Hypereport: Komunitas Wisata Alam Liar, Pelesiran Sambil Mengedukasi soal Lingkungan
08 June 2024 |
08:39 WIB
1
Like
Like
Like
Komunitas wisata alam liar di Indonesia masih eksis dan terus berkembang. Keberadaannya punya posisi yang unik. Mereka, yang notabene, merupakan pencinta alam tak cuma berkumpul untuk sekadar rekreasi, tapi punya misi guna meningkatkan kesadaran masyarakat soal lingkungan hidup.
Dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, tentu komunitas-komunitas seperti ini sangat menjamur di Tanah Air. Berkat media sosial, makin banyak keindahan-keindahan alam tersembunyi yang kini bisa dilihat melalui smartphone, khususnya untuk orang-orang kota yang ingin mencari pelarian sejenak.
Biasanya konten-konten seperti ini dibagikan oleh para komunitas pencinta alam yang aktif mencari cara baru untuk berwisata ke bagian-bagian yang belum atau jarang dieksplorasi. Baik itu membuka jalur pendakian baru, mempelajari kearifan lokal masyarakat setempat, atau memberikan informasi-informasi penting lainnya.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Menghubungkan Budaya dan Rasa Lewat Komunitas Wisata Kuliner
2. Hypereport: Tren Pelesiran, Liburan Unik ala Komunitas Wisata Minat Khusus
3. Hypereport: Mengulik Potensi Wisata Mistis, Pengemasan Narasi & Promosi Jadi Kunci
4. Hypereport: Inisiatif Komunitas untuk Menarik Generasi Muda Kembali ke Museum
5. Hypereport: Wisata Nyeleneh Ala Komunitas Kereta Api dan Bus
Komunitas-komunitas ini memiliki latar belakang yang sangat bervariasi, ada yang spesifik dalam suatu bidang, ada juga yang mengayomi semua layaknya mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia dan Pakuan Bogor. Bahkan ada juga yang berasal dari daerah tertentu, seperti komunitas Explore Cianjur Selatan yang terbuka untuk secara umum.
Namun yang jelas, sebagian besar komunitas ini saling menjalin hubungan baik antara satu sama lain, melalui silaturahmi, diskusi terbuka di berbagai acara, serta sesekali mengadakan pelatihan bersama di daerah masing-masing.
Semua hal ini dilakukan karena masing-masing dari kelompok komunitas ingin bertukar pengetahuan dan pengalaman. Tentang kondisi geografis, aturan-aturan tertentu, kearifan lokal masyarakat setempat, upaya-upaya konservasi pada daerah tertentu, dan hal-hal penting lain untuk menjalani sebuah perencanaan wisata alam liar atau ekspedisi.
Setiap komunitas memiliki struktur perencanaan yang berbeda, tapi umumnya mereka akan mengadakan survei sebelum datang ke lokasi. Selain berkomunikasi dengan komunitas pencinta alam setempat, hal Ini juga bisa dilakukan dengan mengkaji berbagai survei, jurnal ilmiah, dan dokumen akademik dari perjalanan sebelumnya.
“Kita sudah biasa tersistem untuk langsung membentuk tim yang terdiri dari teknis dan non teknis. Untuk tim teknis akan bertanggung jawab dalam hal navigasi, komunikasi, konsumsi dan dokumentasi. Sedangkan untuk non-teknis akan mengatur keuangan, perizinan, baru nanti dirancang dan dipresentasikan bersama,” ujar Fikra Alfath, Ketua Mapala Universitas Indonesia Periode 2023/2024.
Meski begitu, dari perencanaan yang dibuat, masih banyak faktor tidak terduga saat sampai di lapangan. Fikra teringat dengan masa-masa dirinya pernah melakukan aktivitas diving, tapi kapal yang dinaiki tiba-tiba terjebak badai besar sampai terombang-ambing ombak berbahaya.
Selain Fikra, ketua dari Explore Cianjur Selatan (ECS), Ruslan Sujana juga turut membagikan pengalaman-pengalaman unik tak terduga yang dialami olehnya maupun rekan-rekannya. Misalnya kehujanan, kepanasan, kedinginan, tenda terbawa angin besar, suplai makanan di seruduk babi liar, anggota yang kesurupan, makanan kurang matang, dan masih banyak lagi.
"Sebenarnya tantangan terbesar ya dari kita sendiri, apakah kita mau bertahan atau tidak. Kalau masih takut ini itu, sebaiknya tidak usah coba menjelajah alam liar," tuturnya.
Meski banyak menerima pengalaman tak mengenakkan, keduanya menegaskan bahwa itulah esensi dan keseruan dari eksplorasi wisata alam liar, yang mungkin tidak bisa didapat jika hanya berwisata dalam zona nyaman dan seorang diri.
Perencanaan awal, latihan fisik, dan pengetahuan hanyalah setengah dari apa yang harus disiapkan. Sisanya tergantung pola pikir dan kekuataan mental masing-masing individu, guna bertahan atau menyerah dalam kondisi-kondisi sulit dan tak terduga.
Selain keseruan dari pengalaman yang tidak terduga, apa saja yang menjadi fokus dari komunitas wisata alam liar ini? Ketua Umum Wapalapa Universitas Pakuan, Biyan Firmansyah, menyatakan bahwa dari berwisata ke alam-alam liar, para pencinta alam juga memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada upaya konservasi.
Dia menjelaskan bahwa komunitasnya kerap mengumpulkan data di lapangan, yang nantinya akan diolah menjadi jurnal-jurnal akademik. Kemudian proses tersebut akan menjadi roda yang berputar, menumbuhkan ilmu dari setiap perjalanan yang dilakukan.
Bersama lembaga-lembaga seperti Kementrian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, komunitasnya mampu mengangkat isu-isu lingkungan alam yang masih kurang dilirik.
Baca juga: Suka Traveling? Berikut Lima Wishlist Destinasi Wisata Alam yang Patut Dikunjungi
Tak cuma itu saja, ketiga organisasi di atas aktif terlibat dalam upaya-upaya untuk membantu dan mengabdi ke masyarakat setempat. Dengan mengadakan kegiatan rutin untuk mengajarkan ilmu-ilmu baru, membersihkan sungai dan lingkungan sekitar, memberi modal usaha, sampai menggalang dana jika terjadi bencana alam di daerah-daerah tersebut.
Bahkan ada juga upaya untuk menjaga kondisi alam setelah ditinggalkan. Mulai dari menyimpan sampah sampai kembali ke kota,hingga carbon offsetting, sebuah proses mengurangi emisi karbon dengan aktivitas yang menambah oksigen bersih, seperti menanam pohon.
“Dengan datang ke mereka [warga setempat], kita sudah memberikan mereka sedikit gambaran tentang kehidupan dalam kota. Sebaliknya, kita juga bisa memberi gambaran kehidupan mereka secara positif melalui media sosial, khususnya isu-isu yang mereka hadapi,” ujar Biyan.
Dengan kehadiran media sosial, komunitas ini juga rajin mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan. Meski begitu, tak bisa dimungkiri, konten yang dibuat juga bisa mengundang para pelancong tak bertanggung jawab atau tak berpengalaman untuk datang ke tempat-tempat wisata.
Bisa jadi mereka kurang matang dalam persiapaan, pengetahuan medan yang minim, belum latihan fisik, dan memiliki pola pikir yang tajam di alam liar. Semua ketidaksiapan tersebut dapat menyebabkan kerusakan alam, mengganggu warga lokal, dan kejadian-kejadian lain yang tidak diinginkan.
Bagaimanapun, mayoritas komunitas wisata alam di Indonesia sangat menjunjung tinggi terjaganya lingkungan alam liar, baik untuk flora dan fauna, maupun masyarakat setempat. Sebab, pencinta alam belum sepenuhnya mencintai jika tidak bertanggung jawab atas keindahan yang mereka nikmati.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, tentu komunitas-komunitas seperti ini sangat menjamur di Tanah Air. Berkat media sosial, makin banyak keindahan-keindahan alam tersembunyi yang kini bisa dilihat melalui smartphone, khususnya untuk orang-orang kota yang ingin mencari pelarian sejenak.
Biasanya konten-konten seperti ini dibagikan oleh para komunitas pencinta alam yang aktif mencari cara baru untuk berwisata ke bagian-bagian yang belum atau jarang dieksplorasi. Baik itu membuka jalur pendakian baru, mempelajari kearifan lokal masyarakat setempat, atau memberikan informasi-informasi penting lainnya.
Baca juga laporan terkait:
1. Hypereport: Menghubungkan Budaya dan Rasa Lewat Komunitas Wisata Kuliner
2. Hypereport: Tren Pelesiran, Liburan Unik ala Komunitas Wisata Minat Khusus
3. Hypereport: Mengulik Potensi Wisata Mistis, Pengemasan Narasi & Promosi Jadi Kunci
4. Hypereport: Inisiatif Komunitas untuk Menarik Generasi Muda Kembali ke Museum
5. Hypereport: Wisata Nyeleneh Ala Komunitas Kereta Api dan Bus
Komunitas-komunitas ini memiliki latar belakang yang sangat bervariasi, ada yang spesifik dalam suatu bidang, ada juga yang mengayomi semua layaknya mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia dan Pakuan Bogor. Bahkan ada juga yang berasal dari daerah tertentu, seperti komunitas Explore Cianjur Selatan yang terbuka untuk secara umum.
Namun yang jelas, sebagian besar komunitas ini saling menjalin hubungan baik antara satu sama lain, melalui silaturahmi, diskusi terbuka di berbagai acara, serta sesekali mengadakan pelatihan bersama di daerah masing-masing.
Semua hal ini dilakukan karena masing-masing dari kelompok komunitas ingin bertukar pengetahuan dan pengalaman. Tentang kondisi geografis, aturan-aturan tertentu, kearifan lokal masyarakat setempat, upaya-upaya konservasi pada daerah tertentu, dan hal-hal penting lain untuk menjalani sebuah perencanaan wisata alam liar atau ekspedisi.
Setiap komunitas memiliki struktur perencanaan yang berbeda, tapi umumnya mereka akan mengadakan survei sebelum datang ke lokasi. Selain berkomunikasi dengan komunitas pencinta alam setempat, hal Ini juga bisa dilakukan dengan mengkaji berbagai survei, jurnal ilmiah, dan dokumen akademik dari perjalanan sebelumnya.
Aktivitas menyelam anggota Mapala Universitas Indonesia (Sumber foto Mapala Universitas Indonesia )
“Kita sudah biasa tersistem untuk langsung membentuk tim yang terdiri dari teknis dan non teknis. Untuk tim teknis akan bertanggung jawab dalam hal navigasi, komunikasi, konsumsi dan dokumentasi. Sedangkan untuk non-teknis akan mengatur keuangan, perizinan, baru nanti dirancang dan dipresentasikan bersama,” ujar Fikra Alfath, Ketua Mapala Universitas Indonesia Periode 2023/2024.
Meski begitu, dari perencanaan yang dibuat, masih banyak faktor tidak terduga saat sampai di lapangan. Fikra teringat dengan masa-masa dirinya pernah melakukan aktivitas diving, tapi kapal yang dinaiki tiba-tiba terjebak badai besar sampai terombang-ambing ombak berbahaya.
Selain Fikra, ketua dari Explore Cianjur Selatan (ECS), Ruslan Sujana juga turut membagikan pengalaman-pengalaman unik tak terduga yang dialami olehnya maupun rekan-rekannya. Misalnya kehujanan, kepanasan, kedinginan, tenda terbawa angin besar, suplai makanan di seruduk babi liar, anggota yang kesurupan, makanan kurang matang, dan masih banyak lagi.
"Sebenarnya tantangan terbesar ya dari kita sendiri, apakah kita mau bertahan atau tidak. Kalau masih takut ini itu, sebaiknya tidak usah coba menjelajah alam liar," tuturnya.
Meski banyak menerima pengalaman tak mengenakkan, keduanya menegaskan bahwa itulah esensi dan keseruan dari eksplorasi wisata alam liar, yang mungkin tidak bisa didapat jika hanya berwisata dalam zona nyaman dan seorang diri.
Perencanaan awal, latihan fisik, dan pengetahuan hanyalah setengah dari apa yang harus disiapkan. Sisanya tergantung pola pikir dan kekuataan mental masing-masing individu, guna bertahan atau menyerah dalam kondisi-kondisi sulit dan tak terduga.
Selain keseruan dari pengalaman yang tidak terduga, apa saja yang menjadi fokus dari komunitas wisata alam liar ini? Ketua Umum Wapalapa Universitas Pakuan, Biyan Firmansyah, menyatakan bahwa dari berwisata ke alam-alam liar, para pencinta alam juga memiliki kesempatan untuk berkontribusi pada upaya konservasi.
Dia menjelaskan bahwa komunitasnya kerap mengumpulkan data di lapangan, yang nantinya akan diolah menjadi jurnal-jurnal akademik. Kemudian proses tersebut akan menjadi roda yang berputar, menumbuhkan ilmu dari setiap perjalanan yang dilakukan.
Bersama lembaga-lembaga seperti Kementrian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, komunitasnya mampu mengangkat isu-isu lingkungan alam yang masih kurang dilirik.
Baca juga: Suka Traveling? Berikut Lima Wishlist Destinasi Wisata Alam yang Patut Dikunjungi
Tak cuma itu saja, ketiga organisasi di atas aktif terlibat dalam upaya-upaya untuk membantu dan mengabdi ke masyarakat setempat. Dengan mengadakan kegiatan rutin untuk mengajarkan ilmu-ilmu baru, membersihkan sungai dan lingkungan sekitar, memberi modal usaha, sampai menggalang dana jika terjadi bencana alam di daerah-daerah tersebut.
Bahkan ada juga upaya untuk menjaga kondisi alam setelah ditinggalkan. Mulai dari menyimpan sampah sampai kembali ke kota,hingga carbon offsetting, sebuah proses mengurangi emisi karbon dengan aktivitas yang menambah oksigen bersih, seperti menanam pohon.
“Dengan datang ke mereka [warga setempat], kita sudah memberikan mereka sedikit gambaran tentang kehidupan dalam kota. Sebaliknya, kita juga bisa memberi gambaran kehidupan mereka secara positif melalui media sosial, khususnya isu-isu yang mereka hadapi,” ujar Biyan.
Dengan kehadiran media sosial, komunitas ini juga rajin mengangkat isu-isu sosial dan lingkungan. Meski begitu, tak bisa dimungkiri, konten yang dibuat juga bisa mengundang para pelancong tak bertanggung jawab atau tak berpengalaman untuk datang ke tempat-tempat wisata.
Bisa jadi mereka kurang matang dalam persiapaan, pengetahuan medan yang minim, belum latihan fisik, dan memiliki pola pikir yang tajam di alam liar. Semua ketidaksiapan tersebut dapat menyebabkan kerusakan alam, mengganggu warga lokal, dan kejadian-kejadian lain yang tidak diinginkan.
Bagaimanapun, mayoritas komunitas wisata alam di Indonesia sangat menjunjung tinggi terjaganya lingkungan alam liar, baik untuk flora dan fauna, maupun masyarakat setempat. Sebab, pencinta alam belum sepenuhnya mencintai jika tidak bertanggung jawab atas keindahan yang mereka nikmati.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.