Puluhan karya fotografi, kartun, grafis, esai, instalasi, dan syair mencoba merekam momen reformasi 25 tahun silam (sumber gambar/dok.mataWaktu)

Pameran Reformas!h In Absentia: Menyelami Momen-Momen Bersejarah Mei 1998

28 May 2023   |   15:30 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Like
Gerakan reformasi menyimpan banyak kisah. Tak hanya sebatas euforia menumbangkan  rezim Orde Baru, misi reformasi masih relevan dan akan terus berkelindan dalam narasi sejarah Indonesia. Pameran Reformas!h In Absentia memantik kembali elan tersebut yang kini tersingkir dalam gudang ingatan rezim.

Aura gerakan reformasi kembali menguar di ruang pameran Yayasan Riset Visual mataWaktu di Jakarta. Puluhan karya fotografi, kartun, grafis, esai, instalasi, dan syair mencoba merekam momen tersebut seiring lengsernya Orde Baru yang dipimpin daripada Presiden Soeharto.

Baca juga: Pameran Tunggal Fotografer Paul Kadarisman "Kuotie-dien", Menampilkan Keindahan dari Sesuatu yang Remeh

Berkuasa 32 tahun, momen tumbangnya The Smiling General itu terlihat dari kolase puluhan karya di papan sepanjang kurang lebih 10 meter. Aksi turunnya para mahasiswa dan aktivis ke jalan, kebrutalan aparat keamanan, hingga puing-puing sisa kerusuhan terpacak di bawah garis logam yang mengisyaratkan peta Indonesia.

Aroma gerakan menumbangkan rezim otoriter itu bahkan tercium hingga toilet. Di ruang paling privat ini, sebuah pamflet hitam karya Alit Ambara bertuliskan "MEI98" turut diletakkan di dekat kloset. Bercak merah dalam huruf "I" di tulisan itu seolah mengingatkan sejumlah insiden berdarah pada gerakan reformasi.

Reformasi memang pecah pada 1998, tapi bibit-bibit gerakannya sudah terjadi sejak lama. Hal itu ditandai dengan berbagai gelombang unjuk rasa menentang kebijakan pemerintahan Orba. Salah satunya terhadap kebebasan pers yang saat itu begitu kuat membungkam iklim demokrasi di Tanah Air.

Pembredelan tiga media massa pada 1994, yakni Tempo, Detik, dan Editor menjadi salah satu titik tolok gerakan ini. Sejumlah masyarakat pun turun ke jalan menolak pembredelan yang berhasil dijepret oleh pewarta foto Gino F Hadi,  di mana salah satu pengunjuk rasa membawa poster bertuliskan "Ketika Pers dibungkam, rakyat menjadi bodoh".

Jakarta, Juni 1994. Demonstrasi tolak pembredelan Tempo, Detik, dan Redaktur terekam oleh pewarta foto Gino F. Hadi.

Jakarta, Juni 1994. Demonstrasi tolak pembredelan Tempo, Detik, dan Redaktur terekam oleh pewarta foto Gino F. Hadi.

Dua tahun berselang, pendiri Tempo Goenawan Mohamad pun menghadiri sidang gugatan di Mahkamah Agung. Momen Goenawan saat dikerumuni sejumlah jurnalis sambil mengangkat tangan kiri saat disodori alat perekam oeh wartawan juga diabadikan oleh pewarta foto Kompas, Julian Sihombing. 

Beberapa karya ikonik Julian lainnya adalah foto seorang mahasiswi yang memberikan setangkai bunga pada aparat keamanan saat memblokade demonstrasi mahasiswa. Lalu, foto mahasisiwi bernama Rizky Rahmawati yang tergeletak di tepi jalan saat terjadi kerusuhan di depan Kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.

Aksi puluhan ribu massa mahasiswa se Jabodetabek saat melakukan long march, ke Gedung MPR/DPR juga terekam dalam karya foto Eddy Hasby dari Kompas. Mereka menuntut reformasi Indonesia, tapi di depan Polda Metro Jaya mahasiswa dihadang petugas,  bentrokan pun pecah dan menyisakan insiden berdarah.
 

 Jakarta, 12 November 1998. Puluhan ribu massa mahasiswa dan  pemuda seJabodetabek melakukan aksi long march ke gedung MPR/DPR berhasil diabadikan pewarta foto Eddy Hasby dari Kompas.

Jakarta, 12 November 1998. Puluhan ribu massa mahasiswa dan pemuda seJabodetabek melakukan aksi long march ke gedung MPR/DPR berhasil diabadikan pewarta foto Eddy Hasby dari Kompas.

Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998 . Posisinya lalu digantikan oleh wakilnya B.J Habibie yang memicu euforia ribuan mahasiswa yang masih berkumpul di Gedung DPR/MPR. Momen tersebut terekam dengan baik lewat karya foto pewarta Kemal Jufri.

Pendiri Yayasan Riset Visual mataWaktu Oscar Motuloh mengatakan, pameran Reformas!h In Absentia yang dihelat pada 17 Mei-17 Juni 2023 untuk mengingatkan kembali masa-masa saat Indonesia menjadi bagian dari otokrasi dan tirani Orba hingga reformasi bergolak di kalangan akar rumput. 

Seperempat abad setelah tumbangnya Orde Baru, buah tangan gerakan ini pun akhirnya bisa dinikmati masyarakat. Namun selera peradaban politik di Indonesia masih dekaden. Oleh karena itu misi reformasi masih relevan untuk terus digaungkan.

"Pameran ini bukan hanya nostalgia, tapi juga menjadi pengingat bagi generasi sekarang agar masa-masa kelam itu tidak terulang lagi," ujar Oscar. 

Selain karya dua dimensi, pameran ini juga memacak beberapa karya tiga dimensi dari Awan Simatupang. Perupa jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menghadirkan empat karya, termasuk instalasi senjata berjudul Eat Shit and Die dan patung kuda tanpa kepala bertajuk Dua Ekor.

Sekilas, dalam karya terakhir sang perupa seolah merespon fenomena politik di Indonesia yang stagnan. Dengan sandaran bagian empat kaki kuda yang terbuat dari kayu untuk kursi goyang, kuda tersebut juga hanya seolah bergerak di tempat. 

"Karya Awan ini dibuat pada 2017, waktu itu untuk merespon kondisi politik di Indonesia yang memang lagi panas dan merespon juga mengenai gerakan reformasi" papar Oscar.


Perjuangan Harus Berlanjut

Seperempat abad berjalan, reformasi masih menyisakan utang. Belum semua agenda yang dulunya digaungkan bisa diwujudkan. Misi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi salah satu tuntutan gerakan tersebut pun masih belum tuntas.

Budayawan Goenawan Mohamad mengungkap setiap kali peringatan reformasi selalu ada orang yang mengatakan ketidakpuasan. Menurutnya,  setiap perubahan memang selalu menghadirkan sesuatu yang baik, tapi tetap menyisakan kepahitan yang harus dilawan oleh masyarakat. 

"Selalu ada yang mengatakan, kok [reformasi] begini-begini saja. Sebetulnya itu juga tanda kita tidak rendah hati pada sejarah. Sebab, kita tidak bisa membentuk masa depan semau kita," papar Goenawan Mohamad.

 

Budayawan Goenawan Mohamad saat ditemui awak media pada rabu, (17/5/23)

Budayawan Goenawan Mohamad saat ditemui awak media pada Rabu, (17/5/23). Sumber gambar (Hypeabis.id/Prasetyo Agung)

Menurut Goenawan, orang yang mengatakan reformasi harus sesuai dengan konsep, artinya tidak pernah melakukan aksi. Sebab bekerjasama dalam pekerjaan besar selalu memerlukan negosiasi yang harus dirundingkan. 

"Bahkan terhadap  langkah-langkah yang diputuskan bersama, meski hasilnya tidak selalu memuaskan seperti apa yang kita kehendaki," ucapnya.

Reformasi juga telah menyemai sejumlah pencapaian, seperti kemerdekaan pers, pembatasan kekuasaan presiden, hingga jaminan hak-hak sipil. Namun, menurut Goenawan masih ada pekerjaan rumah yang harus dilanjutkan,  seperti elitisme di partai politik hingga pelemahan komisi pemberantasan korupsi (KPK) oleh parpol yang dulu diperjuangkan para aktivis.

"kita melihat orang terus berebut kekuasaan dan memuaskan ambisi mereka yang kadang menggelikan. Namun kita harus tetap merawat apa yang dilakukan para penggerak reformasi 25 tahun yang lalu," kata pria yang akrab disapa GM itu. 

Baca juga: Profil Goenawan Mohamad Penyair Multitalenta Indonesia

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

5 Tip Punya Badan Ideal dengan Weight Loss Management & Mindful Eating

BERIKUTNYA

Kenalkan Budaya Filipina ke Masyarakat, Pinoy Fiesta 2023 Dihelat di Jakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: