Eksplorasi Unik Seniman Arin Sunaryo Berkarya dengan Material Resin
14 August 2024 |
15:11 WIB
Nama Arin Sunaryo tentu sudah tidak asing lagi bagi penikmat seni rupa. Seniman lulusan FSRD ITB dan pascasarjana Seni Murni Central Saint Martin’s College of Art & Design ini dikenal berkat eksplorasi uniknya pada material resin di dalam karya-karyanya.
Dengan bahan resin, Arin ‘melukis’ lewat cipratan, tetesan, lelehan, maupun sapuan-sapuan warna dalam variasi komposisi yang dinamis. Karya-karyanya yang autentiknya telah tersebar di berbagai pameran, bursa seni, maupun museum, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Perkenalannya pada bahan resin berawal dari hal yang tak terduga. Sebelumnya, Arin lebih banyak bermain-main dengan cat minyak dan kanvas. Namun, sesuatu terjadi pada 2008.
Baca juga: Eksplorasi Media & Material dalam Pameran Redefine di Elcanna Gallery
“Ketidakpuasan saya pada cat minyak adalah dorongan utama untuk mencoba beralih ke material lain. Tahun 2008, saya mulai bereksperimen dengan resin, dengan pertimbangan awal yang cenderung praktis, yakni saya menginginkan bahan yang bisa kering lebih cepat,” ujar Arin dalam diskusi Material Seni, Proses Pembuatan, dan Maknanya yang digelar Indonesian Heritage Agency, Rabu (14/8/2024).
Namun, satu eksperimen ini kemudian mengantarkan Arin pada perjalanan baru dalam praktik berkeseniannya. Pada bulan-bulan awal, secara perlahan Arin mengeksplorasi material resin secara lebih mendalam.
Dia memanfaatkan banyak material untuk masuk ke dalam ‘lukisan’ yang terawetkan oleh resinnya. Misalnya, setelah erupsi Gunung Merapi pada 2010, Arin mendapatkan material serbuk vulkanik.
Dia lalu memanfaatkan abu vulkanik itu untuk menciptakan pigmen bagi resin yang digunakannya untuk melukis ini. Di lain hal, benda yang masuk ke dalam resin makin beragam, tak terkecuali makanan sekali pun.
Arin mengatakan setiap material yang diawetkan melalui resin selalu membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Hal ini membuat setiap ada eksplorasi baru pasti akan ada beberapa penyesuaian secara teknis.
Selain itu, dalam berkarya, dirinya juga merasa selalu ada interaksi yang kompleks antarmaterial yang dibekukan, tidak hanya secara kimia, tetapi juga visual. Beberapa bahan bisa jadi langsung tampil secara indah, tetapi yang lain buram, atau bahkan tidak bisa selesai.
“Sifat-sifat resin dan pigmen menuntut saya pada pencapaian artistik yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Baca juga: Profil Seniman Dabi Arnasa, Sang Pelukis Mimpi dari Bali
Dalam membekukan lukisan-lukisan resin, Arin menganggap setiap material selalu punya siklus dan dunianya sendiri. Setiap material di dalam lukisan punya daya pikat unik dan relasinya masing-masing.
Bagi Arin, material resin yang mengawetkan karya ini menjadi semacam manifestasi perlawanan pada waktu yang kerap dilakukan manusia juga pada hal-hal lain di dunia ini.
Proses berkarya Arin dalam menciptakan karya termasuk unik. Sebab, Apa yang nampak di kanvas pada lukisannya sama sekali berbeda dengan yang dilihatnya pada proses pembuatannya.
Saat sedang berkarya, Arin akan beksplorasi pada benda-benda tertentu dan menempatkannya di sebuah meja kerja. Dia lalu menuangkan resin dengan berbagai teknik, seperti cipratan, lelehan, maupun sapuan tertentu.
Apa yang ada di hadapan Arin sebenarnya adalah tampak belakang dari lukisannya. Karakter resin yang mengalir akan mengisi celah-celah yang ada di meja praktik dan membeku dengan cepat.
