Upaya Sineas Lokal Menciptakan Iklim Kerja Perfilman yang Aman bagi Perempuan
06 December 2022 |
18:32 WIB
Porsi peran perempuan dalam industri perfilman nasional masih terbilang rendah. Menurut riset yang dilakukan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (Kafein) pada 2020, keterlibatan perempuan pada 9 profesi kunci dalam produksi film, jumlahnya tidak lebih dari 20 persen.
Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 sampai 2019 juga tercatat hanya sekitar 8 persen. Kondisi ini membuat ruang aman bagi pekerja film perempuan menjadi hal yang patut mendapatkan perhatian lebih, di tengah ketimpangan porsi mereka di industri perfilman Indonesia dibandingkan pekerja film laki-laki.
Pasalnya, industri dan komunitas film Indonesia mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan pekerja film. Menurut data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada 2021 sebanyak 338.496 kasus.
Jumlah ini meningkat 50 persen jika dibandingkan dengan 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 persen atau 108 kasus kekerasan seksual terjadi di tempat kerja, dimana kasus kekerasan seksual yang terjadi di industri perfilman merupakan bagian dari kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja.
Baca juga: Peran Perempuan Belum Masif, Kultur Kerja Perfilman Masih Dinilai Maskulin
Dia menjelaskan dalam menggarap suatu proyek film, pihaknya selalu berupaya memastikan seluruh tim dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, membuat sistem jam kerja yang lebih teratur, menyusun standar operasional prosedur (SOP) yang ramah bagi semua pihak, hingga memastikan tidak ada tindakan pelecehan seksual antar anggota tim.
Selain itu, sebagai produser, dia juga telah menandatangani pakta integritas yang dibuat Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) terkait kesepakatan untuk menciptakan iklim dan ruang yang aman di industri perfilman bagi seluruh pekerja film.
"Sehingga upaya yang dilakukan rumah-rumah produksi ini juga terorganisasi melalui lembaga asosiasi," katanya kepada Hypeabis.id, belum lama ini.
Senada, Sutradara Ernest Prakasa mengatakan saat ini sudah lazim dalam satu tim produksi film memiliki semacam booklet atau pedoman untuk menciptakan iklim kerja yang aman bagi semua pihak, dan bebas dari tindakan pelecehan seksual. Selain itu, ada juga hotline untuk pengaduan perundungan hingga kekerasan seksual.
Hal tersebut diamini oleh aktris Marissa Anita. Dia mengatakan dalam kontrak kerja yang dia dapatkan, tertulis adanya jaminan perlindungan dari kekerasan seksual selama di lokasi syuting. "Dan itu betul-betul dijalankan di set [syuting]. Jadi selama ini, ketika saya bekerja saya selalu merasa aman," ujar aktris yang membintangi film Perempuan Tanah Jahanam itu.
Bahkan, kata Marissa, beberapa rumah produksi juga menyelenggarakan semacam penataran selama beberapa hari kepada seluruh tim terkait menciptakan ruang aman di lokasi syuting, termasuk memberikan kesepakatan aturan tertulis. Hal itu biasanya dilakukan sebelum proses syuting dimulai.
"Industri [perfilman] kita mulai menanggapi hal ini dengan cukup serius dan itu sangat baik," ujar perempuan berusia 39 tahun itu.
Baca juga: Rekomendasi 5 Film Inspiratif Tentang Penyandang Disabilitas, Ada Forrest Gump & Crip Camp
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 sampai 2019 juga tercatat hanya sekitar 8 persen. Kondisi ini membuat ruang aman bagi pekerja film perempuan menjadi hal yang patut mendapatkan perhatian lebih, di tengah ketimpangan porsi mereka di industri perfilman Indonesia dibandingkan pekerja film laki-laki.
Pasalnya, industri dan komunitas film Indonesia mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan pekerja film. Menurut data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada 2021 sebanyak 338.496 kasus.
Jumlah ini meningkat 50 persen jika dibandingkan dengan 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 8 persen atau 108 kasus kekerasan seksual terjadi di tempat kerja, dimana kasus kekerasan seksual yang terjadi di industri perfilman merupakan bagian dari kasus kekerasan yang terjadi di tempat kerja.
Baca juga: Peran Perempuan Belum Masif, Kultur Kerja Perfilman Masih Dinilai Maskulin
Upayakan Ruang Aman
Saat ini, para pelaku industri perfilman telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan ruang aman bagi seluruh pekerja sinema di Indonesia. Hal itu pula lah yang dilakukan oleh Produser Yulia Evina Bhara bersama dengan rumah produksi KawanKawan Media,Dia menjelaskan dalam menggarap suatu proyek film, pihaknya selalu berupaya memastikan seluruh tim dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, membuat sistem jam kerja yang lebih teratur, menyusun standar operasional prosedur (SOP) yang ramah bagi semua pihak, hingga memastikan tidak ada tindakan pelecehan seksual antar anggota tim.
Selain itu, sebagai produser, dia juga telah menandatangani pakta integritas yang dibuat Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) terkait kesepakatan untuk menciptakan iklim dan ruang yang aman di industri perfilman bagi seluruh pekerja film.
"Sehingga upaya yang dilakukan rumah-rumah produksi ini juga terorganisasi melalui lembaga asosiasi," katanya kepada Hypeabis.id, belum lama ini.
Senada, Sutradara Ernest Prakasa mengatakan saat ini sudah lazim dalam satu tim produksi film memiliki semacam booklet atau pedoman untuk menciptakan iklim kerja yang aman bagi semua pihak, dan bebas dari tindakan pelecehan seksual. Selain itu, ada juga hotline untuk pengaduan perundungan hingga kekerasan seksual.
Hal tersebut diamini oleh aktris Marissa Anita. Dia mengatakan dalam kontrak kerja yang dia dapatkan, tertulis adanya jaminan perlindungan dari kekerasan seksual selama di lokasi syuting. "Dan itu betul-betul dijalankan di set [syuting]. Jadi selama ini, ketika saya bekerja saya selalu merasa aman," ujar aktris yang membintangi film Perempuan Tanah Jahanam itu.
Bahkan, kata Marissa, beberapa rumah produksi juga menyelenggarakan semacam penataran selama beberapa hari kepada seluruh tim terkait menciptakan ruang aman di lokasi syuting, termasuk memberikan kesepakatan aturan tertulis. Hal itu biasanya dilakukan sebelum proses syuting dimulai.
"Industri [perfilman] kita mulai menanggapi hal ini dengan cukup serius dan itu sangat baik," ujar perempuan berusia 39 tahun itu.
Baca juga: Rekomendasi 5 Film Inspiratif Tentang Penyandang Disabilitas, Ada Forrest Gump & Crip Camp
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.