Kiprah Mendiang Salim Said dari Wartawan, Tokoh Film, Hingga Dubes
20 May 2024 |
11:57 WIB
Kepergian tokoh pers, figur dunia perfilman, dan mantan duta besar Indonesia di Republik Ceko, Salim Said, meninggalkan duka yang mendalam. Publik Indonesia kehilangan maestro intelektual dengan langgam pengetahuan lintas bidang yang masyhur.
Salim Said meninggal dunia setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada Sabtu, 18 Mei 2024. Cendekiawan kelahiran 1943 itu tutup usia pada umur 80 tahun.
Baca juga: Mengenang Toeti Heraty, Sosok Cendekiawan Perempuan & Patron Seni Rupa Indonesia
Kiprah mendiang Salim Said dan sumbangsihnya terhadap berbagai bidang akan terus dikenang oleh generasi-generasi setelahnya. Namanya akan abadi menjadi semangat baru untuk meneruskan apa yang telah diwariskannya.
“Telah berpulang ke rahmatullah Prof H Salim H Said. Namanya diabadikan di Salim Said Corner perpustakaan UII atas sumbangsih 100.000 buku,” tulis akun Instagram UII Yogyakarta, dikutip Hypeabis.id, Senin (20/5/2024).
Salim Said adalah akademisi yang lahir pada 10 November 1943 di Amparita Parepare, Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Sejak kecil, Salim sudah melalangbuana ke berbagai daerah di Indonesia.
Mengutip Dinas Kebudayaan Jakarta, Salim sudah merantau ke Solo saat usianya 15 tahun, sebelum akhirnya menetap di Jakarta. Setelah rampung bersekolah, Salim menempuh pendidikan tingginya di beberapa lembaga berbeda.
Pada 1964-1965, Salim sempat menjalani pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia. Pada 1966-1967, dia kemudian mengambil studi di Fakultas Psikologi UI. Namun, Salim tak menyelesaikan studinya itu. Dia memilih melanjutkannya di S1 di jurusan sosiologi FISIP Universitas Indonesia.
Salim kemudian menempuh S2 di jurusan hubungan internasional di Ohio University, Amerika Serikat, pada 1980. Setelah itu, dia kembali belajar S2 di ilmu politik pada universitas yang sama. Begitu pula saat dirinya melanjutkan S3 di kampus tersebut.
Disertasinya cukup dikenal kala itu karena dengan berani menyoroti peran politik ABRI di masa revolusi 1945-1949. Belakangan itu membuat dia dikenal orang pula sebagai pengamat politik militer Indonesia.
Jejak keilmuan Salim tidak hanya tercurahkan di kampus. Sudah sejak 1960-an, Salim dikenal rajin menulis gagasan-gagasan pentingnya untuk publik. Tulisan-tulisannya itu mulai menghiasi lembaran kebudayaan di berbagai penerbitan, seperti Mimbar Indonesia, Horison, dan Budaya Djaya.
Salim kemudian memulai kariernya di bidang jurnalistik sebagai redaktur di beberapa media, dari Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, sampai majalah Tempo (1971-1987). Salim juga aktif mengajar di Sekolah Ilmu Sosial Jakarta.
Sekembalinya dari studi di Amerika, minat Salim memang lebih mengarah ke bidang kesenian, khususnya film. Salim sempat terpilih sebagai Ketua Dewan kesenian Jakarta (DKJ) pada 1989, lalu anggota Dewan Film Nasional, dan ketua hubungan luar negeri pada Panitia Tetap Festival Film Indonesia.
Salim berkali-kali jadi anggota juri FFi, menulis untuk media dalam negeri dan luar negeri tentang film. Dia juga aktif dalam berbagai rangkaian kegiatan festival film internasional. Salah satu langkah pentingnya adalah membentuk Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (Sennaki).
Karyanya yang terkenal dalam dunia perfilman adalah buku berjudul Profil Dunia Perfilman Indonesia (1982), yang kerap menjadi rujukan dalam studi film di Indonesia.
Baca juga: T.P. Rachmat Mengenang Dua Tokoh Cendekiawan Muslim saat Pidato di Paramadina
Di sisi lain, Salim Said juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko pada masa 2006-2010. Di samping itu, namanya juga masih aktif di dunia pengetahuan dengan menulis beberapa buku.
Beberapa di antaranya, Militer Indonesia dalam Politik (2001), Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002), dan Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991). Pada usianya yang ke-75 tahun, Salim Said meraih penghargaan Achmad Bakrie (PAB) di bidang pemikiran sosial.
Editor: Fajar Sidik
Salim Said meninggal dunia setelah sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada Sabtu, 18 Mei 2024. Cendekiawan kelahiran 1943 itu tutup usia pada umur 80 tahun.
Baca juga: Mengenang Toeti Heraty, Sosok Cendekiawan Perempuan & Patron Seni Rupa Indonesia
Kiprah mendiang Salim Said dan sumbangsihnya terhadap berbagai bidang akan terus dikenang oleh generasi-generasi setelahnya. Namanya akan abadi menjadi semangat baru untuk meneruskan apa yang telah diwariskannya.
“Telah berpulang ke rahmatullah Prof H Salim H Said. Namanya diabadikan di Salim Said Corner perpustakaan UII atas sumbangsih 100.000 buku,” tulis akun Instagram UII Yogyakarta, dikutip Hypeabis.id, Senin (20/5/2024).
Salim Said adalah akademisi yang lahir pada 10 November 1943 di Amparita Parepare, Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Sejak kecil, Salim sudah melalangbuana ke berbagai daerah di Indonesia.
Mengutip Dinas Kebudayaan Jakarta, Salim sudah merantau ke Solo saat usianya 15 tahun, sebelum akhirnya menetap di Jakarta. Setelah rampung bersekolah, Salim menempuh pendidikan tingginya di beberapa lembaga berbeda.
Pada 1964-1965, Salim sempat menjalani pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia. Pada 1966-1967, dia kemudian mengambil studi di Fakultas Psikologi UI. Namun, Salim tak menyelesaikan studinya itu. Dia memilih melanjutkannya di S1 di jurusan sosiologi FISIP Universitas Indonesia.
Salim kemudian menempuh S2 di jurusan hubungan internasional di Ohio University, Amerika Serikat, pada 1980. Setelah itu, dia kembali belajar S2 di ilmu politik pada universitas yang sama. Begitu pula saat dirinya melanjutkan S3 di kampus tersebut.
Disertasinya cukup dikenal kala itu karena dengan berani menyoroti peran politik ABRI di masa revolusi 1945-1949. Belakangan itu membuat dia dikenal orang pula sebagai pengamat politik militer Indonesia.
Jejak keilmuan Salim tidak hanya tercurahkan di kampus. Sudah sejak 1960-an, Salim dikenal rajin menulis gagasan-gagasan pentingnya untuk publik. Tulisan-tulisannya itu mulai menghiasi lembaran kebudayaan di berbagai penerbitan, seperti Mimbar Indonesia, Horison, dan Budaya Djaya.
Salim kemudian memulai kariernya di bidang jurnalistik sebagai redaktur di beberapa media, dari Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, sampai majalah Tempo (1971-1987). Salim juga aktif mengajar di Sekolah Ilmu Sosial Jakarta.
Sekembalinya dari studi di Amerika, minat Salim memang lebih mengarah ke bidang kesenian, khususnya film. Salim sempat terpilih sebagai Ketua Dewan kesenian Jakarta (DKJ) pada 1989, lalu anggota Dewan Film Nasional, dan ketua hubungan luar negeri pada Panitia Tetap Festival Film Indonesia.
Salim berkali-kali jadi anggota juri FFi, menulis untuk media dalam negeri dan luar negeri tentang film. Dia juga aktif dalam berbagai rangkaian kegiatan festival film internasional. Salah satu langkah pentingnya adalah membentuk Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (Sennaki).
Karyanya yang terkenal dalam dunia perfilman adalah buku berjudul Profil Dunia Perfilman Indonesia (1982), yang kerap menjadi rujukan dalam studi film di Indonesia.
Baca juga: T.P. Rachmat Mengenang Dua Tokoh Cendekiawan Muslim saat Pidato di Paramadina
Di sisi lain, Salim Said juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko pada masa 2006-2010. Di samping itu, namanya juga masih aktif di dunia pengetahuan dengan menulis beberapa buku.
Beberapa di antaranya, Militer Indonesia dalam Politik (2001), Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002), dan Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991). Pada usianya yang ke-75 tahun, Salim Said meraih penghargaan Achmad Bakrie (PAB) di bidang pemikiran sosial.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.