Menyelisik Kolaborasi Manis Tiga Dara dalam Pameran Ad Maiora
23 July 2024 |
08:18 WIB
Ada yang berbeda dengan D Gallerie Jakarta. Galeri seni di Jakarta Selatan itu bersalin rupa. Ada gambar surealistik penuh warna, figur perempuan dengan segudang kekalutan, hingga lukisan-lukisan abstrak bercorak monokrom, hasil karya tiga seniman muda Tanah Air.
Mereka adalah Clasutta (29), Zita Nuella (26), dan Tusita Mangalani (26). Ketiganya adalah jebolan Atreyu Moniaga Project: Mixed Feelings, sebuah program kelas independen yang diampu seniman Atreyu Moniaga, untuk mendukung seniman muda merintis karier di dunia seni dan kreatif. Mereka menggelar pameran bertajuk Ad Maiora.
Baca juga: 6 Karya Reflektif tentang Peristiwa Sejarah Kelam Indonesia Hadir di Pameran Patung dan Aktivisme
Gelaran berlangsung pada 13 Juli-1 Agustus 2024, di D Gallerie, Jakarta. Ekshibisi ini mengajak publik untuk menyelami benak ketiga dara tersebut. Seniman Clasutta misalnya, menuangkan kesedihannya akan rutinitas sehari-hari ke dalam seri karya Clockwork Chaos yang lekat dengan corak surealistik.
Clockwork Chaos sebagian besar menggambarkan keresahan kaum pekerja. Namun, alih-alih menggunakan manusia, sang seniman justru menggantinya dengan figur hewan. Ini merupakan satiristik manusia yang memiliki beragam ekspresi bahasa, tapi kadang tidak mampu menyampaikannya.
Misalnya dalam karya berjudul 08.30: The Occasional "Please Come to My Office" (oil on canvas, 70x100 cm, 2023). Karya ini menggambarkan bebek yang mukanya pucat saat dipanggil 'Si Bos' menuju ruangannya. Apa yang dialami figur tersebut tentu lazim dialami pekerja muda kiwari.
Ada juga karya berjudul 07.00: Manggarai (oil on canvas, 90x120 cm, 2023). Masih menggunakan bebek, karya didominasi merah ini mengimak figur-figur yang sedang berbaris dengan mata sembab dan mengantuk. Namun, telinga mereka sibuk mendengarkan musik dengan headset hingga megalalami eskapismenya sendiri.
"Bebek itu kan hewan yang latah, kalau kesenggol dikit dia kaget langsung berkwek-kwek. Jadi sisi-sisi panik inilah yang coba aku refleksikan dari hewan-hewan itu," katanya.
Zita Nuella lain lagi. Sebab dia menjelajahi visual dengan mengekstrak esensi kehidupan dengan mengedepankan estetika abstrak. Perempuan yang akrab dipanggil Z itu menggali persoalan batiniah, dan reaksi fisik terhadap berbagai perasaan dalam fase hidup seperti rasa sepi hingga kehilangan.
Salah satunya terefleksi dalam lukisan berjudul A Soft Smile (charcoal and acrylic on canvas, 90x50 cm, 2024). Uniknya, sang seniman justru menggunakan tubuhnya sendiri sebagai medium utama melukis, sehingga menghasilkan citra otentik, yang kadang merekam kulit tubuhnya di atas kanvas.
Ihwal sang seniman menggunakan metode tersebut agar tubuhnya dapat langsung mengejawantahkan ekspresi ke atas kanvas. "Aku menuang charcoal ke tubuhku dari rambut hingga tangan, dari sinilah aku langsung menggoreskannya ke atas kanvas," katanya.
Tusita Mangalani juga punya cara khas. Dia menuangkan kegelisahannya dengan menggabungkan teknik melukis dengan menyulam. Ini terejawantah dalam seri karya bertajuk Charlotte Chaos, yang menampilkan sosok perempuan berbagai pose, dengan raut mengharu biru.
Misalnya dalam karya berjudul Nothing but My Heartbeat (acrylic paint, beads, and threads on canvas, 80x80 cm, 2023). Lukisan ini menampilkan raut dan dua tangan perempuan yang tubuhnya diselimuti awan kelabu. Ada semacam kesedihan yang menggumpal lewat penggunaan manik-manik, hingga benang wol.
Refleksi yang sama juga terejawantah dalam Clamorous Roundabouts (acrylic paint, beads, and threads on canvas, 80x80 cm, 2024). Selintas lukisan ini memperlihatkan wajah perempuan yang tenggelam di pantai dengan koral penuh warna ngepop, seperti biru, merah, dan kehitaman.
"Saya mengangkat tema tentang overthinking, yang dianggap satu hal yang buruk. Namun saat dituangkan ke karya ternyata jadi hal yang penting. Terutama bagi saya pribadi yang sedang melewati fase kegalauan menuju dewasa," katanya.
Nin Djani, kurator yang menuliskan pengantar pameran mengatakan, seteleng ini merupakan pengujung perjalanan para seniman setelah menjalani inkubasi di AMP. Dalam prosesnya, mereka dididik untuk berjejaring, hingga bagaimana menjelaskan gagasan-gagasannya ke publik dengan cerlang.
Tajuk Ad maiora-natus dipilih karena frasa berbahasa Latin itu berarti seseorang dilahirkan untuk hal-hal besar. Oleh karenanya, debut pameran ketiga dara tersebut diharap menjadi perayaan dan kesadaran untuk menjadi besar sekaligus penghormatan pada cita-cita yang mereka angankan.
"Pameran ini mengungkai beragam sudut pandang masing-masing seniman dalam upaya mereka menerobos medan seni rupa untuk menciptakan karya-karya berdampak," tulisnya.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Mereka adalah Clasutta (29), Zita Nuella (26), dan Tusita Mangalani (26). Ketiganya adalah jebolan Atreyu Moniaga Project: Mixed Feelings, sebuah program kelas independen yang diampu seniman Atreyu Moniaga, untuk mendukung seniman muda merintis karier di dunia seni dan kreatif. Mereka menggelar pameran bertajuk Ad Maiora.
Baca juga: 6 Karya Reflektif tentang Peristiwa Sejarah Kelam Indonesia Hadir di Pameran Patung dan Aktivisme
Gelaran berlangsung pada 13 Juli-1 Agustus 2024, di D Gallerie, Jakarta. Ekshibisi ini mengajak publik untuk menyelami benak ketiga dara tersebut. Seniman Clasutta misalnya, menuangkan kesedihannya akan rutinitas sehari-hari ke dalam seri karya Clockwork Chaos yang lekat dengan corak surealistik.
Clockwork Chaos sebagian besar menggambarkan keresahan kaum pekerja. Namun, alih-alih menggunakan manusia, sang seniman justru menggantinya dengan figur hewan. Ini merupakan satiristik manusia yang memiliki beragam ekspresi bahasa, tapi kadang tidak mampu menyampaikannya.
Misalnya dalam karya berjudul 08.30: The Occasional "Please Come to My Office" (oil on canvas, 70x100 cm, 2023). Karya ini menggambarkan bebek yang mukanya pucat saat dipanggil 'Si Bos' menuju ruangannya. Apa yang dialami figur tersebut tentu lazim dialami pekerja muda kiwari.
Seri karya O Clockwork Chaos (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
"Bebek itu kan hewan yang latah, kalau kesenggol dikit dia kaget langsung berkwek-kwek. Jadi sisi-sisi panik inilah yang coba aku refleksikan dari hewan-hewan itu," katanya.
Zita Nuella lain lagi. Sebab dia menjelajahi visual dengan mengekstrak esensi kehidupan dengan mengedepankan estetika abstrak. Perempuan yang akrab dipanggil Z itu menggali persoalan batiniah, dan reaksi fisik terhadap berbagai perasaan dalam fase hidup seperti rasa sepi hingga kehilangan.
Salah satunya terefleksi dalam lukisan berjudul A Soft Smile (charcoal and acrylic on canvas, 90x50 cm, 2024). Uniknya, sang seniman justru menggunakan tubuhnya sendiri sebagai medium utama melukis, sehingga menghasilkan citra otentik, yang kadang merekam kulit tubuhnya di atas kanvas.
Ihwal sang seniman menggunakan metode tersebut agar tubuhnya dapat langsung mengejawantahkan ekspresi ke atas kanvas. "Aku menuang charcoal ke tubuhku dari rambut hingga tangan, dari sinilah aku langsung menggoreskannya ke atas kanvas," katanya.
Salah satu karya Z dalam pameran Ad Maiora (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Misalnya dalam karya berjudul Nothing but My Heartbeat (acrylic paint, beads, and threads on canvas, 80x80 cm, 2023). Lukisan ini menampilkan raut dan dua tangan perempuan yang tubuhnya diselimuti awan kelabu. Ada semacam kesedihan yang menggumpal lewat penggunaan manik-manik, hingga benang wol.
Refleksi yang sama juga terejawantah dalam Clamorous Roundabouts (acrylic paint, beads, and threads on canvas, 80x80 cm, 2024). Selintas lukisan ini memperlihatkan wajah perempuan yang tenggelam di pantai dengan koral penuh warna ngepop, seperti biru, merah, dan kehitaman.
"Saya mengangkat tema tentang overthinking, yang dianggap satu hal yang buruk. Namun saat dituangkan ke karya ternyata jadi hal yang penting. Terutama bagi saya pribadi yang sedang melewati fase kegalauan menuju dewasa," katanya.
Seri karya Charlotte Chaos(Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Tajuk Ad maiora-natus dipilih karena frasa berbahasa Latin itu berarti seseorang dilahirkan untuk hal-hal besar. Oleh karenanya, debut pameran ketiga dara tersebut diharap menjadi perayaan dan kesadaran untuk menjadi besar sekaligus penghormatan pada cita-cita yang mereka angankan.
"Pameran ini mengungkai beragam sudut pandang masing-masing seniman dalam upaya mereka menerobos medan seni rupa untuk menciptakan karya-karya berdampak," tulisnya.
Baca juga: Yayasan Kids Biennale Indonesia Gelar Pameran Speak Up On Bullying and Intolerance
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.