Hypereport: Dilema Kampus dalam Polemik UKT & Tuntutan Peningkatan Mutu Pendidikan
28 July 2024 |
21:23 WIB
1
Like
Like
Like
Melongok secara historis, biaya kuliah atau yang sekarang disebut Uang Kuliah Tunggal memang menunjukkan tren kenaikan setiap tahunnya. Penyebabnya beragam, dari inflasi pendidikan hingga kebutuhan terhadap beberapa komponen baru demi menjaga mutu pembelajaran di kampus.
Pada Mei 2024 lalu, kenaikan UKT bahkan telah memicu gelombang protes dari para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi. Namun, riaknya segera mereda setelah rencana kenaikan UKT resmi dibatalkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makariem (5/7/2024).
Keberadaan uang kuliah dalam mendukung pembiayaan sebuah perguruan tinggi memang kerap jadi jejak yang rumit. Kampus kerap berada pada situasi yang sulit, terutama dalam menyeimbangkan mutu pendidikan dengan akses yang lebih inklusif.
Baca juga: Hypereport: Tren Mencari Pasangan, Dari Aplikasi Daring Kembali Ke Kencan Luring
Wakil Rektor Bidang Resiliensi Sumberdaya dan Infrastruktur Institut Pertanian Bogor (IPB) Alim Setiawan Slamet mengatakan kenaikan UKT bakal menjadi persoalan yang akan terus terjadi jika dukungan dari pemerintah masih seperti saat ini.
“Kalau dilihat dari postur anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN itu dialokasikan semuanya ke Kemendikbudristek, itu tidak akan terjadi. Akan tetapi, alokasi untuk Kemendikbudristek kan hanya Rp98 triliun dari total sekitar Rp665 triliun,” ujar Alim kepada Hypeabis.id.
Padahal, setiap tahunnya kampus membutuhkan sumber modal yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan. Dari sisi infrastruktur dan fasilitas, kampus membutuhkan peralatan pembelajaran, perawatan gedung, bahan praktikum, dan sebagainya.
Di samping itu, ada tuntutan juga peningkatan kesejahteraan dari para tenaga pendidik, para pegawai, dan lainnya. Yang paling penting, kata Alim, kampus setiap tahunnya juga selalu mengejar mutu dari penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Akibat hal tersebut, Alim menyebut kampus kini mesti lebih kreatif untuk mencari sumber-sumber pembiayaan selain dari UKT mahasiswa. Di IPB, sumber pembiayaan kampus bersumber dari tiga hal besar.
Pertama adalah UKT yang memiliki porsi 23 persen. Kedua adalah Dana dari pemerintah sebesar 30 persen. Ketiga adalah upaya kreatif universitas, seperti kerja sama, pemanfaatan aset, dan lainnya sebesar 47 persen.
"Idealnya 100 persen ditanggung pemerintah, sehingga masyarakat punya akses yang sama pada pendidikan. Adapun perguruan tinggi hanya tinggal fokus untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan lulusannya,” jelasnya.
Namun, mengingat keterbatasan anggaran yang ada, Alim memaklumi jika hal tersebut memang belum terwujud. Hal ini membuat kampus mesti ikut urun rembug dalam menambal lubang biaya tersebut dengan cara-cara lain.
Dalam praktiknya, Alim mengatakan sebisa mungkin kampus menekan sumber biaya yang berasal dari peserta didik. Sebagai gantinya, kerja sama penelitian hingga pemanfaatan aset lebih digencarkan.
“Termasuk juga, kami kolaborasi dengan alumni untuk menggalang berbagai beasiswa. Tujuannya membantu mahasiswa tidak mampu. Kami total punya 100 mitra donatur dan jumlah mahasiswa yang mendapat beasiswa itu kurang lebih 40 persen,” imbuhnya.
Di luar hal itu, dalam penerapan UKT, pihaknya juga selalu mengedepankan dialog dengan mahasiswa. Hal ini dilakukan agar besaran biaya yang ditetapkan memang sesuai dengan indikator-indikator yang tepat.
Sebelum menetapkan UKT, pihaknya akan menetapkan BKT atau biaya kuliah tunggal. BKT ini ada dasar hukumnya, yakni Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.
Ada beberapa indikatornya, dimulai dari melihat mutu terlebih dahulu. Prodi atau program studi dalam menetapkan BKT akan melihat akreditasinya, lalu fokus pembelajarannya apakah hanya keilmuan atau membutuhkan praktik. Terakhir adalah proses pembelajarannya, apakah hanya belajar di kelas atau membutuhkan kerja sama dengan pihak lain.
Dari hal tersebut, kemudian akan terpetakan besaran BKT. Setelah itu, barulah pihak kampus menetapkan UKT. Besaran UKT juga punya aturan, yakni tidak boleh melebihi BKT.
Alim mengatakan penetapan UKT kemudian akan mempertimbangkan dua hal, yakni kemauan dan kemampuan dari orang tua untuk membayar UKT tersebut. Kampus juga akan mempertimbangkannya dari pendapatan orang tua dan program studi yang dipilih. Nantinya, mahasiswa akan dikelompokkan ke dalam beberapa kategori biaya pembelajaran.
“Ada kategori 1 itu Rp500.000, kategori 2 itu Rp1 juta, sampai yang tertingginya itu kategori 7. Nah, itu disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan orang tua dalam membayar,” jelas Alim.
Di dalam proses ini, pihaknya juga selalu berdiskusi dengan mahasiswa. Misalnya, ada keberatan dari mahasiswa, akan ada proses penghitungan ulang bahkan peringanan. Kampus juga tak segan untuk mengarahkan mahasiswa ke dalam program beasiswa agar mereka bisa tetap berkuliah.
Pihaknya berkomitmen agar jangan sampai ada kasus mahasiswa yang keluar hanya gara-gara gagal membayar UKT.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pembatalan UKT pada tahun ini bersifat sementara, hanya untuk meredam aksi mahasiswa, dan tidak menyelesaikan masalah.
Pihaknya menyayangkan kebijakan Mendikbudristek ihwal pembatalan UKT ini tanpa dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek No.2 Tahun 2024 dan juga tanpa komitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjadi PTN.
Menurut Ubaid Matraji, selama UU Pendidikan Tinggi No. 12/2012 tidak dicabut, semua PTN akan berstatus menjadi PTN-BH dengan otonomi penuh, dan ini berakibat pada pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan yang menyebabkan UKT menjadi mahal.
Menurutnya, anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk dialokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Namun, hal itu urung terjadi.
“Pemerintah saat ini tak lagi menggunakan APBN untuk mensubsidi PTN-BH. Dulu, ketika masih berstatus PTN, pemerintah punya kewajiban untuk membiayai PTN supaya terjangkau dan memperluas akses. Kini, dengan status PTN-BH, pemerintah tak lagi membiayai, tapi PTN-BH harus mandiri dalam pembiayaan,” kata Ubaid.
Oleh karena itu, ketika PTN-BH tidak punya sumber pembiayaan yang mencukupi, biaya operasional kampus yang besar itu (yang dulunya ditanggung oleh negara, Red) kini mesti ditanggung oleh masyarakat melalui skema UKT. Dengan status PTN-BH, kampus dituntut mencari pembiayaan mandiri dengan melakukan usaha-usaha profit.
Baca juga: Hypereport: Gaya Lawakan Segar Komedian Muda & Ladang Baru Monetisasi Konten
Menurut Ubaid, agar berkeadilan bagi semua, pendidikan harus dikembalikan sebagai hak dasar seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan harus diletakkan sebagai public goods (barang publik), sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat.
Editor: Fajar Sidik
Pada Mei 2024 lalu, kenaikan UKT bahkan telah memicu gelombang protes dari para mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi. Namun, riaknya segera mereda setelah rencana kenaikan UKT resmi dibatalkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makariem (5/7/2024).
Keberadaan uang kuliah dalam mendukung pembiayaan sebuah perguruan tinggi memang kerap jadi jejak yang rumit. Kampus kerap berada pada situasi yang sulit, terutama dalam menyeimbangkan mutu pendidikan dengan akses yang lebih inklusif.
Baca juga: Hypereport: Tren Mencari Pasangan, Dari Aplikasi Daring Kembali Ke Kencan Luring
Wakil Rektor Bidang Resiliensi Sumberdaya dan Infrastruktur Institut Pertanian Bogor (IPB) Alim Setiawan Slamet mengatakan kenaikan UKT bakal menjadi persoalan yang akan terus terjadi jika dukungan dari pemerintah masih seperti saat ini.
“Kalau dilihat dari postur anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN itu dialokasikan semuanya ke Kemendikbudristek, itu tidak akan terjadi. Akan tetapi, alokasi untuk Kemendikbudristek kan hanya Rp98 triliun dari total sekitar Rp665 triliun,” ujar Alim kepada Hypeabis.id.
Padahal, setiap tahunnya kampus membutuhkan sumber modal yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan. Dari sisi infrastruktur dan fasilitas, kampus membutuhkan peralatan pembelajaran, perawatan gedung, bahan praktikum, dan sebagainya.
Di samping itu, ada tuntutan juga peningkatan kesejahteraan dari para tenaga pendidik, para pegawai, dan lainnya. Yang paling penting, kata Alim, kampus setiap tahunnya juga selalu mengejar mutu dari penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Akibat hal tersebut, Alim menyebut kampus kini mesti lebih kreatif untuk mencari sumber-sumber pembiayaan selain dari UKT mahasiswa. Di IPB, sumber pembiayaan kampus bersumber dari tiga hal besar.
Pertama adalah UKT yang memiliki porsi 23 persen. Kedua adalah Dana dari pemerintah sebesar 30 persen. Ketiga adalah upaya kreatif universitas, seperti kerja sama, pemanfaatan aset, dan lainnya sebesar 47 persen.
"Idealnya 100 persen ditanggung pemerintah, sehingga masyarakat punya akses yang sama pada pendidikan. Adapun perguruan tinggi hanya tinggal fokus untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan lulusannya,” jelasnya.
Namun, mengingat keterbatasan anggaran yang ada, Alim memaklumi jika hal tersebut memang belum terwujud. Hal ini membuat kampus mesti ikut urun rembug dalam menambal lubang biaya tersebut dengan cara-cara lain.
Dalam praktiknya, Alim mengatakan sebisa mungkin kampus menekan sumber biaya yang berasal dari peserta didik. Sebagai gantinya, kerja sama penelitian hingga pemanfaatan aset lebih digencarkan.
“Termasuk juga, kami kolaborasi dengan alumni untuk menggalang berbagai beasiswa. Tujuannya membantu mahasiswa tidak mampu. Kami total punya 100 mitra donatur dan jumlah mahasiswa yang mendapat beasiswa itu kurang lebih 40 persen,” imbuhnya.
Proses penetapan UKT Mahasiswa
Di luar hal itu, dalam penerapan UKT, pihaknya juga selalu mengedepankan dialog dengan mahasiswa. Hal ini dilakukan agar besaran biaya yang ditetapkan memang sesuai dengan indikator-indikator yang tepat.Sebelum menetapkan UKT, pihaknya akan menetapkan BKT atau biaya kuliah tunggal. BKT ini ada dasar hukumnya, yakni Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.
Ada beberapa indikatornya, dimulai dari melihat mutu terlebih dahulu. Prodi atau program studi dalam menetapkan BKT akan melihat akreditasinya, lalu fokus pembelajarannya apakah hanya keilmuan atau membutuhkan praktik. Terakhir adalah proses pembelajarannya, apakah hanya belajar di kelas atau membutuhkan kerja sama dengan pihak lain.
Dari hal tersebut, kemudian akan terpetakan besaran BKT. Setelah itu, barulah pihak kampus menetapkan UKT. Besaran UKT juga punya aturan, yakni tidak boleh melebihi BKT.
Alim mengatakan penetapan UKT kemudian akan mempertimbangkan dua hal, yakni kemauan dan kemampuan dari orang tua untuk membayar UKT tersebut. Kampus juga akan mempertimbangkannya dari pendapatan orang tua dan program studi yang dipilih. Nantinya, mahasiswa akan dikelompokkan ke dalam beberapa kategori biaya pembelajaran.
“Ada kategori 1 itu Rp500.000, kategori 2 itu Rp1 juta, sampai yang tertingginya itu kategori 7. Nah, itu disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan orang tua dalam membayar,” jelas Alim.
Di dalam proses ini, pihaknya juga selalu berdiskusi dengan mahasiswa. Misalnya, ada keberatan dari mahasiswa, akan ada proses penghitungan ulang bahkan peringanan. Kampus juga tak segan untuk mengarahkan mahasiswa ke dalam program beasiswa agar mereka bisa tetap berkuliah.
Pihaknya berkomitmen agar jangan sampai ada kasus mahasiswa yang keluar hanya gara-gara gagal membayar UKT.
Kesetaraan Hak terhadap Akses Pendidikan Tinggi
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pembatalan UKT pada tahun ini bersifat sementara, hanya untuk meredam aksi mahasiswa, dan tidak menyelesaikan masalah.Pihaknya menyayangkan kebijakan Mendikbudristek ihwal pembatalan UKT ini tanpa dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek No.2 Tahun 2024 dan juga tanpa komitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjadi PTN.
Menurut Ubaid Matraji, selama UU Pendidikan Tinggi No. 12/2012 tidak dicabut, semua PTN akan berstatus menjadi PTN-BH dengan otonomi penuh, dan ini berakibat pada pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan yang menyebabkan UKT menjadi mahal.
Menurutnya, anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk dialokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Namun, hal itu urung terjadi.
“Pemerintah saat ini tak lagi menggunakan APBN untuk mensubsidi PTN-BH. Dulu, ketika masih berstatus PTN, pemerintah punya kewajiban untuk membiayai PTN supaya terjangkau dan memperluas akses. Kini, dengan status PTN-BH, pemerintah tak lagi membiayai, tapi PTN-BH harus mandiri dalam pembiayaan,” kata Ubaid.
Oleh karena itu, ketika PTN-BH tidak punya sumber pembiayaan yang mencukupi, biaya operasional kampus yang besar itu (yang dulunya ditanggung oleh negara, Red) kini mesti ditanggung oleh masyarakat melalui skema UKT. Dengan status PTN-BH, kampus dituntut mencari pembiayaan mandiri dengan melakukan usaha-usaha profit.
Baca juga: Hypereport: Gaya Lawakan Segar Komedian Muda & Ladang Baru Monetisasi Konten
Menurut Ubaid, agar berkeadilan bagi semua, pendidikan harus dikembalikan sebagai hak dasar seluruh warga negara Indonesia. Pendidikan harus diletakkan sebagai public goods (barang publik), sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.