Hypereport: Merancang Model Pinjaman Biaya Pendidikan Ideal di Indonesia
29 July 2024 |
10:55 WIB
Awalnya, Dian—bukan nama sebenarnya—berkuliah berbekal biaya dari kedua orang tuanya. Namun, semenjak semester dua, karena satu kendala, dia terpaksa menanggung sendiri seluruh biaya kuliah dan kebutuhan sehari-harinya. Oleh sebab itu, dia harus mengambil pekerjaan sampingan di tengah kesibukannya berkuliah.
Perempuan berusia 23 tahun tersebut merupakan mahasiswa salah satu kampus ternama di Jawa Barat. Tiap semesternya, Dian harus membayar uang kuliah sekitar Rp4 juta. Angka itu belum termasuk kebutuhan sehari-hari untuk dirinya dan adiknya. Diakuinya, dengan kerja yang dia lakukan setiap hari, upahnya tak mencukupi untuk menutup semua kebutuhan.
Dian menutup kekurangan itu dengan meminjam uang kepada salah satu kerabatnya. Namun, dia tak berani lagi meminjam uang ke kerabatnya lantaran sempat cekcok. Alhasil, impitan kebutuhan ekonomi membuatnya terpaksa mengambil pinjaman online (pinjol), meskipun dia sempat takut tidak bisa melunasi pinjaman dengan bunga relatif besar tersebut.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Kampus dalam Polemik UKT & Tuntutan Peningkatan Mutu Pendidikan
2. Hypereport: 7 Universitas di Dunia Tawarkan Beasiswa Penuh Kuliah & Biaya Hidup Gratis
"Kalau dihitung tuh bunganya kaya minjem Rp3 juta, balikinnya Rp4,5 juta. Awalnya tuh takut, tapi ya gimana lagi, kepepet ya kan. Jadi ya sudahlah," katanya kepada Hypeabis.id.
Mengajukan pinjol ditempuh Dian setelah dia merasa mengajukan keringanan biaya semester kuliah ke pihak kampus terasa sia-sia. Proses penurunan biaya dinilai panjang, berbelit, dan kecil kemungkinan disetujui. "Kampus taunya yang penting kita bayar, sekalipun kita bilang pakai pinjol," ucapnya.
Hingga kini, Dian masih terlilit utang pinjol. Dalam satu bulan, dia setidaknya harus membayar cicilan Rp4 juta dari dua platform penyedia pinjaman. Uang itu tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk biaya kuliah adiknya.
Di sisi lain, semenjak aktif meminjam uang dari layanan pinjol, dia juga mengaku banyak nomor tidak kenal yang menghubunginya. Nomor-nomor tidak dikenal itu berusaha menawarkan paket-paket pinjaman baru. Bahkan, tidak sedikit nomor yang diduga kuat punya niat untuk melakukan penipuan.
Nasib serupa juga dialami oleh Ridho—bukan nama sebenarnya—salah satu mahasiswa di kampus negeri di Solo yang juga pernah mengalami pahitnya terjebak pinjol. Awalnya, dia hanya meminjam uang dengan nilai yang sedikit dari satu aplikasi pinjol.
Namun, karena kendala ekonomi, dia terpaksa membayar tagihan pinjol dengan meminjam uang dari aplikasi yang berbeda, gali lubang tutup lubang. Pada akhirnya dia terjebak meminjam uang secara terus-menerus dari tiga aplikasi berbeda. "Tiap harinya kan kena bunga terus itu kalau terlambat. Kurang lebih Rp15 ribu per hari," ucapnya.
Setidaknya selama empat tahun uang yang dikeluarkan Ridho untuk membayar pinjol tiap bulannya sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Tak hanya merasakan bunga yang terus naik, dia juga sempat diteror oleh para penagih utang. Selain itu, nomor penjamin yang dia sertakan saat mendaftar pinjol juga diteror.
Kasus yang dialami oleh dua mahasiswa di atas hanyalah bagian kecil dari kenyataan banyaknya mahasiswa yang terjerat lilitan utang pinjol demi mengejar pendidikan tinggi. Biaya kuliah yang kian mahal kini menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh sebagian besar mahasiswa di Indonesia.
Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Dipaparkan, laju kenaikan biaya kuliah per tahun yakni sekitar 1,3 persen untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96 persen untuk kampus swasta (PTS), mengalahkan laju kenaikan pendapatan lulusan SMA yakni 3,8 persen maupun sarjana (2,7 persen).
Data tersebut menggambarkan adanya ancaman akses pendidikan tinggi di kalangan masyarakat saat ini, juga di masa depan. Sebagai ilustrasi, orang tua bergelar sarjana yang melahirkan bayi pada 2024, misalnya, diperkirakan kelak hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama enam semester pada 2040. Sementara itu, lulusan SMA hanya bisa membiayai tiga dari delapan semester kuliah anaknya.
Di tengah kondisi itu, muncul tren kerja sama perguruan tinggi dengan platform pinjol pendidikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi tunggakan pembayaran biaya kuliah mahasiswa. Namun, hal itu menuai polemik lantaran banyaknya mahasiswa yang mengaku masih kesulitan untuk membayar tunggakan pinjaman, hingga terancam tidak bisa melanjutkan studinya.
Belakangan, wacana untuk mengembangkan student loan atau pinjaman biaya pendidikan di Indonesia mengemuka sebagai solusi. Salah satu skema yang mencuat ialah sistem income contingent loan yang banyak dipraktikkan di negara maju. Skema yang berbasis pendapatan ini dinilai bisa menjamin keterjangkauan, pemerataan akses, dan kemudahan pembayaran, sehingga sangat mungkin diterapkan di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito menjelaskan income contingent loan atau model pinjaman berbasis pendapatan tergolong sebagai pinjaman lunak.
Dalam artian, pengembaliannya dilakukan ketika peminjam telah menyelesaikan studinya, bekerja, dan mendapatkan penghasilan. "Jadi mulai tahun kedua setelah lulus itu mulai melakukan pembayaran," katanya dalam webinar bertajuk Biaya Kuliah Tinggi, Pinjaman Pendidikan Jadi Solusi?, baru-baru ini.
Pada model pinjaman berbasis pendapatan, beban pembayaran pinjaman diatur pada angka yang seimbang dengan pendapatan. Pada model ini, pembayaran pinjaman dimulai setelah pendapatan mencapai suatu angka minimum tertentu yang biasanya ditentukan sebagai pendapatan sebagian besar lulusan S-1.
Hal ini berarti bahwa makin besar pendapatan seseorang, makin cepat dia bisa melunasi pinjamannya. Sebaliknya, ketika peminjam menghadapi kesulitan ekonomi, maka secara otomatis peminjam memperoleh keringanan atau dapat menunda pembayaran utang. Periode pinjaman dapat berkisar 20–25 tahun, tergantung pada skema pembayaran utang. Jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah pun dapat dikalkulasi dengan terperinci.
Warsito menjelaskan berbagai skema pinjaman pun telah dikaji oleh pemerintah. Skema pertama mirip dengan cicilan kredit mikro, mahasiswa dapat meminjam dana dan mengembalikannya secara mencicil setelah mereka bekerja dengan baik. Sementara skema kedua melibatkan pihak ketiga untuk dana bergulir, seperti corporate social responsibility (CSR) dan filantropi, yang menyediakan dana tanpa bunga untuk mahasiswa.
Kajian intensif pun dilakukan oleh pemerintah dan sejumlah pihak terkait. Pasalnya, skema pinjaman seperti ini pernah diberlakukan pada era 1980-an di Indonesia yakni program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Namun, program itu tidak berjalan.
Faktor utamanya ialah sulitnya pengembalian dana dari para mahasiswa setelah lulus kuliah. Model pinjaman mahasiswa seperti ini memang memerlukan sistem pelacakan
pendapatan yang berjalan dengan baik.
Menurutnya, skema pinjaman berbasis pendapatan bisa berjalan efektif jika didukung dengan tata kelola yang baik dan kesatuan data yang valid. "Tentu belajar dari situ, kami membuat beberapa skenario tata kelola, termasuk penyatuan data NIK, memperkuat database, hingga bekerja sama dengan ikatan alumni, sehingga tertilisik dengan baik sebagaimana di negara-negara maju," katanya.
Peneliti dari University of Bonn, Elza Emira, mengatakan gagalnya program KMI yang sempat dijalankan pada 1980-an, disebabkan oleh banyak faktor seperti sistem perpajakan dan sistem pendataan penduduk yang belum berjalan dengan baik. Hal-hal itu lah yang membuat tingkat kegagalan mahasiswa membayar pinjaman kala itu cukup besar mencapai 90 persen.
Oleh karena itu, menurutnya, salah satu hal yang paling penting dalam pelaksanaan pinjaman berbasis pendapatan untuk mahasiswa adalah sistem untuk bisa melacak (tracking) peminjam ketika mereka sudah lulus.
"Saya yakin dengan sistem data kependudukan kita sekarang yang sudah maju dan sistem perpajakan yang sudah jauh lebih baik, pinjaman berbasis pendapatan ini adalah skema yang sangat bisa untuk diterapkan di Indonesia," katanya.
Elza menilai model income contingent loan bisa menggantikan pinjaman pendidikan dengan sistem hipotek. Pada sistem hipotek, biasanya jumlah dan waktu pembayarannya sudah ditentukan, sehingga membuat peminjam rentan mengalami gagal bayar. Sementara pada model income contingent loan, mahasiswa penerima utang akan membayar dengan waktu dan besarannya disesuaikan dengan penghasilan nanti setelah lulus dan bekerja.
Lebih lanjut, skema income contingent loan juga tidak mengenal istilah kredit macet atau gagal bayar, sehingga membuat nama peminjam relatif aman di BI checking. Skema ini membuat mahasiswa peminjam bisa menyesuaikan angsuran pembayaran dengan penghasilan yang didapat.
Beban pembayaran utang pada sistem income contingent loan yang berlaku di negara-negara maju biasanya ditetapkan dalam regulasi resmi dari pemerintah, yakni berkisar 8 persen-11 persen dari total pendapatan peminjam. Dengan begitu, peminjam masih bisa mengelola pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
“Karena model bayarnya disesuaikan dengan penghasilan. Ketika pendapatannya tinggi, tapi ketika pendapatannya tidak mencapai angka minimum untuk pembayaran utang, maka dia dibebaskan dari bayar utang pada saat itu. Dengan begitu, peminjam tidak akan mengalami kesulitan ekonomi akibat membayar utang," jelasnya.
Warsito menjelaskan skema pinjaman berbasis pendapatan yang tengah digodok pemerintah menyasar mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Mereka yang tidak tergolong berhak mendapatkan bantuan KIP-Kuliah, tetapi juga kesulitan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi lantaran terhambat biaya.
Nilai pinjamannya juga akan fleksibel atau adaptif terhadap angka kebutuhan mahasiswa di masing-masing daerah di Indonesia sesuai dengan UMR yang berlaku, serta menyesuaikan dengan nilai besaran UKT yang berbeda-beda di sejumlah kampus di Indonesia. Termasuk, waktu peminjamannya juga bisa fleksibel bisa diajukan kapan saja dan untuk keperluan apa saja guna menunjang studi.
"Jadi nanti nilainya bisa fleksibel per kepala per pengajuan, persis sifatnya seperti pinjaman. Jadi sesuai dengan kebutuhan yang diperkirakan oleh yang bersangkutan. Konsep adaptif inilah yang saat ini intens kami bahas, termasuk bagaimana peran pihak-pihak di luar pemerintah seperti perbankan," ucapnya.
Terkait sumber pendanaan skema pinjaman berbasis pendapatan, Warsito mengatakan pihaknya tengah mengkaji beberapa skenario, mulai dari melibatkan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), perbankan, badan layanan umum (BLU) hingga memanfaatkan program CSR atau filantropi dari pihak swasta yang memfokuskan diri pada bidang pendidikan.
"Tentu nanti akan diatur dalam regulasi yang tengah berproses bagaimana bentuknya. Termasuk mengatur agar fasilitas pinjaman ini tidak tumpang tindih dengan program lain yang tengah berjalan seperti KIP Kuliah dan beasiswa lainnya," kata Warsito.
Dia menambahkan skema income contingent loan akan sejalan dengan program pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK-PT). Selain mengatasi mahasiswa yang kesulitan biaya, skema pinjaman ini juga menjadi bagian dari upaya mengejar tingkat pendidikan SDM Indonesia agar tidak tertinggal dari negara tetangga.
Merujuk data Kemendikbudristek, APK-PT pada 2024 adalah 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen). Salah satu faktor utamanya adalah masalah eknomi alias biaya yang mahal.
"Kami ingin melakukan akselerasi untuk mencapai target angka APK-PT sebesar 60 persen pada 2045. Oleh karena itu, berbagai skenario terkait pinjaman ini sedang kami kaji dan siapkan," terang Warsito.
Namun, wacana untuk menggandeng pihak swasta lewat program filantropi sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman ini dinilai kurang maksimal untuk mendorong target peningkatan APK-PT. Elza menuturkan, program filantropi yang dilakukan oleh pihak swasta biasanya hanya menyasar kalangan pelajar dengan kualifikasi terbaik. Sedangkan, peningkatan APK-PT merujuk pada populasi secara umum.
Dia berpendapat program income contingent loan bisa dimaksimalkan dengan bersumber dari dana APBN. Meskipun saat ini jumlah APBN untuk pendidikan tinggi terbilang masih sangat terbatas. Hanya berkisar 1,6 persen dari 20 persen keseluruhan APBN yang dialokasikan untuk pendidikan.
Menurutnya, dengan skema pinjaman pendidikan, pemerintah dapat memberikan subsidi dana dengan lebih tepat dan dalam jumlah yang lebih masif. Sebab, skema income contingent loan memungkinkan perputaran APBN yang akan kembali lagi pada pemerintah, yang bisa digunakan kembali oleh pelajar berikutnya.
Sebab, skema pinjaman lunak dengan bunga yang sangat rendah tidak terlepas dari subsidi pemerintah. Artinya, pemerintah membayar sebagian dari utang pinjaman, atau biaya-biaya administratif dari pinjaman. Hal ini disebut sebagai implisit subsidy.
Elza menjelaskan untuk kalangan peminjam yang mendapatkan penghasilan tinggi setelah lulus, pemerintah bisa memberikan subsidi maksimal 12 persen. Sementara untuk mereka dari kalangan yang sangat bawah, bisa disubsidi sebesar 45 persen atau hampir setengah dari utang.
"Kalau beasiswa hanya bisa dikasih ke satu orang, tapi dengan student loan, ini bisa dikasih ke dua orang. Karena pemerintah menanggung subsidinya di 45 persen dari utangnya, dana itu akan kembali setelah kekurangannya di-cover pemerintah. Jadi bisa lebih banyak yang ke-cover oleh alokasi APBN untuk pendidikan tinggi ini," katanya.
Dia menambahkan untuk menyiapkan skema income contingent loan, pemerintah harus menyiapkan sistem data yang proporsional sehingga bisa melacak peminjam dengan baik untuk menghindari terjadinya gagal bayar. Hal ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan dengan sistem pembayaran pajak, seperti yang berlaku di negara-negara Eropa.
"Jadi pembayarannya nanti akan langsung dipotong otomatis dari penghasilan peminjam, seperti kalau bayar BPJS. Jadi peminjam sudah terlacak dari NIK dan nomor NPWP untuk mereka yang kerja di sektor formal. Nah, tantangannya untuk pemerintah adalah bagaimana skema untuk mereka yang bekerja di sektor informal," katanya.
Baca juga: Fakta-fakta Student Loan di Negara Maju, Mahasiswa Wajib Tahu
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Perempuan berusia 23 tahun tersebut merupakan mahasiswa salah satu kampus ternama di Jawa Barat. Tiap semesternya, Dian harus membayar uang kuliah sekitar Rp4 juta. Angka itu belum termasuk kebutuhan sehari-hari untuk dirinya dan adiknya. Diakuinya, dengan kerja yang dia lakukan setiap hari, upahnya tak mencukupi untuk menutup semua kebutuhan.
Dian menutup kekurangan itu dengan meminjam uang kepada salah satu kerabatnya. Namun, dia tak berani lagi meminjam uang ke kerabatnya lantaran sempat cekcok. Alhasil, impitan kebutuhan ekonomi membuatnya terpaksa mengambil pinjaman online (pinjol), meskipun dia sempat takut tidak bisa melunasi pinjaman dengan bunga relatif besar tersebut.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Dilema Kampus dalam Polemik UKT & Tuntutan Peningkatan Mutu Pendidikan
2. Hypereport: 7 Universitas di Dunia Tawarkan Beasiswa Penuh Kuliah & Biaya Hidup Gratis
"Kalau dihitung tuh bunganya kaya minjem Rp3 juta, balikinnya Rp4,5 juta. Awalnya tuh takut, tapi ya gimana lagi, kepepet ya kan. Jadi ya sudahlah," katanya kepada Hypeabis.id.
Mengajukan pinjol ditempuh Dian setelah dia merasa mengajukan keringanan biaya semester kuliah ke pihak kampus terasa sia-sia. Proses penurunan biaya dinilai panjang, berbelit, dan kecil kemungkinan disetujui. "Kampus taunya yang penting kita bayar, sekalipun kita bilang pakai pinjol," ucapnya.
Hingga kini, Dian masih terlilit utang pinjol. Dalam satu bulan, dia setidaknya harus membayar cicilan Rp4 juta dari dua platform penyedia pinjaman. Uang itu tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk biaya kuliah adiknya.
Di sisi lain, semenjak aktif meminjam uang dari layanan pinjol, dia juga mengaku banyak nomor tidak kenal yang menghubunginya. Nomor-nomor tidak dikenal itu berusaha menawarkan paket-paket pinjaman baru. Bahkan, tidak sedikit nomor yang diduga kuat punya niat untuk melakukan penipuan.
Nasib serupa juga dialami oleh Ridho—bukan nama sebenarnya—salah satu mahasiswa di kampus negeri di Solo yang juga pernah mengalami pahitnya terjebak pinjol. Awalnya, dia hanya meminjam uang dengan nilai yang sedikit dari satu aplikasi pinjol.
Namun, karena kendala ekonomi, dia terpaksa membayar tagihan pinjol dengan meminjam uang dari aplikasi yang berbeda, gali lubang tutup lubang. Pada akhirnya dia terjebak meminjam uang secara terus-menerus dari tiga aplikasi berbeda. "Tiap harinya kan kena bunga terus itu kalau terlambat. Kurang lebih Rp15 ribu per hari," ucapnya.
Setidaknya selama empat tahun uang yang dikeluarkan Ridho untuk membayar pinjol tiap bulannya sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Tak hanya merasakan bunga yang terus naik, dia juga sempat diteror oleh para penagih utang. Selain itu, nomor penjamin yang dia sertakan saat mendaftar pinjol juga diteror.
Kasus yang dialami oleh dua mahasiswa di atas hanyalah bagian kecil dari kenyataan banyaknya mahasiswa yang terjerat lilitan utang pinjol demi mengejar pendidikan tinggi. Biaya kuliah yang kian mahal kini menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh sebagian besar mahasiswa di Indonesia.
Biaya Kuliah Terus Naik
Laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kenaikan biaya kuliah di Indonesia sulit diimbangi oleh peningkatan gaji masyarakat. Dipaparkan, laju kenaikan biaya kuliah per tahun yakni sekitar 1,3 persen untuk kampus negeri (PTN) dan 6,96 persen untuk kampus swasta (PTS), mengalahkan laju kenaikan pendapatan lulusan SMA yakni 3,8 persen maupun sarjana (2,7 persen).Data tersebut menggambarkan adanya ancaman akses pendidikan tinggi di kalangan masyarakat saat ini, juga di masa depan. Sebagai ilustrasi, orang tua bergelar sarjana yang melahirkan bayi pada 2024, misalnya, diperkirakan kelak hanya cukup untuk membiayai kuliah anaknya selama enam semester pada 2040. Sementara itu, lulusan SMA hanya bisa membiayai tiga dari delapan semester kuliah anaknya.
Di tengah kondisi itu, muncul tren kerja sama perguruan tinggi dengan platform pinjol pendidikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi tunggakan pembayaran biaya kuliah mahasiswa. Namun, hal itu menuai polemik lantaran banyaknya mahasiswa yang mengaku masih kesulitan untuk membayar tunggakan pinjaman, hingga terancam tidak bisa melanjutkan studinya.
Belakangan, wacana untuk mengembangkan student loan atau pinjaman biaya pendidikan di Indonesia mengemuka sebagai solusi. Salah satu skema yang mencuat ialah sistem income contingent loan yang banyak dipraktikkan di negara maju. Skema yang berbasis pendapatan ini dinilai bisa menjamin keterjangkauan, pemerataan akses, dan kemudahan pembayaran, sehingga sangat mungkin diterapkan di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito menjelaskan income contingent loan atau model pinjaman berbasis pendapatan tergolong sebagai pinjaman lunak.
Dalam artian, pengembaliannya dilakukan ketika peminjam telah menyelesaikan studinya, bekerja, dan mendapatkan penghasilan. "Jadi mulai tahun kedua setelah lulus itu mulai melakukan pembayaran," katanya dalam webinar bertajuk Biaya Kuliah Tinggi, Pinjaman Pendidikan Jadi Solusi?, baru-baru ini.
Pada model pinjaman berbasis pendapatan, beban pembayaran pinjaman diatur pada angka yang seimbang dengan pendapatan. Pada model ini, pembayaran pinjaman dimulai setelah pendapatan mencapai suatu angka minimum tertentu yang biasanya ditentukan sebagai pendapatan sebagian besar lulusan S-1.
Hal ini berarti bahwa makin besar pendapatan seseorang, makin cepat dia bisa melunasi pinjamannya. Sebaliknya, ketika peminjam menghadapi kesulitan ekonomi, maka secara otomatis peminjam memperoleh keringanan atau dapat menunda pembayaran utang. Periode pinjaman dapat berkisar 20–25 tahun, tergantung pada skema pembayaran utang. Jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah pun dapat dikalkulasi dengan terperinci.
Warsito menjelaskan berbagai skema pinjaman pun telah dikaji oleh pemerintah. Skema pertama mirip dengan cicilan kredit mikro, mahasiswa dapat meminjam dana dan mengembalikannya secara mencicil setelah mereka bekerja dengan baik. Sementara skema kedua melibatkan pihak ketiga untuk dana bergulir, seperti corporate social responsibility (CSR) dan filantropi, yang menyediakan dana tanpa bunga untuk mahasiswa.
Kajian intensif pun dilakukan oleh pemerintah dan sejumlah pihak terkait. Pasalnya, skema pinjaman seperti ini pernah diberlakukan pada era 1980-an di Indonesia yakni program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Namun, program itu tidak berjalan.
Faktor utamanya ialah sulitnya pengembalian dana dari para mahasiswa setelah lulus kuliah. Model pinjaman mahasiswa seperti ini memang memerlukan sistem pelacakan
pendapatan yang berjalan dengan baik.
Menurutnya, skema pinjaman berbasis pendapatan bisa berjalan efektif jika didukung dengan tata kelola yang baik dan kesatuan data yang valid. "Tentu belajar dari situ, kami membuat beberapa skenario tata kelola, termasuk penyatuan data NIK, memperkuat database, hingga bekerja sama dengan ikatan alumni, sehingga tertilisik dengan baik sebagaimana di negara-negara maju," katanya.
Peneliti dari University of Bonn, Elza Emira, mengatakan gagalnya program KMI yang sempat dijalankan pada 1980-an, disebabkan oleh banyak faktor seperti sistem perpajakan dan sistem pendataan penduduk yang belum berjalan dengan baik. Hal-hal itu lah yang membuat tingkat kegagalan mahasiswa membayar pinjaman kala itu cukup besar mencapai 90 persen.
Oleh karena itu, menurutnya, salah satu hal yang paling penting dalam pelaksanaan pinjaman berbasis pendapatan untuk mahasiswa adalah sistem untuk bisa melacak (tracking) peminjam ketika mereka sudah lulus.
"Saya yakin dengan sistem data kependudukan kita sekarang yang sudah maju dan sistem perpajakan yang sudah jauh lebih baik, pinjaman berbasis pendapatan ini adalah skema yang sangat bisa untuk diterapkan di Indonesia," katanya.
Elza menilai model income contingent loan bisa menggantikan pinjaman pendidikan dengan sistem hipotek. Pada sistem hipotek, biasanya jumlah dan waktu pembayarannya sudah ditentukan, sehingga membuat peminjam rentan mengalami gagal bayar. Sementara pada model income contingent loan, mahasiswa penerima utang akan membayar dengan waktu dan besarannya disesuaikan dengan penghasilan nanti setelah lulus dan bekerja.
Lebih lanjut, skema income contingent loan juga tidak mengenal istilah kredit macet atau gagal bayar, sehingga membuat nama peminjam relatif aman di BI checking. Skema ini membuat mahasiswa peminjam bisa menyesuaikan angsuran pembayaran dengan penghasilan yang didapat.
Beban pembayaran utang pada sistem income contingent loan yang berlaku di negara-negara maju biasanya ditetapkan dalam regulasi resmi dari pemerintah, yakni berkisar 8 persen-11 persen dari total pendapatan peminjam. Dengan begitu, peminjam masih bisa mengelola pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
“Karena model bayarnya disesuaikan dengan penghasilan. Ketika pendapatannya tinggi, tapi ketika pendapatannya tidak mencapai angka minimum untuk pembayaran utang, maka dia dibebaskan dari bayar utang pada saat itu. Dengan begitu, peminjam tidak akan mengalami kesulitan ekonomi akibat membayar utang," jelasnya.
Pinjaman yang Adaptif
Warsito menjelaskan skema pinjaman berbasis pendapatan yang tengah digodok pemerintah menyasar mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Mereka yang tidak tergolong berhak mendapatkan bantuan KIP-Kuliah, tetapi juga kesulitan untuk menyelesaikan pendidikan tinggi lantaran terhambat biaya.Nilai pinjamannya juga akan fleksibel atau adaptif terhadap angka kebutuhan mahasiswa di masing-masing daerah di Indonesia sesuai dengan UMR yang berlaku, serta menyesuaikan dengan nilai besaran UKT yang berbeda-beda di sejumlah kampus di Indonesia. Termasuk, waktu peminjamannya juga bisa fleksibel bisa diajukan kapan saja dan untuk keperluan apa saja guna menunjang studi.
"Jadi nanti nilainya bisa fleksibel per kepala per pengajuan, persis sifatnya seperti pinjaman. Jadi sesuai dengan kebutuhan yang diperkirakan oleh yang bersangkutan. Konsep adaptif inilah yang saat ini intens kami bahas, termasuk bagaimana peran pihak-pihak di luar pemerintah seperti perbankan," ucapnya.
Terkait sumber pendanaan skema pinjaman berbasis pendapatan, Warsito mengatakan pihaknya tengah mengkaji beberapa skenario, mulai dari melibatkan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), perbankan, badan layanan umum (BLU) hingga memanfaatkan program CSR atau filantropi dari pihak swasta yang memfokuskan diri pada bidang pendidikan.
