Sejuta Kisah di Balik Proses Berkarya Seniman Soyo Lee dan Syaiful Aulia
Pada era ini, batas-batas antardisiplin jadi makin cair. Persimpangan antara seni, sains, dan budaya pun makin lazim. Seniman kontemporer bak penjelajah, seperti ilmuwan pada masa lampau yang memetakan wilayah asing, mereka menggunakan karya seninya untuk menyelidiki misteri kehidupan.
Baca juga: Eksplorasi Unik Seniman Arin Sunaryo Berkarya dengan Material Resin
Seni rupa kontemporer pada akhirnya turut memberikan cara baru dalam memandang alam, seni, juga dunia kiwari. Keberadaannya kerap kali memunculkan perspektif, daya artistik, dan warna yang segar.
Soyo Lee dalam tangkapan Layar Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
Salah satu seniman yang karib mengungkai batas-batas antardisiplin adalah Soyo Lee. Seniman asal Korea Selatan ini dikenal memiliki minat personal pada sejarah biologi di negaranya, khususnya sistem pengetahuan di balik representasi visual dalam literatur sejarah alam.
Dalam proses kreatifnya di dunia seni, Soyo melandasinya dengan sebuah riset. Riset seninya sering kali diawali dengan tinjauan pustaka yang diperkaya dengan kerja lapangan.
Soyo bercerita salah satu riset terbarunya dalam membuat karya seni ialah tentang sampah. Dia tertarik dengan cara negaranya dan juga publik dalam melihat persoalan sampah.
Baca juga: Membumikan Karya Maestro S Sudjojono, dari Lukisan Bermetamorfosis ke Fesyen
Dulu, kata Soyo, ada banyak tempat pembuangan akhir (TPA) yang dibuat dengan serampangan. Setelah TPA penuh, tempat tersebut langsung ditimbun dengan tanah dan ditanami pohon. Tempat itu memang kembali hijau, tetapi masalah akarnya belum selesai.
Pasalnya, dalam sebuah penelitian di London, sampah-sampah itu tak semuanya terurai. Benar saja, dia pun mencoba membuktikannya. Bekerja sama dengan peneliti, Soyo mulai menggali lokasi-lokasi TPA yang ditimbun begitu saja.
Tangkapan Layar Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
Dia menggali tanah bekas TPA dengan pipa sepanjang 1 meter. Rupanya, butuh 18 pipa untuk sampai ke titik terbawah dari timbunan sampah tersebut. Ketika pipa-pipa itu diangkat, Soyo dan para peneliti menemukan tanah yang telah tercampur dengan sampah.
Dalam penelitiannya, ada banyak hal menarik. Selain tentu saja beragamnya sampah, rupanya di sela-sela sampah itu muncul beragam mikroorganisme yang mencoba mengurai beberapa jenis sampah di dalamnya. Soyo pun tertarik melihat hubungan manusia, sampah, alam, juga mikroorganisme dalam kehidupan saat ini.
Soyo mengatakan setelah penelitian selesai, sampah sisanya kemudian dimanfaatkan oleh dirinya untuk menjadi material di karya seninya. Hasilnya disajikan dalam bentuk instalasi yang dilengkapi dengan teks narasi, dokumen, dan spesimen biologi.
“Saya melakukannya dalam 2 tahun, penggaliannya pada 2021 dan saya memamerkannya pada 2023 lalu,” jelasnya dalam Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
Tangkapan Layar Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
Seni dan Riset Ilmiah
Tak hanya Soyo Lee, beberapa seniman lain juga melakukan hal serupa. Di Indonesia misalnya, ada nama Syaiful Aulia Garibaldi. Seniman kontemporer yang karib disapa Tepu ini juga kerap melandasi karya seni eksperimentalnya dengan penyelidikan ilmiah.Karya-karyanya berupa instalasi, lukisan, gambar, cetakan, dan video yang menampilkan unsur ilmiah, secara khusus menyoroti kekuatan mikroorganisme sebagai simbol kehidupan dan kematian.
Ciptaannya akan lingkungan yang imersif dipicu oleh minatnya pada sifat ekologi saling terhubung. Perpaduan antara seni dan sains melampaui karyanya dan membuka jalan bagi gerbang pengetahuan baru, yang diterangi dalam cetakan dan instalasinya.
Syaiful Aulia dalam tangkapan Layar Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
Salah satu penelitian seni terbarunya ialah ketika berkunjung ke Cisarua, Bandung. Di kawasan itu mayoritas masyarakat bermata pencaharian petani jamur. Baginya fenomena itu unik, meski Indonesia punya banyak jenis jamur, budidaya jamur sebenarnya belum terlalu lazim.
Dia pun menggali penelitiannya di sana. Satu hal menarik, jamur akhirnya juga turut jadi satu elemen penting ketahanan pangan bagi warga sana, terutama ketika krisis moneter terjadi atau yang terbaru pandemi Covid-19.
Dalam merespons itu, Tepu kemudian membuat karya bertajuk PSBB. Karya itu berupa sebuah pink oyster yang tampak tumbuh dari gulungan tisu. Dari genus ini, kemudian bertumbuh jadi ketahanan-ketahanan kehidupan yang menarik.
Tangkapan Layar Program diskusi bertema Art & Nature sebuah inisiatif Arcolabs yang didukung penuh oleh Korea Foundation untuk mendorong pertukaran seni dan budaya Indonesia dan Korea, Kamis, (16/8/2024).
“Jika kita amati lebih lanjut, dengan mikroskop. Dalam amanat itu, kita dapat melihat struktur miselium yang kompleks. Miselium ini dalam bentuk hifa yang saling berhubungan,” jelasnya.
Baca juga: Landung Simatupang Refleksikan 50 Tahun Berkarya lewat Lecture Performance di SIPFest 2024
Bagi Tepu, proses ini sangat menarik. jaringan-jaringan itu tampak menghubungkan dari satu titik ke titik lainnya, semacam transportasi informasi. Dari awalnya kecil, menjadi tumbuh besar.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.