Perjalanan Kesenian Heri Dono, Awal Animasi dan Animisme
31 October 2022 |
18:03 WIB
1
Like
Like
Like
Dari awal berkiprah sebagai seniman hingga sekarang, sudah tidak terhitung berapa kali Heri Dono menciptakan karya, serta berpameran. Baik itu, pameran secara kolektif maupun tunggal di dalam dan luar negeri. Konsistensinya dalam berkesenian membuat namanya masuk dalam jajaran papan atas seniman Indonesia.
Tidak hanya memamerkan karya, Heri juga tak jarang menggelar performa keseniannya dengan menjadi dalang. Sebagai seniman kontemporer, dia tidak lagi menyekat-nyekat kesenian. Sebaliknya, bebas memilih berbagai medium dan cara untuk berkarya.
Menelusuri perjalanan karier kesenian seniman kelahiran Jakarta 57 tahun silam ini tak lepas dari pengalaman masa kecilnya. Keinginan Heri bergelut ke dunia seni tumbuh sejak masa kanak-kanak. Tepatnya, saat dia rajin bermain ke Istana Bogor. Akses Heri ke istana ini tak lepas karena ayahnya adalah ajudan Presiden Sukarno.
Baca juga: Heri Dono, Seniman Kontemporer yang Kaya Ekspresi
Di sana, Heri sering mengamati karya-karya seni koleksi Istana Kepresidenan. Di satu lorong Istana, Heri menjumpai karya-karya seniman besar seperti S. Sudjojono hingga Basoeki Abdullah. Begitu pula ketika berjalan di taman Istana, Heri memandang patung-patung karya seniman mancanegara.
“Karier saya sebagai seniman dimulai dari Istana Bogor ini, ujarnya.
Berkarier di dunia seni, seolah menjawab keinginan Heri. Ya dia ingin bekerja tanpa ada masa pensiun. Pekerjaan semacam itu ada di dunia seni yaitu dengan menjadi seniman. Seorang seniman bisa membuat karya hingga akhir hayatnya. Tak ada orang yang bisa menghentikan pekerjaanya, kecuali dia sendiri. Barang kali masa pensiun tiba ketika seniman itu telah tiada.
Berangkat dari keinginan itu, Heri mendalami kesenian hingga ke perguruan tinggi. Dia mendaftarkan diri ke Institut Teknologi Bandung dan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta – sekarang ISI. Kedua perguruan tinggi itu pun menerima Heri. Namun, dia memilih Asri sebagai tempatnya menimba ilmu.
Pilihannya tak salah, karena di Yogya dia bertemu dengan dedengkot-dedengkot seni rupa Tanah Air kala itu seperti S. Soedjojono dan Affandi. Di luar lingkungan akademis, kepada dua maestro itu Heri berguru. Mengenai pemikiran yang radikal dan kritis, Heri belajar dari Soedjojono. Tentang garis dan goresan, Heri dapat dari Affandi.
“Keduanya mempengaruhi saya dalam berkarya hingga sekarang,” tuturnya.
Sejauh ini karya-karya Heri turut mewarnai perkembangan seni kontemporer di Indonesia. Karya-karyanya mengundang perbicangan di kalangan para pencinta seni. Bahkan sebagian telah dikoleksi oleh para kolektor.
Selain pemikiran, Heri juga ikut menyumbang pemikiran-pemikirannya sebagai kontribusinya bagi seni rupa Tanah Air. Gagasan-gagasannya dalam berkarya boleh jadi menggugah seniman-seniman lainnya untuk berkarya mengikuti jejak bahkan melebihi capaiannya.
“Jika memberikan kontribusi itu seperti memberikan sesuatu dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri jangan sampai tahu,” ujarnya.
Namun, Heri memperlakukan wayang sebagai animasi. Semacam memberi ruh, dia membuat karya-karyanya bergerak dan bercerita. Heri meyakini animasi dan animisme itu memiliki korelasi. Animasi sebagai gambar dapat bergerak. Sedangkan animisme memahami bahwa benda-benda di dunia ini memiliki ruh.
Dengan pemahaman seperti itu, Heri kemudian menjadikan karya-karyanya sebagai animasi dan animisme. Karya yang secara maknawi maupun fisik dapat bergerak menceritakan pesan yang dibawa oleh sang seniman. “Animisme dan animasi itu memiliki satu kesatuan,” ujarnya.
Lebih dalam Heri melihat wayang merupakan media multidisiplin seni. Di dalam pertunjukan wayang menyimpan aspek seni rupa dan sastra. Secara fisik, wayang mencerminkan karya seni rupa. Sedangkan aspek non fisiknya, wayang memiliki cerita-cerita sebagai perwujudan dari karya sastra.
Untuk menciptakan karya-karya wayang ini, Heri harus melewati proses terlebih dahulu. Proses itu diawali dari sebuah perenungan. Di dalam kontemplasinya ini, Heri meracik berbagai pengalaman dan pengetahuannya untuk membentuk satu gagasan karya.
