Profil Seniman Dabi Arnasa, Sang Pelukis Mimpi dari Bali
08 August 2024 |
17:00 WIB
Nama I Made Dabi Arnasa memang belum begitu populer di dunia seni rupa. Namun, seniman asal Bali yang kini mukim di Yogyakarta itu mulai menunjukkan tajinya di lanskap seni rupa kontemporer Tanah Air dengan karya-karya yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Perupa jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu belakangan ini mulai rutin berpameran tunggal dan kolektif di berbagai perhelatan seni. Terbaru, seniman berusia 27 tahun itu akan kembali memamerkan dua karyanya di Art Moment Jakarta 2024 bersama ISA Art Gallery.
Baca juga: Profil Seniman TuTu, Berkarya & Besar dari Seni Jalanan
Dabi, begitu biasa dia dipanggil, kerap mengeksplorasi mimpi sebagai basis pengkaryaan. Alih-alih menggunakan mimpinya sendiri, dia juga mengandalkan mimpi liyan untuk diekspresikan dalam bahasa rupa dengan pendekatan surealis.
Inspirasi Dabi untuk mengeksplorasi imajinasi, memori, hingga mimpi berawal saat dia membaca buku Law of Attraction (2003) karya Michael Losier. The Law of Attraction merupakan kepercayaan atau keyakinan bahwa alam semesta menciptakan dan menyediakan bagi kita apa yang menjadi fokus pikiran manusia.
Ketertarikannya pada teori psikologi analitis, juga membawa pria kelahiran 12 Februari 1997 ini untuk mendalami literasi dari tokoh-tokoh kenamaan dunia. Beberapa di antaranya seperti Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Gustav Jung (1875-1961). Hasil pembacaannya itu lantas dia tuangkan ke dalam lukisan-lukisannya.
"Pengalaman yang terjadi di dalam mimpi sangat menarik bagiku. Alam yang terbentuk di sana seakan memberikan pesan bagi si pemimpi. Ada keinginan membekukan itu dalam bahasa rupa," katanya pada Hypeabis.id.
Sebagai metode pengkaryaan, awalnya, Dabi mendapatkan inspirasi tersebut dari ingatan sendiri dan orang lain tentang mimpi mereka. Namun, lambat laun dia turut menafsirkan mimpi-mimpi tersebut, dan merumuskannya sebagai bentuk ekspresi karya, untuk lebih mengenali dirinya secara lebih utuh.
Refleksi tersebut akhirnya mewujud dalam pameran tunggal perdananya, Cabinet of Dreams, pada 2022, di Art Moments Jakarta. Belum lama ini seniman peraih White Award, Gray Art Gallery, Bandung, ini juga menggelar ekshibisi tunggal kedua bertajuk Wastan Titiang, meski tidak lagi menjadikan mimpi sebagai basis karya.
Anak Pemahat Batu
Berprofesi sebagai seniman sudah menjadi cita-cita Dabi sejak kecil. Ini tak lepas dari lingkungan tempatnya tumbuh di Karangasem, Bali. Kabupaten yang berada di bawah kaki Gunung Agung itu, dikenal memiliki tradisi kesenian yang masih lestari, karena bersinggungan langsung dengan ritual keagamaan.
Karangasem juga dikenal sebagai wilayah pemasok batu andesit dan pasir. Batu andesit, utamanya, digunakan untuk keperluan pembangunan pura. Salah satu pengrajin batu itu adalah ayah Dabi. Saat masih kecil dia kerap menemani sang ayah bekerja, untuk mencari dan mengukir batu menjadi patung.
Kecintaan Dabi terhadap seni rupa juga tumbuh saat di desanya berdiri sebuah yayasan sosial yang bergerak di bidang pendidikan. Di tempat ini, peraih penghargaan Lukis Terbaik On The Spot Painting “Titik Nol” oleh Museum Basoeki Abdullah itu pun mulai mengasah talentanya di bidang kesenian.
"Waktu kelas 4 SD, aku ingat ada sebuah yayasan yang membuka les secara gratis, salah satunya menggambar. Setiap seminggu sekali, aku ikut kelas ini sampai kelas 2 SMP. Dari situ aku mulai menikmati seni rupa," imbuhnya.
Selama hijrah ke Yogya, Dabi pun aktif di berbagai aktivisme kesenian. Salah satunya bergabung di Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Sanggar yang diprakarsai I Nyoman Gunarsa (1944-2017) ini dikenal sebagai payung komunitas bagi para mahasiswa seni rupa asal Bali yang menimba ilmu di Kota Gudeg.
Sebagai seniman muda, Dabi juga sudah mengikuti berbagi ekshibisi kolektif yang dihelat di Tanah Air. Seperti Samasta, Sanggar Dewata Indonesia, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta (2019), SDI X SDI, Yogya Annual Art #8, Sangkring Art Space, Yogyakarta (2023), dan masih banyak lagi.
"Kalau dari metode, aku membungkus ulang mimpi yang diceritakan atau aku alami agar ada jarak objektif. Jadi saat dialihwahanakan ke citraan visual, orang lain akan mendapat pengalaman baru, alih-alih suasana yang sama saat mereka mengalami mimpi tersebut," tuturnya.
