, pengarsipan, dan publikasi terkait seni visual, khususnya fotografi.
Baca juga: Menguak Tabir Foto-Foto Revolusi & Triumvirat di Yayasan Matawaktu
"Kami memang sering riset foto, tapi selalu kesulitan menemukan nama [objek], karya siapa, dan sumbernya nggak jelas. Pun kalau nyari [data] kami meski ke Belanda," papar Gunawan Wijaya, salah satu pendiri Yayasan Matawaktu pada Hyepabis.id.
Yayasan yang berdiri pada 2019 ini selain diprakarsai oleh Gunawan, berhasil diwujudkan berkat gagasan pebisnis Benny Soetrisno (pembina), fotografer senior Oscar Motuloh (pembina), penata artistik dan sutradara Jay Subyakto (pengawas), Octa Christi (pengurus), dan Rika Panda Pardede (pengurus).
Adapun, Matawaktu merupakan perpaduan dua kata, yaitu mata dan waktu. Mata dalam hal ini mencakup semua hal terkait seni visual yang dapat terlihat oleh mata, bisa berupa fotografi, desain, sketsa, dan film. Sementara waktu mencakup seluruh rangkaian kejadian terkait peristiwa, sejarah, arsip, pustaka, dan jurnalistik di Indonesia.
Menurut Gunawan,Matawaktu akan terus melakukan kerja berkesinambungan dalam upaya pengarsipan terkait seni visual pada periode sebelum digital. Pasalnya, hingga saat ini masih belum banyak orang atau organisasi yang fokus untuk melakukan studi pustaka dan pencatatan terkait peristiwa sejarah pada era tersebut.
"Kami yakin bahwa harus mencatat dan mengarsipkan [seni visual] agar informasi [sejarah] jadi lebih jelas. Karena banyak hal yang menarik dari para pendahulu kita. Ini akan jadi kerja continue, dan pengarsipan itu jadi landasan utamanya," imbuh Gunawan.
Untuk mendukung upaya tersebut Matawaktu juga dilengkapi studi kepustakaan dengan total 6.000 judul buku mengenai seni visual terutama fotografi. Namun, dari jumlah tersebut baru sekitar 4.500 yang tercatat dalam katalog rinci. Selain itu, berbagai memorabilia, poster film, lukisan, cetakan foto, dan karya seni juga melengkapi sajian koleksi.
Sementara itu, Pendiri Yayasan Matawaktu, Oscar Motuloh berharap, keberadaan ruang riset dan studi kepustakan foto dapat memberikan pengalaman membaca buku secara langsung pada publik.
"Selama ini publik lebih banyak melihat buku[foto] secara digital. keberadaan [pustaka] ini diharapkan dapat membangkitkan masyarakat untuk kembali mencintai dan mengapresiasi karya foto jurnalistik sejarah," tutur Oscar.
Selain riset visual, ke depannya Matawaktu pun akan menggelar diskusi khusus mengenai kajian fotografi baik untuk pemula atau lanjutan dengan menghadirkan para pembicara yang ahli di bidangnya. Tentu, dengan hadirnya ruang baru ini bakal memperkaya khazanah kepustakaan dan penelitian mengenai dunia visual di Indonesia.
"Kami akan punya database besar mengenai visual Indonesia dan fotografi. Namun, saat ini kamimasih memfokuskan ke belakang mengenai sejarah fotografi dan Indonesia. Nantinya, hasil kajian itu akan dibagikan ke publik menggunakan bahasa visual juga," jelas Gunawan.
Tak hanya itu, bahkan foto-foto ilustrasi sejarah bangsa seringkali tidak sesuai fakta yang sebenarnya, dan kerap menimbulkan kerancuan di masyarakat. Padahal, keberadaan dokumen tersebut adalah jalan masuk utama untuk menelusuri kisah dan kondisi di masa lalu.
Berawal dari sanalah sejumlah pewarta senior Indonesia berinisiatif mendirikan yayasan yang bergerak di bidang riset visual bernama Matawaktu. Organisasi nirlaba ini mengemban misi penelitian, pengarsipan, dan publikasi terkait seni visual, khususnya fotografi.
Baca juga: Menguak Tabir Foto-Foto Revolusi & Triumvirat di Yayasan Matawaktu
"Kami memang sering riset foto, tapi selalu kesulitan menemukan nama [objek], karya siapa, dan sumbernya nggak jelas. Pun kalau nyari [data] kami meski ke Belanda," papar Gunawan Wijaya, salah satu pendiri Yayasan Matawaktu pada Hyepabis.id.
Yayasan yang berdiri pada 2019 ini selain diprakarsai oleh Gunawan, berhasil diwujudkan berkat gagasan pebisnis Benny Soetrisno (pembina), fotografer senior Oscar Motuloh (pembina), penata artistik dan sutradara Jay Subyakto (pengawas), Octa Christi (pengurus), dan Rika Panda Pardede (pengurus).
Adapun, Matawaktu merupakan perpaduan dua kata, yaitu mata dan waktu. Mata dalam hal ini mencakup semua hal terkait seni visual yang dapat terlihat oleh mata, bisa berupa fotografi, desain, sketsa, dan film. Sementara waktu mencakup seluruh rangkaian kejadian terkait peristiwa, sejarah, arsip, pustaka, dan jurnalistik di Indonesia.
Menurut Gunawan,Matawaktu akan terus melakukan kerja berkesinambungan dalam upaya pengarsipan terkait seni visual pada periode sebelum digital. Pasalnya, hingga saat ini masih belum banyak orang atau organisasi yang fokus untuk melakukan studi pustaka dan pencatatan terkait peristiwa sejarah pada era tersebut.
"Kami yakin bahwa harus mencatat dan mengarsipkan [seni visual] agar informasi [sejarah] jadi lebih jelas. Karena banyak hal yang menarik dari para pendahulu kita. Ini akan jadi kerja continue, dan pengarsipan itu jadi landasan utamanya," imbuh Gunawan.
Untuk mendukung upaya tersebut Matawaktu juga dilengkapi studi kepustakaan dengan total 6.000 judul buku mengenai seni visual terutama fotografi. Namun, dari jumlah tersebut baru sekitar 4.500 yang tercatat dalam katalog rinci. Selain itu, berbagai memorabilia, poster film, lukisan, cetakan foto, dan karya seni juga melengkapi sajian koleksi.
Sementara itu, Pendiri Yayasan Matawaktu, Oscar Motuloh berharap, keberadaan ruang riset dan studi kepustakan foto dapat memberikan pengalaman membaca buku secara langsung pada publik.
"Selama ini publik lebih banyak melihat buku[foto] secara digital. keberadaan [pustaka] ini diharapkan dapat membangkitkan masyarakat untuk kembali mencintai dan mengapresiasi karya foto jurnalistik sejarah," tutur Oscar.
Selain riset visual, ke depannya Matawaktu pun akan menggelar diskusi khusus mengenai kajian fotografi baik untuk pemula atau lanjutan dengan menghadirkan para pembicara yang ahli di bidangnya. Tentu, dengan hadirnya ruang baru ini bakal memperkaya khazanah kepustakaan dan penelitian mengenai dunia visual di Indonesia.
"Kami akan punya database besar mengenai visual Indonesia dan fotografi. Namun, saat ini kamimasih memfokuskan ke belakang mengenai sejarah fotografi dan Indonesia. Nantinya, hasil kajian itu akan dibagikan ke publik menggunakan bahasa visual juga," jelas Gunawan.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.