6 Karya Reflektif tentang Peristiwa Sejarah Kelam Indonesia Hadir di Pameran Patung dan Aktivisme
Mengusung tajuk Patung dan Aktivisme, pameran ini mengajak Genhype menyelami sejarah kelam bangsa Indonesia yang tak kunjung tuntas. Meliputi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penghilangan paksa pada 1996-1998, hingga tragedi pembantaian massal pada 1965-1966 di masa Orde Baru (Orba).
Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso merupakan dua pematung dari dua generasi dan latar tradisi kultural yang berbeda. Mereka merupakan guru, murid, sekaligus sahabat yang terus berkolaborasi, dan konsisten untuk menyuarakan isu-isu sosial dan perjuangan akar rumput dalam menentang ketidakadilan.
Baca juga: Menikmati Ekspresi Kegelisahan Tiga Seniman Muda dalam Pameran Ad Maiora
Lantas, seperti apa citraan yang dihadirkan Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso dalam pameran ini? Dihimpun Hypeabis.id selama media preview, berikut 6 di antaranya yang dapat menjadi alasan untuk kalian segera berkunjung ke Galeri Nasional Indonesia.
1. Monumen Penghilangan Tragedi Semanggi 1998 (2024)
Karya Dolorosa Sinaga berjudul Monumen Penghilangan Tragedi Semanggi 1998 (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Dibuat pada 2024, monumen ini merupakan salah satu patung yang mencuri perhatian pengunjung. Menggunakan media fiberglass, kaya berdimensi 350x180x186 cm, ini mengimak enam sosok manusia sedang berlutut. Mereka menggendong jenazah korban yang Tragedi Semanggi saat berunjuk rasa pada 1998.
Figur-figur tersebut mengundang berbagai interpretasi. Ada semacam gerak yang dibekukan dalam karya ini. Momen kekalutan, putus asa, hingga elan untuk menumbangkan tirani. Sosok yang satu tampak saling menguatkan satu sama lain. Penggunaan warna hitam juga seolah merepresentasikan masa lalu yang kelam.
"Penggambarannya sangat sederhana. Bentuk orang yang mengusung jenazah. Inilah kelebihan Bu Dolo dalam berkarya. Dia memiliki shortcut untuk menjelaskan sesuatu lewat bahasa rupa tanpa bertele-tele," kata kurator pameran, Alexander Supartono.
2. Mengapa Kau Culik Anak Kami? (2024)
Karya Dolorosa Sinaga berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami? (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Patung ini merupakan karya remake dengan judul sama yang dibuat pada 1997. Namun, kali ini Dolo memperbesar ukuran karya yang dibuat menjadi 78x58x248 cm, dengan material iron plat. Dulunya, karya tersebut dibuat menggunakan medium tanah liat berdimensi 10x6x45 cm.
Karya ini menampilkan sosok pipih seorang ibu yang merengkuh anaknya, yang dililit kawat besi. Lewat karya ini, Dolo bersuara bersama para ibu yang anaknya menjadi korban penculikan politik pada 1996-1997, di mana jenderal yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut terpilih sebagai pemimpin negeri.
3. The Pain of Dignity (2024)
Karya Dolorosa Sinaga berjudulThe Pain of Dignity (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Karya ini menampilkan sosok perempuan pipih yang berdiri hampir membungkuk, tetapi masih berusaha tegak berdiri, dengan tulang punggungnya sendiri. Dibuat menggunakan material alumunium, karya berdimensi 36x39x69 cm ini, mengisahkan cerita pilu seorang penari Lekra, di Sumatera yang ditangkap dan dipaksa untuk menari dan diperkosa oleh tentara.
Selain menerjemahkan pengalaman tragis yang dialami penyintas ke dalam bahasa rupa, lewat figur keras yang menolak untuk padam. Menurut Alexander, Dolo juga memiliki kelebihan lain. Yaitu bagaimana dia mampu untuk mengorek informasi pada korban dan mau bercerita pada sang seniman. Tentu hal ini memerlukan pendekatan yang humanis.
"Itulah bentuk aktivisme Dolorosa Sinaga. Karena korban merasa dia adalah bagian dalam satu barisan perjuangan. Aktivisme Dolo itu mampu untuk mengetahui detail semacam itu. Membangun kepercayaan. Dan kemudian sisanya eksekusi artistik," tuturnya.
4. I, the Witness (2024)
Karya Dolorosa Sinaga berjudul I, the Witness (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Patung bertitimangsa 2024 ini merupakan bentuk penghormatan untuk Ita Martadinata Haryono (1980-1998). Ita merupakan aktivis HAM yang dibunuh pada 1998, yang hingga saat ini kasusnya masih belum terpecahkan. Dia merupakan salah satu korban perkosaan massal kerusuhan Mei 1998, di Jakarta.
Pada 8 Oktober 1998, dia dibunuh di kamar tidurnya, seminggu sebelum bersaksi di depan PBB. Lewat karya ini Dolo mengabadikan sosoknya yang berdiri tegak di depan meja kesaksian. Sang korban memakai kebaya encim berwarna emas. Tatapan tajam mata, dan mulutnya yang terbuka, seolah terus menyuarakan mereka yang tertindas.
"Dolo juga memberikan simbol kesakitan dalam karya ini, yaitu lewat luka menganga yang membelah tubuh Ita dari pangkal leher hingga bagian bawah tubuh," imbuh Alexander Supartono.
5. Historical Moment (2024)
Karya Budi Santoso berjudul Historical Moment (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Pada bagian atas jendela kupu tarung yang terbuka itu, juga terdapat lampu petromaks, yang seolah merefleksikan pengetahuan yang meredup. Pasalnya, saat ini aktivitas membacakan buku untuk anak, mungkin sudah jarang dilakukan orang tua, karena sebagian besar dari mereka, sejak usia dini sudah diberi gawai.
"Sekarang, memperkenalkan anak pada buku itu bisa dibilang sebuah aksi revolusioner. Karena menentang arus yang luar biasa kuat. sebab, anak sekarang sejak umur 2-3 tahun sudah memegang smartphone. Budi menerjemahkan secara mikro bagaimana ide-ide progresif bisa diterapkan dalam kehidupan kita,” ucapnya.
6. Anatomi Kerja (2023)
Karya Budi Santoso berjudul Anatomi Kerja (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Karya ini menampilkan 40 sosok yang berdiri di atas sebuah arit dan badik, yang dibuat berdasarkan 40 foto triptych telanjang buruh perkebunan karet di Sumatra pada dekade 1800-an. Ini merupakan hasil riset Budi terhadap hasil kerja Hagen (1853-1919), seorang dokter asal Jerman, yang mempelajari penyakit-penyakit tropis di Hindia Belanda.
Baca juga: Pameran Patung dan Aktivisme Resmi Dibuka, Tampilkan Karya Dolorosa Sinaga & Budi Santoso
Uniknya, Budi merespon foto-foto tersebut menggunakan metode berbasis kelas sosial di masyarakat, yang saat ini masih terasa di Tanah Air. Oleh karena itu, alih-alih hanya menampilkan patung yang berdiri di atas tanah, dia sengaja menggunakan alat kerja (badik, arit, parang) sebagai landasan mereka berdiri.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.