Baca juga: Profil Seniman Erianto: Profesi Tanpa Batas, Karya Tanpa Pensiun
Editor: Dika Irawan
Perupa jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu belakangan ini mulai rutin berpameran tunggal dan kolektif di berbagai perhelatan seni. Terbaru, seniman berusia 27 tahun itu akan kembali memamerkan dua karyanya di Art Moment Jakarta 2024 bersama ISA Art Gallery.
Baca juga: Profil Seniman TuTu, Berkarya & Besar dari Seni Jalanan
Dabi, begitu biasa dia dipanggil, kerap mengeksplorasi mimpi sebagai basis pengkaryaan. Alih-alih menggunakan mimpinya sendiri, dia juga mengandalkan mimpi liyan untuk diekspresikan dalam bahasa rupa dengan pendekatan surealis.
Inspirasi Dabi untuk mengeksplorasi imajinasi, memori, hingga mimpi berawal saat dia membaca buku Law of Attraction (2003) karya Michael Losier. The Law of Attraction merupakan kepercayaan atau keyakinan bahwa alam semesta menciptakan dan menyediakan bagi kita apa yang menjadi fokus pikiran manusia.
Ketertarikannya pada teori psikologi analitis, juga membawa pria kelahiran 12 Februari 1997 ini untuk mendalami literasi dari tokoh-tokoh kenamaan dunia. Beberapa di antaranya seperti Sigmund Freud (1856-1939) dan Carl Gustav Jung (1875-1961). Hasil pembacaannya itu lantas dia tuangkan ke dalam lukisan-lukisannya.
"Pengalaman yang terjadi di dalam mimpi sangat menarik bagiku. Alam yang terbentuk di sana seakan memberikan pesan bagi si pemimpi. Ada keinginan membekukan itu dalam bahasa rupa," katanya pada Hypeabis.id.
Sebagai metode pengkaryaan, awalnya, Dabi mendapatkan inspirasi tersebut dari ingatan sendiri dan orang lain tentang mimpi mereka. Namun, lambat laun dia turut menafsirkan mimpi-mimpi tersebut, dan merumuskannya sebagai bentuk ekspresi karya, untuk lebih mengenali dirinya secara lebih utuh.
Refleksi tersebut akhirnya mewujud dalam pameran tunggal perdananya, Cabinet of Dreams, pada 2022, di Art Moments Jakarta. Belum lama ini seniman peraih White Award, Gray Art Gallery, Bandung, ini juga menggelar ekshibisi tunggal kedua bertajuk Wastan Titiang, meski tidak lagi menjadikan mimpi sebagai basis karya.
Anak Pemahat Batu
Berprofesi sebagai seniman sudah menjadi cita-cita Dabi sejak kecil. Ini tak lepas dari lingkungan tempatnya tumbuh di Karangasem, Bali. Kabupaten yang berada di bawah kaki Gunung Agung itu, dikenal memiliki tradisi kesenian yang masih lestari, karena bersinggungan langsung dengan ritual keagamaan.
Karangasem juga dikenal sebagai wilayah pemasok batu andesit dan pasir. Batu andesit, utamanya, digunakan untuk keperluan pembangunan pura. Salah satu pengrajin batu itu adalah ayah Dabi. Saat masih kecil dia kerap menemani sang ayah bekerja, untuk mencari dan mengukir batu menjadi patung.
Kecintaan Dabi terhadap seni rupa juga tumbuh saat di desanya berdiri sebuah yayasan sosial yang bergerak di bidang pendidikan. Di tempat ini, peraih penghargaan Lukis Terbaik On The Spot Painting “Titik Nol” oleh Museum Basoeki Abdullah itu pun mulai mengasah talentanya di bidang kesenian.
"Waktu kelas 4 SD, aku ingat ada sebuah yayasan yang membuka les secara gratis, salah satunya menggambar. Setiap seminggu sekali, aku ikut kelas ini sampai kelas 2 SMP. Dari situ aku mulai menikmati seni rupa," imbuhnya.
Sepilihan karya Dabi arnasa dalam pameran Wastan Titiang, pada 27 Juni sampai 10 Juli 2024, di Indieart House, Yogyakarta. (sumber gambar: dok. pribadi/Firoos Agung)
Jalan menapaki dunia seni pun bergayung sambut. Pada 2015, Dabi diterima di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta program studi Seni Lukis Murni. Dabi lulus pada 2021 dengan skripsi; Fragmen Cerita Kucing Dalam Penciptaan Seni Lukis.
Sebagai seniman muda, Dabi juga sudah mengikuti berbagi ekshibisi kolektif yang dihelat di Tanah Air. Seperti Samasta, Sanggar Dewata Indonesia, Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta (2019), SDI X SDI, Yogya Annual Art #8, Sangkring Art Space, Yogyakarta (2023), dan masih banyak lagi.
"Kalau dari metode, aku membungkus ulang mimpi yang diceritakan atau aku alami agar ada jarak objektif. Jadi saat dialihwahanakan ke citraan visual, orang lain akan mendapat pengalaman baru, alih-alih suasana yang sama saat mereka mengalami mimpi tersebut," tuturnya.
Baca juga: Profil Seniman Erianto: Profesi Tanpa Batas, Karya Tanpa Pensiun
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.