Eksklusif Sutradara Joko Anwar: Siksa Kubur Bukan Sinema Dakwah atau Film Setan
22 February 2024 |
16:30 WIB
Sutradara Joko Anwar saat ini berada di Bangkok, Thailand. Kehadirannya di Negeri Gajah Putih itu bukan untuk berlibur, melainkan mengerjakan finalisasi color grading film horor teranyarnya berjudul Siksa Kubur. Film itu dijadwalkan tayang di bioskop pada 10 April 2024.
Siksa Kubur menjadi film kesepuluh yang digarap Joko Anwar, sekaligus menandai perjalanan karier penyutradaraannya, yang telah berjalan selama dua dekade. Kali ini, sutradara kelahiran Medan itu ingin menghadirkan film horor lebih bermakna dan matang dari segi penceritaan, dengan pembangunan karakter yang lebih kuat dari karya-karya sebelumnya.
Baca juga: Eksklusif Profil Garin Nugroho: Dinamika di Balik Proses Penjurian Festival Film Indonesia 2023
Sutradara film Pengabdi Setan itu juga ingin menyajikan film horor yang lebih dekat dengan masyarakat Indonesia, salah satunya dengan mengangkat tema agama sebagai latar cerita. Tidak sekadar mengandalkan visual mencekam, tapi sekaligus membawa gagasan yang menusuk ke hati penontonnya.
Siksa Kubur juga dibuat untuk mereka yang belum percaya akan siksa kubur, sekaligus menjawab pertanyaan dan menjadi antitesis bagi banyak kalangan yang kerap mendengungkan jika film horor isinya selalu setan. Tentu saja, semua itu dihadirkan bukan untuk menjustifikasi apalagi berdakwah kepada penonton.
Alih-alih sekadar menyuguhkan jumpscare dan kesadisan, Siksa Kubur akan membawa kengerian penonton hingga mempertanyakan keimanan yang dimilikinya setelah menonton film ini. Dengan bentuk baru dan perspektif segar yang dibawa, Siksa Kubur disebut akan menjadi benchmark baru bagi perfilman khususnya genre horor di Indonesia.
Kepada Hypeabis.id, melalui sambungan telepon, Joko Anwar membeberkan seputar proses kreatif penggarapan film yang telah dinantikan oleh para sinefil di Tanah Air itu. Mulai dari tema penceritaan dengan unsur agama yang diangkat, elemen-elemen kuat film Siksa Kubur dibandingkan dengan karya sebelumnya, hingga tantangannya menghadirkan film horor yang lebih naik kelas. Seperti apa kisah serunya? Berikut petikan obrolan kami.
Kenapa Siksa Kubur disebut sebagai film yang penuh tantangan dan berbeda dari karya-karya Anda sebelumnya?
Kalau film-film sebelumnya kan yang coba kami tawarkan kepada para penonton itu roller coaster ride, jadi kaya masuk wahana rumah hantu. Jadi secara film itu lebih hiburan. Lantaran aku sudah dua puluh tahun di film, jadi ingin bikin sesuatu yang lebih punya makna dan personal, tapi tetap buat penonton itu ada nilai lebihnya. Bukan sekadar rumah hantu dan roller coaster ride, tapi sesuatu yang bisa masuk ke hati mereka.
Jadi tantangannya adalah bagaimana kami bisa membuat cerita yang bisa masuk ke kepala dan hati penonton. Jadi kengerian itu bukan hanya dari mata, tapi dari perasaan. Cerita dan karakter itu betul-betul serius dikerjakannya sejak 2012, ketika film pendeknya aku buat dan kupikir harus dikembangkan ke dalam film panjang.
Siksa Kubur juga disebut menjadi film horor religi pertama yang Anda buat. Sebenarnya cerita seperti apa yang bakal dihadirkan?
Siksa kubur itu secara topik adalah sesuatu yang sangat penting khususnya bagi orang Islam, yang diajarkan sejak kita kecil, baik dari orang tua atau guru mengaji. Ketika di kubur kita akan bertemu dengan malaikat Munkar dan Nakir dan harus bisa menjawab pertanyaan mereka. Sebab, suatu ajaran yang sangat penting dan dekat, jadi membuatnya harus hati-hati, dan jangan sampai salah secara agama tapi tetap bisa memberikan sesuatu yang menusuk perasaan.
Cerita film ini memang tentang siksa kubur. Bagaimana kepercayaan tentang siksa kubur itu betul-betul menjadi pengaruh besar menjadi pengaruh besar dalam hidup manusia. Cuma masalahnya kan, kalau kita lihat sekarang, orang punya agama, orang Islam banyak, terus ajaran tentang siksa kubur tahu, tapi kenapa kok orang enggak takut dengan siksa kubur dan tetap melakukan dosa. Lantaran enggak percaya kan?
Nah, kenapa aku bilang ini adalah film horor religi karena tujuannya supaya orang percaya dengan siksa kubur itu. Tapi bukan berdakwah, dan lebih mengikuti karakternya saja. Nanti bukan juga seperti melarang orang berbuat dosa, karena lebih kompleks dari itu. Intinya bukan film dakwah, meskipun ada hubungannya dengan agama Islam.
Jadi nanti ketika orang-orang melihat karakter-karakternya terutama tokoh-tokoh utamanya, akan coba memahami kenapa mereka sampai seperti itu. Filmnya tidak akan judgemental tapi akan menyelami kenapa orang berbuat kesalahan dan dosa.
Ada konflik-konflik sosial atau politik yang disinggung tidak dalam cerita film Siksa Kubur?
Kalau spesifik politik itu enggak ada, tapi persoalan sosial itu ada. Justru masalahnya adalah persoalan sosial. Jadi film ini bukan untuk memberikan judge kepada mereka yang berdosa, tapi mencari akar permasalahannya. Sebab mereka tidak percaya, tapi kenapa demikian? Apa yang terjadi? Orang bisa percaya untuk sesuatu yang lain, tapi kenapa untuk hal yang diajarkan agama, mereka tidak percaya.
Sebenarnya Siksa Kubur ini lanjutan dari film pendeknya yang dirilis 2012 atau seperti apa?
Cerita di film pendeknya ada, jadilah film panjangnya. Jadi semua yang terjadi di film panjangnya disebabkan oleh film pendeknya. Bisa dibilang film pendeknya itu adalah gerbang pembuka untuk melihat versi dari film panjangnya ini.
Apa tantangan utama yang dihadapi dalam menggarap film Siksa Kubur?
Secara teknis, tantangannya adalah bagaimana membuat filmnya itu terasa nyata dan organik. Jadi tidak fantasi. Sebab beberapa film yang menggambarkan kehidupan setelah mati itu kan fantasi ya. Nah kami pengennya realistis, karena tujuannya ingin membuat orang percaya.
Penggunaan computer generated imagery (CGI) untuk film-film kami biasanya sebagai pendukung supaya menyempurnakan apa yang sudah bisa dicapai saat syuting. Jadi kalau membuat satu dunianya benar-benar dengan CGI gitu, aku enggak pernah suka dengan film seperti itu. Jadi bikinnya yang realistis, dan kalau memang hasilnya tidak sempurna, baru disempurnakan dengan bantuan CGI.
Hal baru apa saja yang akan penonton dapatkan dari film Siksa Kubur jika dibandingkan dengan karya-karya Anda sebelumnya?
Aku bisa bilang Siksa Kubur itu sangat berbeda dari film-film yang pernah aku bikin. Mungkin hal yang belum pernah penonton dapatkan dari film-film aku yang lain dan ada di Siksa Kubur adalah bahan perenungan yang lebih dalam. Karena usiaku sudah cukup tua juga, jadi ingin bikin sesuatu yang lebih reflektif untuk penonton.
Intinya ingin bikin sesuatu yang lebih bermakna, bukan cuma hiburan tapi sesuatu yang lain. Dulu aku pernah bilang mudah-mudahan film Pengabdi Setan jadi batas paling bawah dari film-film horor Indonesia sehingga ke depannya harus lebih bagus lagi. Terus sekarang inginnya memberikan film yang punya benchmark lagi, jadi bukan dari segi visual saja tapi juga dari segi isi atau ceritanya dan karakterisasinya juga lebih kuat.
Mengapa film Siksa Kubur disebut akan menjadi benchmark baru film horor di Indonesia?
Lantaran kengeriannya bukan cuma visual, tapi juga dari perasaannya. Nanti kalau masyarakat menonton, pasti akan paham apa yang aku maksud. Jadi film horor itu bukan cuma soal ada hantu. Namanya juga film Siksa Kubur, jadi bukan tentang setan, yang ada mungkin malah malaikat.
Music scoring juga jadi hal yang tampak menonjol dalam film Siksa Kubur, seperti apa proses kreatifnya?
Untuk di film Siksa Kubur ini kami mencoba untuk membuat scoring yang tidak berdiri sendiri. Jadi ketika orang nonton filmnya nanti akan merasa scoring-nya tidak berdiri sendiri tapi akan menjadi bagian dari story telling. Jadi score-nya, kami bikin jadi karakter dalam ceritanya.
Dengan begitu, scoring-nya tetap menonjol tapi tidak mengganggu, karena kadang-kadang scoring itu stand out tapi mengganggu. Jadi dia teriak sendiri. Jadi scoring itu bukan penyerta dalam film, tapi bagian dari story telling.
Baca juga: Eksklusif Profil Sutradara Nia Dinata, Cerita tentang Perempuan dalam Karya Filmnya
Editor: Dika Irawan
Siksa Kubur menjadi film kesepuluh yang digarap Joko Anwar, sekaligus menandai perjalanan karier penyutradaraannya, yang telah berjalan selama dua dekade. Kali ini, sutradara kelahiran Medan itu ingin menghadirkan film horor lebih bermakna dan matang dari segi penceritaan, dengan pembangunan karakter yang lebih kuat dari karya-karya sebelumnya.
Baca juga: Eksklusif Profil Garin Nugroho: Dinamika di Balik Proses Penjurian Festival Film Indonesia 2023
Sutradara film Pengabdi Setan itu juga ingin menyajikan film horor yang lebih dekat dengan masyarakat Indonesia, salah satunya dengan mengangkat tema agama sebagai latar cerita. Tidak sekadar mengandalkan visual mencekam, tapi sekaligus membawa gagasan yang menusuk ke hati penontonnya.
Siksa Kubur juga dibuat untuk mereka yang belum percaya akan siksa kubur, sekaligus menjawab pertanyaan dan menjadi antitesis bagi banyak kalangan yang kerap mendengungkan jika film horor isinya selalu setan. Tentu saja, semua itu dihadirkan bukan untuk menjustifikasi apalagi berdakwah kepada penonton.
Alih-alih sekadar menyuguhkan jumpscare dan kesadisan, Siksa Kubur akan membawa kengerian penonton hingga mempertanyakan keimanan yang dimilikinya setelah menonton film ini. Dengan bentuk baru dan perspektif segar yang dibawa, Siksa Kubur disebut akan menjadi benchmark baru bagi perfilman khususnya genre horor di Indonesia.
Kepada Hypeabis.id, melalui sambungan telepon, Joko Anwar membeberkan seputar proses kreatif penggarapan film yang telah dinantikan oleh para sinefil di Tanah Air itu. Mulai dari tema penceritaan dengan unsur agama yang diangkat, elemen-elemen kuat film Siksa Kubur dibandingkan dengan karya sebelumnya, hingga tantangannya menghadirkan film horor yang lebih naik kelas. Seperti apa kisah serunya? Berikut petikan obrolan kami.
Kenapa Siksa Kubur disebut sebagai film yang penuh tantangan dan berbeda dari karya-karya Anda sebelumnya?
Kalau film-film sebelumnya kan yang coba kami tawarkan kepada para penonton itu roller coaster ride, jadi kaya masuk wahana rumah hantu. Jadi secara film itu lebih hiburan. Lantaran aku sudah dua puluh tahun di film, jadi ingin bikin sesuatu yang lebih punya makna dan personal, tapi tetap buat penonton itu ada nilai lebihnya. Bukan sekadar rumah hantu dan roller coaster ride, tapi sesuatu yang bisa masuk ke hati mereka.
Jadi tantangannya adalah bagaimana kami bisa membuat cerita yang bisa masuk ke kepala dan hati penonton. Jadi kengerian itu bukan hanya dari mata, tapi dari perasaan. Cerita dan karakter itu betul-betul serius dikerjakannya sejak 2012, ketika film pendeknya aku buat dan kupikir harus dikembangkan ke dalam film panjang.
Siksa Kubur juga disebut menjadi film horor religi pertama yang Anda buat. Sebenarnya cerita seperti apa yang bakal dihadirkan?
Siksa kubur itu secara topik adalah sesuatu yang sangat penting khususnya bagi orang Islam, yang diajarkan sejak kita kecil, baik dari orang tua atau guru mengaji. Ketika di kubur kita akan bertemu dengan malaikat Munkar dan Nakir dan harus bisa menjawab pertanyaan mereka. Sebab, suatu ajaran yang sangat penting dan dekat, jadi membuatnya harus hati-hati, dan jangan sampai salah secara agama tapi tetap bisa memberikan sesuatu yang menusuk perasaan.
Cerita film ini memang tentang siksa kubur. Bagaimana kepercayaan tentang siksa kubur itu betul-betul menjadi pengaruh besar menjadi pengaruh besar dalam hidup manusia. Cuma masalahnya kan, kalau kita lihat sekarang, orang punya agama, orang Islam banyak, terus ajaran tentang siksa kubur tahu, tapi kenapa kok orang enggak takut dengan siksa kubur dan tetap melakukan dosa. Lantaran enggak percaya kan?
Nah, kenapa aku bilang ini adalah film horor religi karena tujuannya supaya orang percaya dengan siksa kubur itu. Tapi bukan berdakwah, dan lebih mengikuti karakternya saja. Nanti bukan juga seperti melarang orang berbuat dosa, karena lebih kompleks dari itu. Intinya bukan film dakwah, meskipun ada hubungannya dengan agama Islam.
Jadi nanti ketika orang-orang melihat karakter-karakternya terutama tokoh-tokoh utamanya, akan coba memahami kenapa mereka sampai seperti itu. Filmnya tidak akan judgemental tapi akan menyelami kenapa orang berbuat kesalahan dan dosa.
Ada konflik-konflik sosial atau politik yang disinggung tidak dalam cerita film Siksa Kubur?
Kalau spesifik politik itu enggak ada, tapi persoalan sosial itu ada. Justru masalahnya adalah persoalan sosial. Jadi film ini bukan untuk memberikan judge kepada mereka yang berdosa, tapi mencari akar permasalahannya. Sebab mereka tidak percaya, tapi kenapa demikian? Apa yang terjadi? Orang bisa percaya untuk sesuatu yang lain, tapi kenapa untuk hal yang diajarkan agama, mereka tidak percaya.
Sebenarnya Siksa Kubur ini lanjutan dari film pendeknya yang dirilis 2012 atau seperti apa?
Cerita di film pendeknya ada, jadilah film panjangnya. Jadi semua yang terjadi di film panjangnya disebabkan oleh film pendeknya. Bisa dibilang film pendeknya itu adalah gerbang pembuka untuk melihat versi dari film panjangnya ini.
Apa tantangan utama yang dihadapi dalam menggarap film Siksa Kubur?
Secara teknis, tantangannya adalah bagaimana membuat filmnya itu terasa nyata dan organik. Jadi tidak fantasi. Sebab beberapa film yang menggambarkan kehidupan setelah mati itu kan fantasi ya. Nah kami pengennya realistis, karena tujuannya ingin membuat orang percaya.
Penggunaan computer generated imagery (CGI) untuk film-film kami biasanya sebagai pendukung supaya menyempurnakan apa yang sudah bisa dicapai saat syuting. Jadi kalau membuat satu dunianya benar-benar dengan CGI gitu, aku enggak pernah suka dengan film seperti itu. Jadi bikinnya yang realistis, dan kalau memang hasilnya tidak sempurna, baru disempurnakan dengan bantuan CGI.
Hal baru apa saja yang akan penonton dapatkan dari film Siksa Kubur jika dibandingkan dengan karya-karya Anda sebelumnya?
Aku bisa bilang Siksa Kubur itu sangat berbeda dari film-film yang pernah aku bikin. Mungkin hal yang belum pernah penonton dapatkan dari film-film aku yang lain dan ada di Siksa Kubur adalah bahan perenungan yang lebih dalam. Karena usiaku sudah cukup tua juga, jadi ingin bikin sesuatu yang lebih reflektif untuk penonton.
Intinya ingin bikin sesuatu yang lebih bermakna, bukan cuma hiburan tapi sesuatu yang lain. Dulu aku pernah bilang mudah-mudahan film Pengabdi Setan jadi batas paling bawah dari film-film horor Indonesia sehingga ke depannya harus lebih bagus lagi. Terus sekarang inginnya memberikan film yang punya benchmark lagi, jadi bukan dari segi visual saja tapi juga dari segi isi atau ceritanya dan karakterisasinya juga lebih kuat.
Mengapa film Siksa Kubur disebut akan menjadi benchmark baru film horor di Indonesia?
Lantaran kengeriannya bukan cuma visual, tapi juga dari perasaannya. Nanti kalau masyarakat menonton, pasti akan paham apa yang aku maksud. Jadi film horor itu bukan cuma soal ada hantu. Namanya juga film Siksa Kubur, jadi bukan tentang setan, yang ada mungkin malah malaikat.
Music scoring juga jadi hal yang tampak menonjol dalam film Siksa Kubur, seperti apa proses kreatifnya?
Untuk di film Siksa Kubur ini kami mencoba untuk membuat scoring yang tidak berdiri sendiri. Jadi ketika orang nonton filmnya nanti akan merasa scoring-nya tidak berdiri sendiri tapi akan menjadi bagian dari story telling. Jadi score-nya, kami bikin jadi karakter dalam ceritanya.
Dengan begitu, scoring-nya tetap menonjol tapi tidak mengganggu, karena kadang-kadang scoring itu stand out tapi mengganggu. Jadi dia teriak sendiri. Jadi scoring itu bukan penyerta dalam film, tapi bagian dari story telling.
Baca juga: Eksklusif Profil Sutradara Nia Dinata, Cerita tentang Perempuan dalam Karya Filmnya
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.