Selain itu, peraih Unesco Prize for the International Art Biennial, Shanghai, China ini juga tetap melakukan riset untuk mendapatkan ide baru. Namun, bukan lagi riset teoritis tetapi lebih ke membaca realitas. “Ketika perang kita tidak boleh lihat buku teori lagi, nanti keburu tertembak.” (Diolah dari Bisnis Indonesia edisi Sabtu 2017)
Baca juga: 4 Seniman Kontemporer Dunia yang Perlu Kalian Ketahui, Salah Satunya dari Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Tidak hanya memamerkan karya, Heri juga tak jarang menggelar performa keseniannya dengan menjadi dalang. Sebagai seniman kontemporer, dia tidak lagi menyekat-nyekat kesenian. Sebaliknya, bebas memilih berbagai medium dan cara untuk berkarya.
Menelusuri perjalanan karier kesenian seniman kelahiran Jakarta 57 tahun silam ini tak lepas dari pengalaman masa kecilnya. Keinginan Heri bergelut ke dunia seni tumbuh sejak masa kanak-kanak. Tepatnya, saat dia rajin bermain ke Istana Bogor. Akses Heri ke istana ini tak lepas karena ayahnya adalah ajudan Presiden Sukarno.
Baca juga: Heri Dono, Seniman Kontemporer yang Kaya Ekspresi
Di sana, Heri sering mengamati karya-karya seni koleksi Istana Kepresidenan. Di satu lorong Istana, Heri menjumpai karya-karya seniman besar seperti S. Sudjojono hingga Basoeki Abdullah. Begitu pula ketika berjalan di taman Istana, Heri memandang patung-patung karya seniman mancanegara.
“Karier saya sebagai seniman dimulai dari Istana Bogor ini, ujarnya.
Berkarier di dunia seni, seolah menjawab keinginan Heri. Ya dia ingin bekerja tanpa ada masa pensiun. Pekerjaan semacam itu ada di dunia seni yaitu dengan menjadi seniman. Seorang seniman bisa membuat karya hingga akhir hayatnya. Tak ada orang yang bisa menghentikan pekerjaanya, kecuali dia sendiri. Barang kali masa pensiun tiba ketika seniman itu telah tiada.
Berangkat dari keinginan itu, Heri mendalami kesenian hingga ke perguruan tinggi. Dia mendaftarkan diri ke Institut Teknologi Bandung dan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta – sekarang ISI. Kedua perguruan tinggi itu pun menerima Heri. Namun, dia memilih Asri sebagai tempatnya menimba ilmu.
Pilihannya tak salah, karena di Yogya dia bertemu dengan dedengkot-dedengkot seni rupa Tanah Air kala itu seperti S. Soedjojono dan Affandi. Di luar lingkungan akademis, kepada dua maestro itu Heri berguru. Mengenai pemikiran yang radikal dan kritis, Heri belajar dari Soedjojono. Tentang garis dan goresan, Heri dapat dari Affandi.
“Keduanya mempengaruhi saya dalam berkarya hingga sekarang,” tuturnya.
Sejauh ini karya-karya Heri turut mewarnai perkembangan seni kontemporer di Indonesia. Karya-karyanya mengundang perbicangan di kalangan para pencinta seni. Bahkan sebagian telah dikoleksi oleh para kolektor.
Selain pemikiran, Heri juga ikut menyumbang pemikiran-pemikirannya sebagai kontribusinya bagi seni rupa Tanah Air. Gagasan-gagasannya dalam berkarya boleh jadi menggugah seniman-seniman lainnya untuk berkarya mengikuti jejak bahkan melebihi capaiannya.
“Jika memberikan kontribusi itu seperti memberikan sesuatu dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri jangan sampai tahu,” ujarnya.
Wayang
Membahas karya Heri tidak dapat dipisahkan dari unsur wayang. Dalam beberapa karyanya, Heri bahkan membuat wayang-wayang versinya sendiri yang berbeda dengan wayang pada umumnya.Namun, Heri memperlakukan wayang sebagai animasi. Semacam memberi ruh, dia membuat karya-karyanya bergerak dan bercerita. Heri meyakini animasi dan animisme itu memiliki korelasi. Animasi sebagai gambar dapat bergerak. Sedangkan animisme memahami bahwa benda-benda di dunia ini memiliki ruh.
Dengan pemahaman seperti itu, Heri kemudian menjadikan karya-karyanya sebagai animasi dan animisme. Karya yang secara maknawi maupun fisik dapat bergerak menceritakan pesan yang dibawa oleh sang seniman. “Animisme dan animasi itu memiliki satu kesatuan,” ujarnya.
Lebih dalam Heri melihat wayang merupakan media multidisiplin seni. Di dalam pertunjukan wayang menyimpan aspek seni rupa dan sastra. Secara fisik, wayang mencerminkan karya seni rupa. Sedangkan aspek non fisiknya, wayang memiliki cerita-cerita sebagai perwujudan dari karya sastra.
Untuk menciptakan karya-karya wayang ini, Heri harus melewati proses terlebih dahulu. Proses itu diawali dari sebuah perenungan. Di dalam kontemplasinya ini, Heri meracik berbagai pengalaman dan pengetahuannya untuk membentuk satu gagasan karya.
Selain itu, peraih Unesco Prize for the International Art Biennial, Shanghai, China ini juga tetap melakukan riset untuk mendapatkan ide baru. Namun, bukan lagi riset teoritis tetapi lebih ke membaca realitas. “Ketika perang kita tidak boleh lihat buku teori lagi, nanti keburu tertembak.” (Diolah dari Bisnis Indonesia edisi Sabtu 2017)
Baca juga: 4 Seniman Kontemporer Dunia yang Perlu Kalian Ketahui, Salah Satunya dari Indonesia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.