"Tentu nanti akan diatur dalam regulasi yang tengah berproses bagaimana bentuknya. Termasuk mengatur agar fasilitas pinjaman ini tidak tumpang tindih dengan program lain yang tengah berjalan seperti KIP Kuliah dan beasiswa lainnya," kata Warsito.
Dia menambahkan skema income contingent loan akan sejalan dengan program pemerintah yang berkomitmen untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK-PT). Selain mengatasi mahasiswa yang kesulitan biaya, skema pinjaman ini juga menjadi bagian dari upaya mengejar tingkat pendidikan SDM Indonesia agar tidak tertinggal dari negara tetangga.
Merujuk data Kemendikbudristek, APK-PT pada 2024 adalah 39,37 persen, di bawah rata-rata global yang 40 persen. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia (43 persen), Thailand (49,29 persen), dan Singapura (91,09 persen). Salah satu faktor utamanya adalah masalah eknomi alias biaya yang mahal.
"Kami ingin melakukan akselerasi untuk mencapai target angka APK-PT sebesar 60 persen pada 2045. Oleh karena itu, berbagai skenario terkait pinjaman ini sedang kami kaji dan siapkan," terang Warsito.
Namun, wacana untuk menggandeng pihak swasta lewat program filantropi sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman ini dinilai kurang maksimal untuk mendorong target peningkatan APK-PT. Elza menuturkan, program filantropi yang dilakukan oleh pihak swasta biasanya hanya menyasar kalangan pelajar dengan kualifikasi terbaik. Sedangkan, peningkatan APK-PT merujuk pada populasi secara umum.
Dia berpendapat program income contingent loan bisa dimaksimalkan dengan bersumber dari dana APBN. Meskipun saat ini jumlah APBN untuk pendidikan tinggi terbilang masih sangat terbatas. Hanya berkisar 1,6 persen dari 20 persen keseluruhan APBN yang dialokasikan untuk pendidikan.
Menurutnya, dengan skema pinjaman pendidikan, pemerintah dapat memberikan subsidi dana dengan lebih tepat dan dalam jumlah yang lebih masif. Sebab, skema income contingent loan memungkinkan perputaran APBN yang akan kembali lagi pada pemerintah, yang bisa digunakan kembali oleh pelajar berikutnya.
Sebab, skema pinjaman lunak dengan bunga yang sangat rendah tidak terlepas dari subsidi pemerintah. Artinya, pemerintah membayar sebagian dari utang pinjaman, atau biaya-biaya administratif dari pinjaman. Hal ini disebut sebagai implisit subsidy.
Elza menjelaskan untuk kalangan peminjam yang mendapatkan penghasilan tinggi setelah lulus, pemerintah bisa memberikan subsidi maksimal 12 persen. Sementara untuk mereka dari kalangan yang sangat bawah, bisa disubsidi sebesar 45 persen atau hampir setengah dari utang.
"Kalau beasiswa hanya bisa dikasih ke satu orang, tapi dengan student loan, ini bisa dikasih ke dua orang. Karena pemerintah menanggung subsidinya di 45 persen dari utangnya, dana itu akan kembali setelah kekurangannya di-cover pemerintah. Jadi bisa lebih banyak yang ke-cover oleh alokasi APBN untuk pendidikan tinggi ini," katanya.
Dia menambahkan untuk menyiapkan skema income contingent loan, pemerintah harus menyiapkan sistem data yang proporsional sehingga bisa melacak peminjam dengan baik untuk menghindari terjadinya gagal bayar. Hal ini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan dengan sistem pembayaran pajak, seperti yang berlaku di negara-negara Eropa.
"Jadi pembayarannya nanti akan langsung dipotong otomatis dari penghasilan peminjam, seperti kalau bayar BPJS. Jadi peminjam sudah terlacak dari NIK dan nomor NPWP untuk mereka yang kerja di sektor formal. Nah, tantangannya untuk pemerintah adalah bagaimana skema untuk mereka yang bekerja di sektor informal," katanya.
Baca juga: Fakta-fakta Student Loan di Negara Maju, Mahasiswa Wajib Tahu
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.