Karya Dolorosa Sinaga berjudul Monumen Penghilangan Tragedi Semanggi 1998 (fiberglass, 350x180x186 cm, 2024). (sumber gambar: Hypeabi.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Patung-patung yang Menolak Bungkam Karya Dolorosa Sinaga & Budi Santoso

03 August 2024   |   13:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Sejumlah patung memenuhi halaman Galeri Nasional Indonesia. Ada yang memegang pigura kosong, anak-anak kecil memegang bunga, ada pula figur-figur yang menggotong jenazah, hingga sosok ibu yang duduk di jendela sambil membacakan buku.

Patung-patung tersebut memang diam, tapi mereka terus 'berteriak' menolak bungkam. Terutama mengabarkan kasus penghilangan paksa, kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pembantaian massal di Tanah Air pada dekade 1965-1966. 

Monumen berjudul Penghilangan Tragedi Semanggi 1998 misalnya. Karya fiberglass berdimensi 350x180x186 cm,ini mengimak enam sosok manusia sedang berlutut sambil menggendong jenazah korban yang Tragedi Semanggi.

Ada semacam ekspresi gerak yang dibekukan dalam patung tersebut. Momen kekalutan, putus asa, dan elan untuk menumbangkan tirani. Semuanya tampak saling menguatkan, meski salah satu di antara mereka gugur.

Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia lain lagi. Karya ini mengekspresikan kepedihan orang tua korban penculikan, saat berunjuk rasa menuntut negara mengungkap kasus penghilangan paksa pada 1997-1998. 

Baca juga: 5 Fakta Menarik ArtMoments Jakarta 2024: Lineup Galeri hingga Pameran Seniman Aboudia
 

Karya Dolorosa Sinaga berjudul Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966

Karya Dolorosa Sinaga berjudul Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966  (sumber gambar: Hypeabi.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Nuansa patung di bagian tengah yang berjudul Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966 tak kalah memilukan. Karya ini menghadirkan sosok wanita tertelungkup di atas peti mati dan buku tebal berwarna emas. 

Monumen-monumen tersebut merupakan bagian dari pameran Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso di Galeri Nasional Indonesia. Seteleng ini berlangsung pada 19 Juli sampai 19 Agustus 2024. 

Kurator pameran Alexander Supartono mengatakan, obyek buku dalam Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966  merupakan metafora untuk menyampaikan pesan tertentu. "Penggambarannya sangat sederhana. Inilah kekuatan Dolo, karena kita tidak perlu mengerti, cukup merasakan,"katanya. 

Budi Santoso menghadirkan pendekatan artistik yang berbeda. Kendati keduanya menekankan karakter realis lewat anatomi, tapi kekuatan karyanya justru terletak pada detail, sehingga membuat pengunjung lama menekurinya.

Patung Historical Moment adalah salah satunya. Sebab, menampilkan sosok ibu yang duduk di jendela dan memangku anak kecil, sembari membacakan sebuah buku dengan penerangan lampu minyak yang mulai meredup.

Menurut Budi, aktivitas membacakan buku untuk anak, saat ini sudah jarang dilakukan orang tua. Sebab, sejak usia dini sudah diberi gawai. Oleh karena itu, kegiatan memperkenalkan buku atau literasi pada anak bisa dibilang sebagai sebuah aksi revolusioner.
 

Karya Budi Santoso berjudul Anatomi Kerja (iron, alumunium dan teakwood, 10-30 x10x 40-80 cm, 2024)

Karya Budi Santoso berjudul Anatomi Kerja (iron, alumunium dan teakwood, 10-30 x10x 40-80 cm, 2024) 

 (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar )

Ada juga karya Anatomi Kerja yang menampilkan 40 sosok berdiri di atas sebuah arit dan badik. Patung berbahan iron, alumunium dan teakwood ini dibuat dari hasil riset foto triptych Bernard Hagen (1853-1919), seorang dokter asal Jerman, yang mempelajari penyakit-penyakit tropis di Sumatera Selatan pada dekade 1800-an. 

Dalam usaha ini, Budi seolah meneruskan usaha Hagen untuk merekam tubuh-tubuh itu dalam trimatra. Namun, alih-alih hanya mengubah media, Budi juga menggunakan metode berbasis kelas dalam hal ini alat kerja (badik, arit, parang) sebagai landasan mereka berdiri.

Progresivitas aktivis elemen dari karya-karya Dolo, menurut Alexander memang lebih banyak bicara tentang aktivitas publik. Sedangkan, praktik estetika Budi lebih banyak mendedah isu-isu mikro, atau kegiatan sehari-hari.
 
"Seorang aktivis yang memperjuangkan HAM juga harus memparktikkan nilai-nilai tersebut dalam pengorganisasian rumah tangga. Budi berhasil merespon tema-tema itu dengan baik," katanya. 

Baca juga: Pameran Foto Portraits of My Blood Karya David Diaz Gonzales Tampilkan Keindahan Shipibo-Konibo
 

Kolaborasi

Pameran Patung dan Aktivisme merupakan seteleng dua pematung dari dua generasi dan dua latar tradisi kultural berbeda. Dolorosa Sinaga lahir pada 31 Oktober 1952 di Sibolga, Sumatra Utara, sedangkan Budi Santoso lahir di Cilacap, Jawa Tengah pada 1980. Mereka bertemu pertama kali pada 2000.

Kala itu, Budi masih kuliah di Institut Seni Yogyakarta jurusan Patung, dan aktif di kolektif Taring Padi. Syahdan dia lalu menawarkan diri untuk nyantrik di studio Somalaing milik Dolorosa di Jakarta. Momen inilah yang kemudian mendekatkan praktik kerja mereka, khususnya saat menyoroti isu-isu sosial dan politik.

Menurut Alexander, interaksi keduanya lebih dari sekadar guru dan murid. Yaitu lewat konsep kerja bersama yang didasarkan dari proses adopsi dan adaptasi. Ketika praktiknya hanya didasarkan pada persoalan guru dan murid, proses ini tidak akan bertahan puluhan tahun.

"Sebab sang murid meninggalkan gurunya, dan memulai penjelajahan artistiknya sendiri.Inilah yang kemudian kita lihat dalam bentuk hubungan yang berbeda," imbuhnya.
 

Slah satu karya Dolorosa Sinaga dalam pameran Patung dan Aktivisme

Slah satu karya Dolorosa Sinaga dalam pameran Patung dan Aktivisme 

 (sumber gambar: Hypeabis.id/Fanny Kusumawardhani)

Dolorosa mengatakan, pameran tersebut merupakan suatu percakapan ekspresi patung lintas generasi. Sebagai pematung, dia dan Budi gandrung dengan tanah liat. Beberapa karyanya dalam pameran ini merupakan bentuk pembesaran dari karya-karyanya terdahulu.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid mengatakan, pameran ini merupakan buah kerjasama dalam rentang yang panjang antara dua seniman. Lewat pameran ini publik diajak untuk menyimak dialog antara guru dan murid, sekaligus sahabat yang sudah lama berkolaborasi.

"Mereka tidak menjadikan sejarah sebagai objek, tapi sejarah sebagai energi yang dihadirkan dalam karya yang luar biasa. Mari kita membiarkan diri untuk larut dalam karya-karya Dolo dan Budi yang penuh energi ini," katanya. 

Baca juga: Gambaran Ironi Negara Maritim Tersaji di Pameran Seni Water Resistance

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Upaya Mendongkrak Wisatawan Lewat Tarif Tiket Pesawat Murah

BERIKUTNYA

Pengamat Minta Intervensi Negara untuk Ukur Efektivitas Label Minuman Berpemanis

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: