Sutradara film Eksil Lola Amaria (Sumber gambar: Instagram/lola.amaria)

Eksklusif Lola Amaria: Cerita di Balik Pembuatan & Penayangan Film Eksil

08 March 2024   |   15:15 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Sutradara Lola Amaria menempuh jalan berliku ketika menggarap film dokumenter Eksil (2024). Kegelisahannya sewaktu duduk di bangku sekolah, terutama ketika mendengar isu peristiwa 1965, mengantarkannya pada cerita panjang lain yang selalu ditutup-tutupi.

Perjalanannya menyusuri berbagai negara di Eropa dalam rangka mencari para eksil, mereka yang terbuang oleh negara akibat meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, tertuang dengan begitu runut dan penuh kegetiran. 

Perlu setidaknya satu dekade bagi Lola untuk merampungkan film yang diganjar Piala Citra kategori Dokumenter Terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia 2023 tersebut. Kendati, bukan itu tujuan utamanya membuat film tersebut. 

Baca juga: Sutradara Lola Amaria Ungkap Kejutan dalam Penggarapan Film Dokumenter Eksil

Lola ingin film Eksil garapannya bisa ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang. Bioskop menjadi medium yang sedari awal dipilih untuk distribusi karyanya itu. Namun, menayangkan film dokumenter di layar lebar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Justru hal itu jadi bagian dari lika-liku lain yang dirasakannya.

Mulai mengajukan permintaan tayang sejak Mei 2023, film Eksil baru mendapatkan slot tayang pada 1 Februari 2024 atau tiga bulan setelah memenangkan FFI 2023. Namun, kendati telah memenangkan piala paling bergengsi di kalangan sineas, film Eksil masih tak mendapatkan jumlah layar yang layak.

Walaupun demikian, Lola tak patah arang. Di tengah keterbatasan, film tersebut mendapat sambutan yang baik dari penonton. Praktis, sekitar 1 bulan penuh film dokumenter ini masih terus bertahan di bioskop.

Layar nobar mandiri untuk komunitas yang tidak kebagian penayangan reguler film Eksil di daerahnya juga terus bertumbuh. Dedikasinya selama satu dekade itu membawanya pada satu keyakinan utamanya: film adalah medium yang powerful, ia sangat bisa menjadi penggerak banyak hal.

Kepada Hypeabis.id Lola Amaria berbagi cerita mengenai perjalanan panjang film Eksil. Berikut petikan wawancaranya:

 
Sutradara film Eksil Lola Amaria (Sumber gambar: Instagram/lola.amaria)
Film Eksil adalah dokumenter perdana yang Anda sutradarai, dan dibuat dalam rentang 10 tahun. Boleh cerita mengenai proses pembuatannya?

Saya memulai riset untuk film ini sekitar 2013. Itu pun, dimulai dari sebuah accident, karena ada banyak sekali pertanyaan yang muncul saat itu, bahkan sejak saya sekolah, tetapi belum ada jawabannya.

Sejak sekolah, kalimat darah itu merah Jenderal’ masih melekat di kepala saya. Selama 12 tahun, saya jadi generasi yang di cekokin (film G30SPKI, red) itu. Kayaknya, itu jadi sesuatu yang enggak bisa hilang. Sayangnya, mau saya cari ke mana pun jawaban-jawaban itu, enggak tahu juga. Semua sumber informasi saat itu berjalan searah.

Namun, saat bisa punya kesempatan ke luar negeri, saat itu ke Jerman dan Belanda, di situ saya diajak oleh salah satu mahasiswa ‘eh kita main yuk ke rumah eksil’. Perkenalan ini perlahan membuka potongan puzzle sejarah lain yang selama ini banyak muncul di pikiran.

Saya pun mulai tanya banyak hal, dari sudah berapa lama tinggal, kenapa kewarganegaraannya berubah, pekerjaan mereka apa, dan masih banyak lagi. Dari cerita dia, ada banyak jawaban yang saya cari. Rupanya, satu eksil ini hanya sebagian kecil dari banyak eksil lain di berbagai negara di Eropa, Eropa Timur utamanya.

Setelah pulang dari tempat mereka, barulah saya berpikir tentang pembuatan film Eksil. Konsep yang dipikirkan adalah dokumenter, supaya lebih akurat. Karena tokohnya langsung yang akan bicara. Namun, itu rupanya jadi hal yang tak mudah.

Apa yang menjadi tantangan besarnya kala itu?

Ketika awal saya datang, cerita mereka bisa mengalir dengan bebas. Namun, saat saya datang kedua kalinya, dengan bawa handycam dan alat perekam lain, itu ternyata bermasalah buat mereka. Para eksil ini agak kaget dan menyangka saya intel.

Jadi, sangat bertolak belakang dengan kedatangan pertama saya. Ketika itu, saya ditanya macam-macam, “kamu ini siapa, siapa yang mengutus kamu ke sini, tahu apa kamu soal 65?” dan hal lainnya. Trauma yang berkepanjangan membuat mereka takut sedemikian rupa. 

Akhirnya, mereka menutup diri. Baru mulai berjalan ketika setahun setelahnya. Saya ada teman di Belanda yang membantu untuk meyakinkan para eksil ini. Setelah saya kirimkan latar belakang, tulisan, dan film-film yang pernah saya buat, akhirnya mereka mulai percaya. 

Dari 30 eksil yang saya wawancara, 10 yang tampil adalah yang bersedia. Akhirnya, mulai syuting itu akhir 2015. Namun, sebenarnya, saat itu saya merasa belum siap karena secara finansial ini belum ada.

Pemicu saya memberanikan diri adalah karena Pak Min, ketika liburan di Indonesia bertemu anak-anaknya, kena serangan jantung dan balik ke Belanda, lalu meninggal. Lalu, Tom Iljas pada 2015 ke Indonesia mau ke makam bapaknya di Sumatra Barat, tetapi dia dideportasi.

Rentetan kejadian ini membuat mau tidak mau harus segera syuting. Kalau menunggu kapan siap, para narasumbernya bisa tiada terlebih dahulu. Akhirnya, dicari, sedapetnya berapa, mulai berangkat tahun itu juga. Intinya, biar kita dapat statement eksil dan kehidupan mereka di Eropa. Nanti, sisanya biar kita pikirkan di Indonesia. Setelahnya, sekitar 2016-2022 itu penyelesaian film. Banyak struktur editing yang berubah, mencari footage, sampai akhirnya jadi. 

 
Sutradara film Eksil Lola Amaria (Sumber gambar: Instagram/lola.amaria)
Mulai membuat film saat bujet produksi belum siap, ini juga yang membuat proses pengerjaannya menjadi 10 tahun?

Jujur, uang kenapa jadi masalah dalam produksi karena kami enggak ada funding, enggak ada investor. Kami benar-benar nyari bujet produksi sendiri. Makanya ini bisa berjalan begitu lama. Namun, di satu sisi juga disyukuri karena tidak ada intervensi dari pihak mana pun.

Kalau misalnya, finansialnya datang dari pihak A atau pihak B, pasti kan ada tekanan. Ya seminimalnya minta filmnya cepat selesai. Tetapi, bisa juga minta mengubah isi, dalam artian ‘jangan dibikin begini begitu’.

Saat mengerjakan ini, saya itu penuh keikhlasan, dan saya menaruh hati sepenuhnya di sini. Jadi, meski ini panjang, saya merasa ini memang harus berjalan sebagaimana mestinya, seperti apa adanya.

Hal tersebut juga membuat saya punya kemerdekaan penuh untuk membuat film ini. Termasuk, saat saya melakukan beberapa FGD dengan berbagai latar bidang dan usia, sebelum melakukan finalisasi editing. Di dalam FGD itu, terdapat masukan-masukan penting yang akhirnya membuat film jadi seperti sekarang.

Apa alasan kuat Anda begitu ingin mendokumentasi ini? 

Saya tidak mengalami 65, tetapi saya mengalami 98. Kejadian besar yang agak mirip. Jadi, saya membayangkan ini memang bisa berulang. Peristiwa 98 aja enggak ngenakin, apalagi 65. Jadi, intinya ada pergesekan.

Dalam film ini, saya tidak mau membahas soal politik di dalam peristiwa itu. Yang saya bicarakan adalah korbannya. Ini kan berhubungan dengan kemanusiaan. Ini adalah orang-orang yang kuliah di luar negeri dan diharapkan seharusnya bisa membangun Indonesia lebih baik, tetapi kemudian satu generasi hilang.

Mereka itu terkucilkan, bahkan keluarganya pun demikian. Sampai masa tua itu tidak mendapat kenyamanan. Bayangkan kamu lagi kuliah di luar negeri, lalu tiba-tiba semua terjadi, tidak bisa pulang sampai 30 tahun kemudian, itu kayak apa rasanya. 

Baca juga: Eksklusif Sutradara Joko Anwar: Siksa Kubur Bukan Sinema Dakwah atau Film Setan

Apakah setelah penayangan ini ada intimidasi?

So far sih tidak ada yah. Karena satu yang kita pegang film ini sudah mendapat status lulus sensor. Kedua, tidak ada provokasi ke pemerintah. Ketiga, tidak ada provokasi orang jadi komunis. Keempat, tidak ada provokasi membangkitkan PKI. PKI itu memang sudah tidak ada. Jadi, kalau takut atau ditakut-takuti itu hanya alasan segelintir orang untuk hal yang tidak perlu.

Mengapa di film Eksil seluruh narasumbernya adalah laki-laki?

Sebenarnya, ketika sedang riset, ada juga perempuan. Namun, ketika ini akan dibuat menjadi film, semuanya kan menjadi sangat terbuka bagi mereka. Mereka akan ada di layar dan segala kegiatannya akan direkam.

Sebagian dari mereka tidak bersedia karena merasa keamanannya tidak terjamin, takut keluarganya di Indonesia bermasalah, dan hal-hal lain. Beberapa keluarga besarnya juga melarang, dan mereka merasa keberatan.

Dari sekian banyak gambar wawancara dan footage, pemilihan ending selalu jadi hal menarik. Mengapa memilih gambar para eksil yang melambaikan tangan di depan rumah untuk mengakhiri film ini? 

Sebenarnya ada banyak versi ending pada mulanya. Saya awalnya pengin ending-nya ucapan Soekarno yang mengatakan imperialisme tidak akan mati. Itu terlihat menarik sebagai sebuah simbol bahwa kalau kita tidak hati-hati, nanti bisa terulang lagi.

Akan tetapi, footage tersebut mahal sekali. Beberapa detiknya itu puluhan juta. Saat itu, kita enggak punya uang lagi. Kalau pun dibeli, tidak worth it dari harganya. Jadi, kami mencari alternatif dan menjadi lambaian tangan seperti sekarang.

Lambaian tangan itu juga sebenarnya punya arti yang kuat. Film ini kan dibuka ketika tim kami mendapat sambutan dari para eksil, bahwa kami diterima di sini. Lalu, penonton mengikuti perjalanan kami di film ini. Sampai pada akhirnya, kami pamit.

Jadi, ya sudah, mereka melambaikan tangan dan balik ke rumah. Ketika masuk rumah, menutup pintu, dan matiin lampu, mereka hanya ingin beristirahat dengan tenang setelahnya, terutama setelah cerita besar mereka sudah dititipkan di film ini.
 

Sutradara film Eksil Lola Amaria (Sumber gambar: Instagram/lola.amaria)

Sutradara film Eksil Lola Amaria (Sumber gambar: Instagram/lola.amaria)

Film ini kemudian tayang terbatas, tetapi Anda juga membuka kemungkinan penonton di daerah lain yang tidak kebagian layar reguler untuk nobar, bagaimana antusiasnya?

Jadi, teman-teman di daerah yang tidak kebagian layar reguler memang bisa menonton film ini dengan mengadakan acara nobar. Mereka tinggal mengumpulkan penonton sesuai dengan jumlah kursi bioskop. Lalu menyewa satu studio bioskop, nanti bisa langsung nobar.

Antusias penonton untuk nobar cukup tinggi ya di kalangan komunitas dan kolektif. Selama ini, sudah ada lebih dari 15 kota yang menjalankan itu. Dari Padang, Makassar, Palembang, Semarang, Solo, Kupang, Samarinda, Banjarmasin, Probolinggo, Purwokerto, Cilacap, dan masih banyak lagi.

Itu luar biasa sih bagi saya. Bahkan, ada beberapa kasus ketika mereka sudah booking satu studio, karena peminatnya banyak, akhirnya tambah lagi.

Ada rencana tayang di OTT?

Belum tahu. Sejauh ini belum ada. Saya masih konsentrasi tayang di bioskop. Dalam artian, komunitas nobar atau kampus atau elemen lain yang ingin menonton, semoga bisa di bioskop. Harapannya, mereka bisa menonton dan menikmati film ini secara lebih baik, di sebuah layar besar dengan audio yang proper

Itu lebih baik daripada sekadar nonton di HP atau laptop. Karena, kita juga bikin film ini sedetail itu untuk bisa memenuhi standar bioskop, dari suara, warna, dan elemen lainnya.

Baca juga: Eksklusif Ernest Prakasa: Menatap Industri Film 2024 dengan Optimistis

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Pakai Intel Core Generasi ke-14, Intip Spesifikasi Acer Predator Helios Neo 16

BERIKUTNYA

Cek Tata Cara Penukaran Tiket & Benefit Fancon Chanyeol EXO di Jakarta

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: