Ilustrasi filmaker perempuan (Sumber gambar: Unsplash/ Johannes Blenke)

Hypereport: Mendorong Keterwakilan Perempuan & Menghapus Stigma Lewat Karya Film

21 April 2024   |   12:30 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Perlahan, kesetaraan gender kini dapat dirasakan di semua aspek kehidupan, termasuk di dunia perfilman. Apa yang dicita-citakan Raden Ajeng (R.A) Kartini berpuluh-puluh tahun lalu soal persamaan hak antara perempuan dan laki-laki kini terus menemukan muaranya yang baik.

Mereka adalah Kartini-kartini muda yang turut memberi warna di dunia sinema. Tak sebatas jadi aktris atau model di depan kamera, perempuan juga terus menduduki banyak bidang lain, dari sutradara, produser, sampai penulis naskah sekalipun.

Memang, mungkin persamaan hak belum terjadi sepenuhnya, dan perjuangan itu masihlah amat panjang. Keterwakilan perempuan dalam peran di belakang layar masih harus terus didorong. 

Baca juga laporan terkait:  Hingga saat ini, Di Amerika Serikat, berdasarkan data studi Celluloid Celandine yang disponsori oleh San Diego State University (2022), persentase perempuan yang bekerja sebagai sutradara, penulis, editor, produser dan sinematografer di 250 film terlaris di AS memang meningkat setiap tahun. Namun, kenaikannya berjalan sangat perlahan.

Di lini produser dan produser eksekutif, perempuan hanya mengisi 36 persen dan 26 persen dari keseluruhan pada tahun tersebut. Di bidang editor, perempuan baru mengambil porsi 22 persen dari keseluruhan, sedangkan sutradara dan penulis perempuan masing-masing berjumlah 17 persen

Di Indonesia, menurut riset yang dilakukan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) pada 2020, keterlibatan perempuan pada 9 profesi kunci dalam produksi film, jumlahnya tidak lebih dari 20 persen. Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 sampai 2019 juga tercatat hanya sekitar 8 persen.

Penulis naskah film Laila Nurazizah sepakat kalau perempuan mesti meningkatkan partisipasinya di berbagai lini kreatif bidang film. Perempuan juga mesti berdaya dan bebas dari rasa takut setiap kali mempresentasikan karyanya. 

Menurutnya, menciptakan lingkungan pekerjaan yang sehat secara pemikiran dan perilaku adalah hal yang penting saat ini. Dengan menciptakan ruang aman itulah, perempuan jadi bisa lebih punya peran lagi dalam industri ini.

“Kita harus bersama-sama membuat lingkungan yang nyaman dan aman bagi perempuan, agar tidak ada lagi rasa takut,” ungkap perempuan yang karib disapa Lele Laila kepada Hypeabis.id.

Selain itu, perempuan juga dianggapnya mesti terus mengasah banyak keterampilan penting lain untuk menghadapi tantangan zaman. Namun, bukan sekadar keterampilan di bidangnya saja, tetapi juga keterampilan atas sensitivitas hak-hak kaum perempuan.

Sebagai pekerja seni, ada dua cara yang bisa dilakukannya untuk terus menggaungkan hak-hak atas perempuan. Pertama adalah dengan meramunya lewat karya agar isu-isu penting terus jadi bahan obrolan dan pembicaraan banyak orang.

Kedua adalah dengan kebijakan melalui advokasi dan berbagai cara formal lain. Keduanya, bagi penulis naskah film KKN di Desa Penari ini, sama-sama penting dan mesti dikerjakan secara beriringan.

Saat ini, kata Lele Laila, perempuan tak boleh lagi menganggap dirinya hanyalah pemeran pendamping. Perempuan mesti sadar penuh bahwa kita juga bagian dari pemeran utama yang punya mimpi dan berhak untuk mewujudkannya.

Baca juga: Tokoh Perfilman Indonesia Paling Berpengaruh: Usmar Ismail hingga Ratna Asmara


Menyuarakan Hak Perempuan lewat Karya

 
Penulis naskah film kenamaan Laila Nurazizah (Sumber gambar: Instagram/lele laila)
Sebagai penulis yang juga perempuan, Lele Laila menyadari peran penting yang dikerjakannya di industri film. Dia meyakini bahwa naskah skenario yang ditulisnya bisa menjadi alat perjuangan untuk terus menyuarakan hak-hak perempuan.

“Menjadi penulis perempuan juga berarti kita harus sensitif apakah isu yang dibawa bisa mewakili perjuangan kaum perempuan atau justru sebaliknya,” ujar penulis naskah film Danur: I Can See Ghosts tersebut.

Lele memang kerap kali menyelipkan berbagai pesan pemberdayaan perempuan di film-filmnya. Dari berbagai genre yang pernah dijajalnya, sebisa mungkin naskah filmnya tidak menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah.

Pelan-pelan, dirinya ingin menghapus stigma tersebut lewat karya. Sebab, stigmatisasi memang kerap jadi racun yang masih sering muncul di berbagai tontonan sekarang ini.

“Apalagi kalau bicara horor. Seringkali horor di Indonesia mengambil perempuan sebagai hantu, seakan perempuan hanya bisa balas dendam dan bergerak hanya setelah dirinya mati. Menyedihkan bukan? Ini akan jadi tantangan bagi saya dan penulis perempuan untuk mendobrak cara bertutur dan bercerita agar tak menjadikan perempuan hanya sebelah mata,” tegas Lele Laila.

Nomine Penulis Skenario Adaptasi Terbaik FFI 2021 ini berharap makin berjalannya waktu, ekosistem untuk perempuan bisa berkarya secara setara bisa lebih baik ke depannya. Perempuan sudah waktunya untuk terus memasuki berbagai bidang kekaryaan dan terus mengambil peran di dalamnya.

Bicara soal target ke depan, Lele Laila mengatakan dirinya tengah terobsesi untuk membuat buku sendiri, khususnya buku anak-anak. Dia membayangkan kalau nantinya punya anak, dirinya dan buah hatinya bisa duduk bareng dan membaca cerita karangannya sendiri. 

Baca juga: Cara Laila Nurazizah Mengolah Rasa Takut Saat Garap Naskah Film Badarawuhi

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Sejarah Museum R.A. Kartini di Rembang dan Jepara 

BERIKUTNYA

Cek Promo Diskon Tiket Kereta Api Untuk Surabaya dan Malang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: