Begini Tantangan Kuliner Indonesia untuk Bisa Bersaing di Taraf Global
15 April 2024 |
22:41 WIB
Usaha di bidang kuliner masih menjadi salah satu bisnis yang tak ada matinya. Saat memasuki Ramadan dan Lebaran, bisnis ini pun semakin 'gurih'. Bertambahnya jumlah restoran, baik lokal maupun internasional di Tanah Air juga mengindikasikan ceruk bisnis ini masih terbuka lebar untuk digali.
Dari sisi ekonomi kreatif, kuliner masuk dalam tiga besar subsektor nilai yang paling berkontribusi di samping fesyen dan kerajinan tangan (kriya). Data BPS mencatat PDB untuk industri makanan dan minuman pada 2022 bertumbuh 4,8 persen dibandingkan 2021. Geliat ini juga didorong oleh sumbangan subsektor kuliner sebanyak 42 persen dari keseluruhan subsektor ekonomi kreatif.
Founder Nusadrasa R. Setyo Widhyarto mengatakan pertumbuhan industri kuliner dalam beberapa tahun terakhir memang sangat pesat. Seiring peningkatan teknologi, juga kian banyak restoran yang terus bersaing secara sehat untuk memberikan layanan ramah di perut dan kantong bagi kalangan masyarakat.
Baca juga: Masuk 10 Kota dengan Makanan Terbaik Versi TasteAtlas, Cek 5 Kuliner Khas Bandung
Pada momen Ramadan dan Lebaran tahun ini misalnya, beberapa restoran yang ingin menarik cuan lebih bisa melakukan berbagai promosi pada target market yang ingin dituju. Misalnya dengan membuat unique selling point atau bekerjasama dengan media, pakar marketing, dan influencer untuk memaksimalkan potensi ekonomi dari bisnis tersebut.
"Tantangan terbesar pada bisnis ini adalah menjaga konsistensi dari produk dan service yang kita jual. Namun, semakin banyaknya pelaku bisnis yang sama juga menjadi salah satu kendala dalam bisnis ini. Jadi diperlukan otentisitas tersendiri," katanya.
Selaras, founder Restoran Nasi Peda Pelangi, Nadya Pratiwi, mengatakan bahwa industri kuliner saat ini juga terus bergeliat. Bahkan pada momen Ramadan tahun ini ada banyak jenis makanan yang mereka olah, dari snack sampai appetizer hingga makanan rumahan yang laris dibeli pelanggan.
Mengusung slogan Bawa lidah Pulang di Tengah Gedung Tinggi Menjulang, setiap harinya kedai ini memang menyajikan nasi hangat berlauk ikan peda yang ditumis dengan cabai, bawang dan butiran jagung manis, dengan tambahan telur setengah matang dan orek tempe.
Berdiri sejak 2018, restoran dengan konsep outdoor ini berlokasi di kawasan SCBD Jakarta. Menu yang dijual di gerai ini pun cukup bersaing di kantong pekerja kantoran, mulai dari kisaran Rp18.000-Rp40.000 dengan resep-resep otentik dari berbagai daerah di Indonesia.
"Aku melihat hadirnya restoran lokal asal berbagai daerah di Jakarta juga sudah sangat kreatif. Terlebih saat ini banyak yang mengolah masakan-masakan lokal dengan sajian fusion. Dua tahun belakangan ini juga sudah banyak makanan lokal bertebaran, tak hanya Korea saja," katanya.
Baca juga: Mengintip Rahasia di Balik Bisnis Kuliner Legendaris yang Masih Eksis di Jakarta
Menurut Om Will, panggilan akrabnya, kuliner memang menjadi salah satu bentuk jalan diplomasi untuk mengenalkan kebudayaan setempat pada publik dari luar daerah. Saat seseorang pelesiran ke negara atau wilayah tertentu misalnya, hampir bisa dipastikan yang pertama kali dicari adalah kuliner khas setempat.
Lewat premis inilah dia merancang penyajian nasi bungkus sebagai bentuk gastrodiplomasi di restoran Garam Merica, di Australia. Sebab, di dalam nasi bungkus juga terdapat kekayaan budaya, keberagaman kuliner, dan simbol kesiapsiagaan orang Indonesia dalam menghadapi sesuatu yang tak terprediksi, seperti bencana alam atau yang lain.
Sebagai salah satu varian makanan, nasi bungkus, juga memiliki potensi yang besar untuk dikenalkan sebagai kuliner Tanah Air ke mata dunia. Indonesia bahkan memiliki berbagai macam nasi bungkus dengan nama-nama yang beragam, seperti nasi timbel, nasi jinggo, nasi docang, dan sebagainya dengan isian yang juga beragam.
"Jika diplomasi budaya memberi kedekatan, gastrodiplomasi melengkapinya dengan menyentuh rasa. Sentuhan itulah yang kita harapkan menjadi penjelajahan yang tak berkesudahan bagi masyarakat dunia," katanya.
Namun, laiknya bisnis lain, usaha untuk membangkitkan potensi kuliner Indonesia juga membutuhkan modal yang tidak sedikit. Selain itu, tingkat profesionalitas sumber daya dari para pelaku juga harus terus diperbarui seturut dengan zaman. Peran pemerintah untuk memajukan industri kuliner baik di dalam dan luar negeri juga perlu dilakukan lebih masif antar berbagai pihak.
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membangun pusat kuliner nasional sebagai pusat informasi, studi, dan pertukaran kuliner antar daerah di Indonesia. Nantinya, institusi tersebut juga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pencinta, peneliti, dan pengkaji kuliner dari bangsa lain dari luar Indonesia.
"Selain itu tidak bisa dipungkiri, orang Indonesia itu menghabiskan waktu untuk kuliner lokal 90 persen lebih dibanding kuliner asing. Meskipun ada banyak kuliner dari daerah lain yang juga semakin masif. Tapi di luar negeri [restoran Indonesia] itu masih sedikit bila dibanding kawasan lain," katanya.
Baca juga: Gastrodiplomasi Ala William Wongso, Kenalkan Kuliner Indonesia Untuk Dunia Lewat Nasi Bungkus
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dari sisi ekonomi kreatif, kuliner masuk dalam tiga besar subsektor nilai yang paling berkontribusi di samping fesyen dan kerajinan tangan (kriya). Data BPS mencatat PDB untuk industri makanan dan minuman pada 2022 bertumbuh 4,8 persen dibandingkan 2021. Geliat ini juga didorong oleh sumbangan subsektor kuliner sebanyak 42 persen dari keseluruhan subsektor ekonomi kreatif.
Founder Nusadrasa R. Setyo Widhyarto mengatakan pertumbuhan industri kuliner dalam beberapa tahun terakhir memang sangat pesat. Seiring peningkatan teknologi, juga kian banyak restoran yang terus bersaing secara sehat untuk memberikan layanan ramah di perut dan kantong bagi kalangan masyarakat.
Baca juga: Masuk 10 Kota dengan Makanan Terbaik Versi TasteAtlas, Cek 5 Kuliner Khas Bandung
Pada momen Ramadan dan Lebaran tahun ini misalnya, beberapa restoran yang ingin menarik cuan lebih bisa melakukan berbagai promosi pada target market yang ingin dituju. Misalnya dengan membuat unique selling point atau bekerjasama dengan media, pakar marketing, dan influencer untuk memaksimalkan potensi ekonomi dari bisnis tersebut.
"Tantangan terbesar pada bisnis ini adalah menjaga konsistensi dari produk dan service yang kita jual. Namun, semakin banyaknya pelaku bisnis yang sama juga menjadi salah satu kendala dalam bisnis ini. Jadi diperlukan otentisitas tersendiri," katanya.
Selaras, founder Restoran Nasi Peda Pelangi, Nadya Pratiwi, mengatakan bahwa industri kuliner saat ini juga terus bergeliat. Bahkan pada momen Ramadan tahun ini ada banyak jenis makanan yang mereka olah, dari snack sampai appetizer hingga makanan rumahan yang laris dibeli pelanggan.
Mengusung slogan Bawa lidah Pulang di Tengah Gedung Tinggi Menjulang, setiap harinya kedai ini memang menyajikan nasi hangat berlauk ikan peda yang ditumis dengan cabai, bawang dan butiran jagung manis, dengan tambahan telur setengah matang dan orek tempe.
Berdiri sejak 2018, restoran dengan konsep outdoor ini berlokasi di kawasan SCBD Jakarta. Menu yang dijual di gerai ini pun cukup bersaing di kantong pekerja kantoran, mulai dari kisaran Rp18.000-Rp40.000 dengan resep-resep otentik dari berbagai daerah di Indonesia.
"Aku melihat hadirnya restoran lokal asal berbagai daerah di Jakarta juga sudah sangat kreatif. Terlebih saat ini banyak yang mengolah masakan-masakan lokal dengan sajian fusion. Dua tahun belakangan ini juga sudah banyak makanan lokal bertebaran, tak hanya Korea saja," katanya.
Baca juga: Mengintip Rahasia di Balik Bisnis Kuliner Legendaris yang Masih Eksis di Jakarta
Jalan Diplomasi
Pengamat kuliner, William Wongso mengatakan, industri kuliner masih memiliki banyak peluang untuk digali potensinya. Keberagaman cita rasa makanan Nusantara juga diprediksi masih mampu menggoyang lidah dunia jika dikelola dengan cara yang sangkil, seperti negara-negara Asia lainnya yang perlahan menggusur makanan khas Eropa.Menurut Om Will, panggilan akrabnya, kuliner memang menjadi salah satu bentuk jalan diplomasi untuk mengenalkan kebudayaan setempat pada publik dari luar daerah. Saat seseorang pelesiran ke negara atau wilayah tertentu misalnya, hampir bisa dipastikan yang pertama kali dicari adalah kuliner khas setempat.
Lewat premis inilah dia merancang penyajian nasi bungkus sebagai bentuk gastrodiplomasi di restoran Garam Merica, di Australia. Sebab, di dalam nasi bungkus juga terdapat kekayaan budaya, keberagaman kuliner, dan simbol kesiapsiagaan orang Indonesia dalam menghadapi sesuatu yang tak terprediksi, seperti bencana alam atau yang lain.
Sebagai salah satu varian makanan, nasi bungkus, juga memiliki potensi yang besar untuk dikenalkan sebagai kuliner Tanah Air ke mata dunia. Indonesia bahkan memiliki berbagai macam nasi bungkus dengan nama-nama yang beragam, seperti nasi timbel, nasi jinggo, nasi docang, dan sebagainya dengan isian yang juga beragam.
"Jika diplomasi budaya memberi kedekatan, gastrodiplomasi melengkapinya dengan menyentuh rasa. Sentuhan itulah yang kita harapkan menjadi penjelajahan yang tak berkesudahan bagi masyarakat dunia," katanya.
Namun, laiknya bisnis lain, usaha untuk membangkitkan potensi kuliner Indonesia juga membutuhkan modal yang tidak sedikit. Selain itu, tingkat profesionalitas sumber daya dari para pelaku juga harus terus diperbarui seturut dengan zaman. Peran pemerintah untuk memajukan industri kuliner baik di dalam dan luar negeri juga perlu dilakukan lebih masif antar berbagai pihak.
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan membangun pusat kuliner nasional sebagai pusat informasi, studi, dan pertukaran kuliner antar daerah di Indonesia. Nantinya, institusi tersebut juga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pencinta, peneliti, dan pengkaji kuliner dari bangsa lain dari luar Indonesia.
"Selain itu tidak bisa dipungkiri, orang Indonesia itu menghabiskan waktu untuk kuliner lokal 90 persen lebih dibanding kuliner asing. Meskipun ada banyak kuliner dari daerah lain yang juga semakin masif. Tapi di luar negeri [restoran Indonesia] itu masih sedikit bila dibanding kawasan lain," katanya.
Baca juga: Gastrodiplomasi Ala William Wongso, Kenalkan Kuliner Indonesia Untuk Dunia Lewat Nasi Bungkus
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.