Gambaran Ironi Negara Maritim Tersaji di Pameran Seni Water Resistance
24 July 2024 |
08:41 WIB
Wangi-wangian dari rempah dan bunga-bunga tercium di ruang pameran ROH Gallery, sehingga membuat suasana begitu menyenangkan. Namun, di balik wewangian itu, terdapat ironi yang memilukan karena bersumber dari eksploitasi minyak dan keluar dari knalpot kendaraan.
Wangi-wangian rempah seperti cengkih, pala, dan sebaagainya yang tercium merupakan hasil dari karya instalasi seniman Ade Darmawan berjudul Moralitas Molaritas per Barrel (2024) dan karya lainnya dalam pameran tunggal bertajuk Water Resistance yang berlangsung sampai 4 Agustus 2024.
Baca juga: Menyelisik Kolaborasi Manis Tiga Dara dalam Pameran Ad Maiora
Harum bunga dan rempah dari karya seni instalasi di ROH Gallery itu menjadi ironi lantaran keluar dari benda-benda seperti drum minyak dan knalpot kendaraan yang digunakan oleh sang seniman Ade Darmawan.
Drum-drum dalam karya Moralitas Moralitas per Barrel menjadi simbol dari minyak yang ada di dalam bumi lantaran kerap digunakan sebagai wadahnya. Sementara itu, knalpot merupakan simbol industri otomotif di dalam negeri yang dekat dengan banyak masyarakat.
Ade menginginkan ingin penikmat seni merasakan perasaan industrial dari culture oil based yang kini ada dalam setiap elemen kehidupan masyarakat. “Saya membayangkan destilasi mechanism industrial dan banyak ironi karena menghasilkan wewangian,” katanya.
Knalpot yang ada dalam karya menjadi bagian dalam culture industri otomotif di masyarakat urban atau pun rural pada saat ini. Tidak hanya pabrika besar, desain unik knalpot yang ada juga menggambarkan bahwa bengkel-bengkel kecil juga memproduksinya, sehingga ada sentuhan personal di dalamnya.
Karya yang menunjukkan budaya industri tersebut menggambarkan masyarakat yang seolah-olah tidak bisa keluar darinya dan hampir tidak mungkin membayangkan kehidupan tanpanya. Namun, hasil ekstraksi alam itu juga tidak dapat dimungkiri menghasilkan sesuatu yang harum.
Ironi lain juga terdapat dalam karya berjudul Flavonoid Nanospray (2024) dengan medium oil barrel, gas, stove, cloves, dan pandan. Lewat karya ini, sang seniman menunjukkan bahwa sesuatu yang sangat eksploitatif menghasilkan sesuatu yang dianggap bisa menyembuhkan.
Media seperti pandan dan cengkeh yang terdapat di dalam karya dianggap memiliki kandungan antioksidan yang bagus untuk kesehatan.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
Secara keseluruhan, sang seniman ingin memperlihatkan hubungan antara manusia dan alam yang sangat ekstraktif melalui pameran tunggal Water Resistance. Dia ingin memperlihatkan aktivitas manusia terhadap alam dengan cara yang paling sederhana.
“Tidak hanya mengekstraksi, tapi, budaya yang kita ambil sekarang. Kita oil based culture. Semua yang kita pakai sumbernya oil based, plastik, linen, dan sebagainya. Semua berasal dari fosil dan oil based material,” ujarnya.
Karya-karya seni instalasi dalam pameran tunggal bertajuk Water Resistance merupakan hasil riset sang seniman beberapa tahun lalu setelah membaca novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Arus Balik.
Buat sang seniman, Pramoedya ingin berbicara tentang perubahan Indonesia dari maritim ke kondisi yang sekarang. “Dia [Pramoedya] sedang mengkritik land based culture kita yang mengeksploitasi darat,” ujarnya.
Alasan sang seniman memilih karya dari penulis Pramoedya Ananta Toer juga karena sang penulis adalah individu yang hidup di beberapa generasi dan korban rezim pemerintah. Sang penulis lewat bukunya mengangkat perubahan itu lantaran banyak konsep mengalami perubahan pada 1960an.
Eksplorasi daratan kian terjadi kala Soeharto menjadi presiden Indonesia. Beberapa tahun setelah menjadi orang nomor satu di negara martim ini, Soeharto menandatangani investasi asing Freeport di Indonesia. Investasi asing yang terjadi di dalam negeri masih kerap terjadi sampai saat ini.
Dia berharap karya instalasi dalam pameran Water Resistance bisa menginspirasi bagi banyak orang terhadap pertanyaan penting lainnya selain mengungkapkan ironi bahwa banyak orang tidak bisa keluar dari kenyataan tentang kehidupan yang sangat terikat dengan culture oil based.
Pertanyaan penting itu seperti cara hidup masyarakat dan eksploitasi alam dalam kehidupan sehari-hari. Dia menuturkan bahwa air yang ada dalam karya-karya instalasi di pameran menjadi sesuatu yang baru.
“[Air] Dealing sama sesuatu yang bukan solid material, dia berubah. Saya banyak belajar ketika air berubah menjadi uap. Kemudian, air memiliki hukum fisika dan kimia tertentu,” katanya.
Bagi Ade, air dalam kehidupan banyak masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang selalu “dibelakangi” atau tidak dihargai. Air menjadi tempat pembuangan sampah, limbah, dan sebagainya. Menurutnya, kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan individu di banyak negara.
Sebagai contoh, ketika bicara kehidupan di pinggir sungai di luar negeri, banyak orang akan melihat keindahan dan kenyamanan. Namun, tidak jika di Indonesia. Kehidupan di pinggir kali atau sungai akan identik dengan kehidupan yang kumuh.
Baca juga: 6 Karya Reflektif tentang Peristiwa Sejarah Kelam Indonesia Hadir di Pameran Patung dan Aktivisme
Pada saat ini, sejumlah daerah di Indonesia memang masih memiliki budaya air yang kuat. Namun, budaya itu perlahan mulai terkikis lantaran limbah sampah yang mulai mengotori sungai dan laut. Ikan-ikan yang biasa hidup di perairan mati karena sampah.
Perlakuan banyak orang terhadap air memperlihatkan bahwa individu di Indonesia tidak menjadi orang yang seharusnya tinggal di negara maritim.
Editor: Fajar Sidik
Wangi-wangian rempah seperti cengkih, pala, dan sebaagainya yang tercium merupakan hasil dari karya instalasi seniman Ade Darmawan berjudul Moralitas Molaritas per Barrel (2024) dan karya lainnya dalam pameran tunggal bertajuk Water Resistance yang berlangsung sampai 4 Agustus 2024.
Baca juga: Menyelisik Kolaborasi Manis Tiga Dara dalam Pameran Ad Maiora
Harum bunga dan rempah dari karya seni instalasi di ROH Gallery itu menjadi ironi lantaran keluar dari benda-benda seperti drum minyak dan knalpot kendaraan yang digunakan oleh sang seniman Ade Darmawan.
Karya seni instalasi seniman Ade Darmawan (Sumber gambar: Hyepabis.id/ Yudi Supriyanto)
Drum-drum dalam karya Moralitas Moralitas per Barrel menjadi simbol dari minyak yang ada di dalam bumi lantaran kerap digunakan sebagai wadahnya. Sementara itu, knalpot merupakan simbol industri otomotif di dalam negeri yang dekat dengan banyak masyarakat.
Ade menginginkan ingin penikmat seni merasakan perasaan industrial dari culture oil based yang kini ada dalam setiap elemen kehidupan masyarakat. “Saya membayangkan destilasi mechanism industrial dan banyak ironi karena menghasilkan wewangian,” katanya.
Knalpot yang ada dalam karya menjadi bagian dalam culture industri otomotif di masyarakat urban atau pun rural pada saat ini. Tidak hanya pabrika besar, desain unik knalpot yang ada juga menggambarkan bahwa bengkel-bengkel kecil juga memproduksinya, sehingga ada sentuhan personal di dalamnya.
Karya yang menunjukkan budaya industri tersebut menggambarkan masyarakat yang seolah-olah tidak bisa keluar darinya dan hampir tidak mungkin membayangkan kehidupan tanpanya. Namun, hasil ekstraksi alam itu juga tidak dapat dimungkiri menghasilkan sesuatu yang harum.
Ironi lain juga terdapat dalam karya berjudul Flavonoid Nanospray (2024) dengan medium oil barrel, gas, stove, cloves, dan pandan. Lewat karya ini, sang seniman menunjukkan bahwa sesuatu yang sangat eksploitatif menghasilkan sesuatu yang dianggap bisa menyembuhkan.
Media seperti pandan dan cengkeh yang terdapat di dalam karya dianggap memiliki kandungan antioksidan yang bagus untuk kesehatan.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
Secara keseluruhan, sang seniman ingin memperlihatkan hubungan antara manusia dan alam yang sangat ekstraktif melalui pameran tunggal Water Resistance. Dia ingin memperlihatkan aktivitas manusia terhadap alam dengan cara yang paling sederhana.
“Tidak hanya mengekstraksi, tapi, budaya yang kita ambil sekarang. Kita oil based culture. Semua yang kita pakai sumbernya oil based, plastik, linen, dan sebagainya. Semua berasal dari fosil dan oil based material,” ujarnya.
Karya-karya seni instalasi dalam pameran tunggal bertajuk Water Resistance merupakan hasil riset sang seniman beberapa tahun lalu setelah membaca novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Arus Balik.
Buat sang seniman, Pramoedya ingin berbicara tentang perubahan Indonesia dari maritim ke kondisi yang sekarang. “Dia [Pramoedya] sedang mengkritik land based culture kita yang mengeksploitasi darat,” ujarnya.
Karya seni instalasi seniman Ade Darmawan (Sumber gambar: Hypeabis.id/ Yudi Supriyanto)
Alasan sang seniman memilih karya dari penulis Pramoedya Ananta Toer juga karena sang penulis adalah individu yang hidup di beberapa generasi dan korban rezim pemerintah. Sang penulis lewat bukunya mengangkat perubahan itu lantaran banyak konsep mengalami perubahan pada 1960an.
Eksplorasi daratan kian terjadi kala Soeharto menjadi presiden Indonesia. Beberapa tahun setelah menjadi orang nomor satu di negara martim ini, Soeharto menandatangani investasi asing Freeport di Indonesia. Investasi asing yang terjadi di dalam negeri masih kerap terjadi sampai saat ini.
Dia berharap karya instalasi dalam pameran Water Resistance bisa menginspirasi bagi banyak orang terhadap pertanyaan penting lainnya selain mengungkapkan ironi bahwa banyak orang tidak bisa keluar dari kenyataan tentang kehidupan yang sangat terikat dengan culture oil based.
Pertanyaan penting itu seperti cara hidup masyarakat dan eksploitasi alam dalam kehidupan sehari-hari. Dia menuturkan bahwa air yang ada dalam karya-karya instalasi di pameran menjadi sesuatu yang baru.
“[Air] Dealing sama sesuatu yang bukan solid material, dia berubah. Saya banyak belajar ketika air berubah menjadi uap. Kemudian, air memiliki hukum fisika dan kimia tertentu,” katanya.
Bagi Ade, air dalam kehidupan banyak masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang selalu “dibelakangi” atau tidak dihargai. Air menjadi tempat pembuangan sampah, limbah, dan sebagainya. Menurutnya, kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan individu di banyak negara.
Sebagai contoh, ketika bicara kehidupan di pinggir sungai di luar negeri, banyak orang akan melihat keindahan dan kenyamanan. Namun, tidak jika di Indonesia. Kehidupan di pinggir kali atau sungai akan identik dengan kehidupan yang kumuh.
Baca juga: 6 Karya Reflektif tentang Peristiwa Sejarah Kelam Indonesia Hadir di Pameran Patung dan Aktivisme
Pada saat ini, sejumlah daerah di Indonesia memang masih memiliki budaya air yang kuat. Namun, budaya itu perlahan mulai terkikis lantaran limbah sampah yang mulai mengotori sungai dan laut. Ikan-ikan yang biasa hidup di perairan mati karena sampah.
Perlakuan banyak orang terhadap air memperlihatkan bahwa individu di Indonesia tidak menjadi orang yang seharusnya tinggal di negara maritim.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.