Hasil akhir karya Arin adalah bentuk yang berada di bagian bawah yang telah membeku tersebut. Menurutnya, praktik ini memang penuh dengan ketidakdugaan dan ketidakpastian, tetapi pada akhirnya berujung pada wujud-wujud yang tak terpikirkan juga.
Dalam meramu resin dengan bahan-bahan lain, Arin selalu memperhatikan beberapa faktor penting. Utamanya, ketika bahan yang digunakan adalah bukan benda kering atau mati.
Dia mencontohkan saat membuat karya berjudul Sunny Side Down. Dalam karya itu, dirinya menggunakan 20 butir telur yang telah digoreng, kemudian ditimpa dengan resin transparan.
Arin menyebut prosesnya menyenangkan. Ini juga menjadi kali pertama dirinya membekukan benda dalam bentuk besar dan masih belum dikeringkan. Karya ini sempat dipresentasikan di Art Basel dan telah dibeli oleh sebuah museum privat. Karya itu pun sudah dikirim ke sana.
“Namun, lucunya, seminggu kemudian saya dapat telpon dari museum kalau mereka mencium bau busuk. Setelah karya itu dikirim kembali ke studio, ternyata di situ ada satu titik semacam pori-pori yang mengeluarkan minyak,” ujarnya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
Arin pun mencoba menutup dengan lapisan resin. Namun, ada yang masih keluar bahkan karena mungkin terjebak di resin, ada semacam gelembung. Dia menduga ada semacam gas yang mendorong keluar.
Akhirnya, gas ini perlu dikeluarkan terlebih dahulu dan prosesnya pun masih berlangsung. Arin mengatakan karya-karya yang menggunakan makanan memang memerlukan teknik khusus, termasuk untuk menjaga warna tetap seperti sedia kala.
Menurutnya, ini adalah sebuah hal yang wajar dan semua itu kembali ke keputusan kolektor. Dalam arti, apakah dia menerima kondisi perubahan itu atau akan dikonservasi ulang.
Editor: Fajar Sidik
Dengan bahan resin, Arin ‘melukis’ lewat cipratan, tetesan, lelehan, maupun sapuan-sapuan warna dalam variasi komposisi yang dinamis. Karya-karyanya yang autentiknya telah tersebar di berbagai pameran, bursa seni, maupun museum, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Perkenalannya pada bahan resin berawal dari hal yang tak terduga. Sebelumnya, Arin lebih banyak bermain-main dengan cat minyak dan kanvas. Namun, sesuatu terjadi pada 2008.
Baca juga: Eksplorasi Media & Material dalam Pameran Redefine di Elcanna Gallery
“Ketidakpuasan saya pada cat minyak adalah dorongan utama untuk mencoba beralih ke material lain. Tahun 2008, saya mulai bereksperimen dengan resin, dengan pertimbangan awal yang cenderung praktis, yakni saya menginginkan bahan yang bisa kering lebih cepat,” ujar Arin dalam diskusi Material Seni, Proses Pembuatan, dan Maknanya yang digelar Indonesian Heritage Agency, Rabu (14/8/2024).
Diskusi Material Seni, Proses Pembuatan, dan Maknanya yang digelar Indonesian Heritage Agency, Rabu (14/8/2024).
Namun, satu eksperimen ini kemudian mengantarkan Arin pada perjalanan baru dalam praktik berkeseniannya. Pada bulan-bulan awal, secara perlahan Arin mengeksplorasi material resin secara lebih mendalam.
Dia memanfaatkan banyak material untuk masuk ke dalam ‘lukisan’ yang terawetkan oleh resinnya. Misalnya, setelah erupsi Gunung Merapi pada 2010, Arin mendapatkan material serbuk vulkanik.
Dia lalu memanfaatkan abu vulkanik itu untuk menciptakan pigmen bagi resin yang digunakannya untuk melukis ini. Di lain hal, benda yang masuk ke dalam resin makin beragam, tak terkecuali makanan sekali pun.
Arin mengatakan setiap material yang diawetkan melalui resin selalu membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Hal ini membuat setiap ada eksplorasi baru pasti akan ada beberapa penyesuaian secara teknis.
Selain itu, dalam berkarya, dirinya juga merasa selalu ada interaksi yang kompleks antarmaterial yang dibekukan, tidak hanya secara kimia, tetapi juga visual. Beberapa bahan bisa jadi langsung tampil secara indah, tetapi yang lain buram, atau bahkan tidak bisa selesai.
“Sifat-sifat resin dan pigmen menuntut saya pada pencapaian artistik yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Baca juga: Profil Seniman Dabi Arnasa, Sang Pelukis Mimpi dari Bali
Dalam membekukan lukisan-lukisan resin, Arin menganggap setiap material selalu punya siklus dan dunianya sendiri. Setiap material di dalam lukisan punya daya pikat unik dan relasinya masing-masing.
Bagi Arin, material resin yang mengawetkan karya ini menjadi semacam manifestasi perlawanan pada waktu yang kerap dilakukan manusia juga pada hal-hal lain di dunia ini.
Proses Berkarya yang Unik
Proses berkarya Arin dalam menciptakan karya termasuk unik. Sebab, Apa yang nampak di kanvas pada lukisannya sama sekali berbeda dengan yang dilihatnya pada proses pembuatannya.Saat sedang berkarya, Arin akan beksplorasi pada benda-benda tertentu dan menempatkannya di sebuah meja kerja. Dia lalu menuangkan resin dengan berbagai teknik, seperti cipratan, lelehan, maupun sapuan tertentu.
Apa yang ada di hadapan Arin sebenarnya adalah tampak belakang dari lukisannya. Karakter resin yang mengalir akan mengisi celah-celah yang ada di meja praktik dan membeku dengan cepat.
Hasil akhir karya Arin adalah bentuk yang berada di bagian bawah yang telah membeku tersebut. Menurutnya, praktik ini memang penuh dengan ketidakdugaan dan ketidakpastian, tetapi pada akhirnya berujung pada wujud-wujud yang tak terpikirkan juga.
Dalam meramu resin dengan bahan-bahan lain, Arin selalu memperhatikan beberapa faktor penting. Utamanya, ketika bahan yang digunakan adalah bukan benda kering atau mati.
Diskusi Material Seni, Proses Pembuatan, dan Maknanya yang digelar Indonesian Heritage Agency, Rabu (14/8/2024).
Dia mencontohkan saat membuat karya berjudul Sunny Side Down. Dalam karya itu, dirinya menggunakan 20 butir telur yang telah digoreng, kemudian ditimpa dengan resin transparan.
Arin menyebut prosesnya menyenangkan. Ini juga menjadi kali pertama dirinya membekukan benda dalam bentuk besar dan masih belum dikeringkan. Karya ini sempat dipresentasikan di Art Basel dan telah dibeli oleh sebuah museum privat. Karya itu pun sudah dikirim ke sana.
“Namun, lucunya, seminggu kemudian saya dapat telpon dari museum kalau mereka mencium bau busuk. Setelah karya itu dikirim kembali ke studio, ternyata di situ ada satu titik semacam pori-pori yang mengeluarkan minyak,” ujarnya.
Baca juga: Lanskap Spontanitas Seniman AS Trevor Shimizu dalam Pameran Tunggal di Galeri ROH Jakarta
Arin pun mencoba menutup dengan lapisan resin. Namun, ada yang masih keluar bahkan karena mungkin terjebak di resin, ada semacam gelembung. Dia menduga ada semacam gas yang mendorong keluar.
Akhirnya, gas ini perlu dikeluarkan terlebih dahulu dan prosesnya pun masih berlangsung. Arin mengatakan karya-karya yang menggunakan makanan memang memerlukan teknik khusus, termasuk untuk menjaga warna tetap seperti sedia kala.
Menurutnya, ini adalah sebuah hal yang wajar dan semua itu kembali ke keputusan kolektor. Dalam arti, apakah dia menerima kondisi perubahan itu atau akan dikonservasi ulang.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.