Pengamat Minta Intervensi Negara untuk Ukur Efektivitas Label Minuman Berpemanis
02 August 2024 |
22:00 WIB
Minuman manis sangat populer di Indonesia, baik jenis minuman tradisional maupun modern yang disukai oleh masyarakat. Sebab selain menjadi sumber energi, minuman ini juga dapat meningkatkan mood. Namun, saat dikonsumsi berlebihan dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit, salah satunya diabetes.
Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita pada 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.
Menurut data penelitian Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, konsumsi gula masyarakat dalam jangka waktu 10 tahun (1992-2020) meningkat sebesar 40 persen, lebih tinggi 31 persen dari peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9 persen.
Baca juga: Duh, Orang Indonesia Doyan Minuman Kemasan Berpemanis, Apa Dampaknya?
Obesitas juga menjadi penyakit yang dapat disebabkan karena konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Saat ini, obesitas menjadi salah satu krisis kesehatan yang sedang berkembang di dalam negeri. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara.
Kondisi ini tidak lepas dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang suka mengonsumsi minuman manis dan kemasan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun menyatakan pihaknya berencana untuk memperkenalkan label berwarna atau panduan warna pada kemasan minuman yang menunjukkan kandungan gula.
Menurut Menkes, langkah ini bertujuan untuk menekan konsumsi gula yang tinggi di masyarakat Indonesia. Penerapan label berwarna pada kemasan minuman juga untuk mengedukasi konsumen tentang bahaya gula bagi kesehatan masyarakat.
Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat, menyambut baik pemberian label berwarna untuk minuman dengan pemanis. Sebab ini akan meningkatkan kesadaran konsumen terhadap kandungan gula, sehingga mereka jadi lebih berhati-hati dalam memilih minuman.
Dia melihat dari jangka pendek dan panjang penerapan label berwarna untuk minuman berpemanis akan memberi dampak positif jika diterapkan dengan baik. Namun, regulasi ini juga perlu ditambahi kebijakan pendukung agar implementasinya dapat tersuluh dengan optimal.
Kendati begitu, Achmad tetap mengkritisi kebijakan ini jika memang benar diterapkan. Misalnya, mengenai kebijakan pencantuman peringatan kesehatan bergambar atau public health warning (PHW) di dalam kemasan rokok, yang tidak berjalan maksimal karena edukasinya kurang.
Oleh karenanya, harus ada intervensi negara dalam bentuk indikator untuk mengukur efektivitas dari penggunaan label tersebut. Hal ini meliputi data tahunan terkait penurunan jumlah konsumsi gula per kapita, atau penurunan prevalensi penyakit seperti diabetes dan obesitas, setelah regulasi ini diterapkan.
"Saya kira ini dengan regulasi ini kita bisa melatih masyarakat untuk mengkonsumsi minuman yang lebih sehat. Sehingga prevalensi penyakit terkait gula seperti diabetes, obesitas di masyarakat itu bisa menurun," katanya.
Terkait pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dia juga setuju jika hasil pajaknya dikembalikan ke masyarakat. Indonesia menurutnya juga bisa mencontoh negara-negara lain di dunia yang sudah berhasil mengurangi penyakit akibat gula lewat regulasi yang telah dijalankan.
Salah satunya Chili, yang menerapkan label peringatan hitam pada produk dengan kandungan gula, kalori, garam, atau lemak jenuh yang tinggi. Malaysia juga telah mengambil langkah-langkah untuk memperkenalkan pelabelan yang lebih jelas pada produk makanan dan minuman guna membantu konsumen membuat pilihan yang lebih sehat.
"Saya tidak setuju kalau konsepnya cukai pemanis itu sama seperti cukai rokok, hanya untuk menambah pendapatan APBN Tetapi tidak disalurkan untuk memitigasi dampak negatif dari pemanis itu sendiri," jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita pada 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045.
Menurut data penelitian Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, konsumsi gula masyarakat dalam jangka waktu 10 tahun (1992-2020) meningkat sebesar 40 persen, lebih tinggi 31 persen dari peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9 persen.
Baca juga: Duh, Orang Indonesia Doyan Minuman Kemasan Berpemanis, Apa Dampaknya?
Obesitas juga menjadi penyakit yang dapat disebabkan karena konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Saat ini, obesitas menjadi salah satu krisis kesehatan yang sedang berkembang di dalam negeri. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara.
Kondisi ini tidak lepas dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang suka mengonsumsi minuman manis dan kemasan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun menyatakan pihaknya berencana untuk memperkenalkan label berwarna atau panduan warna pada kemasan minuman yang menunjukkan kandungan gula.
Menurut Menkes, langkah ini bertujuan untuk menekan konsumsi gula yang tinggi di masyarakat Indonesia. Penerapan label berwarna pada kemasan minuman juga untuk mengedukasi konsumen tentang bahaya gula bagi kesehatan masyarakat.
Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat, menyambut baik pemberian label berwarna untuk minuman dengan pemanis. Sebab ini akan meningkatkan kesadaran konsumen terhadap kandungan gula, sehingga mereka jadi lebih berhati-hati dalam memilih minuman.
Dia melihat dari jangka pendek dan panjang penerapan label berwarna untuk minuman berpemanis akan memberi dampak positif jika diterapkan dengan baik. Namun, regulasi ini juga perlu ditambahi kebijakan pendukung agar implementasinya dapat tersuluh dengan optimal.
Kendati begitu, Achmad tetap mengkritisi kebijakan ini jika memang benar diterapkan. Misalnya, mengenai kebijakan pencantuman peringatan kesehatan bergambar atau public health warning (PHW) di dalam kemasan rokok, yang tidak berjalan maksimal karena edukasinya kurang.
Oleh karenanya, harus ada intervensi negara dalam bentuk indikator untuk mengukur efektivitas dari penggunaan label tersebut. Hal ini meliputi data tahunan terkait penurunan jumlah konsumsi gula per kapita, atau penurunan prevalensi penyakit seperti diabetes dan obesitas, setelah regulasi ini diterapkan.
"Saya kira ini dengan regulasi ini kita bisa melatih masyarakat untuk mengkonsumsi minuman yang lebih sehat. Sehingga prevalensi penyakit terkait gula seperti diabetes, obesitas di masyarakat itu bisa menurun," katanya.
Terkait pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dia juga setuju jika hasil pajaknya dikembalikan ke masyarakat. Indonesia menurutnya juga bisa mencontoh negara-negara lain di dunia yang sudah berhasil mengurangi penyakit akibat gula lewat regulasi yang telah dijalankan.
Salah satunya Chili, yang menerapkan label peringatan hitam pada produk dengan kandungan gula, kalori, garam, atau lemak jenuh yang tinggi. Malaysia juga telah mengambil langkah-langkah untuk memperkenalkan pelabelan yang lebih jelas pada produk makanan dan minuman guna membantu konsumen membuat pilihan yang lebih sehat.
"Saya tidak setuju kalau konsepnya cukai pemanis itu sama seperti cukai rokok, hanya untuk menambah pendapatan APBN Tetapi tidak disalurkan untuk memitigasi dampak negatif dari pemanis itu sendiri," jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.