Eksklusif Profil Alfredo & Isabel Aquilizan: Menciptakan Seni yang Dekat & Memberdayakan Masyarakat
08 October 2023 |
11:51 WIB
Maria Isabel Gaudinez Aquilizan dan Alfredo Juan Aquilizan adalah nama yang tak asing di kancah seni rupa Asia Tenggara. Mereka merupakan pasangan suami istri sekaligus rekanan artistik asal Filipina yang telah memamerkan karyanya secara luas di sejumlah pameran besar, dan bienal di berbagai negara di dunia.
Sebagai seniman, karya-karya mereka dikenal karena menampilkan perspektif unik yang kerap kali berkisar pada tema lingkungan rumah dan keluarga, menggabungkan material-material yang mudah ditemukan sehari-hari ke dalam karya yang dibuat, dan menemukan cara di mana identitas dan sejarah terbentuk melalui perjalanan dan migrasi.
Baca juga: Pakai Material Bekas, Intip 5 Karya Pasangan Perupa Isabel & Alfredo Aquilizan di Museum MACAN
Karya Isabel dan Alfredo Aquilizan acapkali menggunakan ragam material yang sederhana dan mudah ditemukan seperti kardus, sandal jepit, sikat gigi, dan selimut. Bagi mereka, benda-benda yang sarat akan aktivitas masyarakat dan kerap digunakan ketika bepergian ini merupakan medium sederhana yang dapat membangkitkan ide-ide mengenai identitas individu, sejarah, perjalanan, dan migrasi.
Hal itu tidak terlepas dari latar belakang serta pengalaman dan migrasi yang dilalui Isabel dan Alfredo. Keduanya mulai aktif berkarya sebagai seniman pada akhir 1990-an di Filipina. Pada 2006, pasangan itu pindah ke Australia bersama dengan kelima anak mereka dan menetap di Negeri Kangguru itu hingga saat ini.
Alfredo Juan Aquilizan adalah seorang seniman dengan spektrum kekaryaan yang luas meliputi gambar, melukis, memahat, mencampur media, perakitan hingga proyek instalasi. Dia memperoleh gelar sarjana seni rupa dari Philippine Women's University pada 1986 dan gelar master dari Polytechnic University di Norwich, Inggris. Saat ini, dia tengah menempuh studi doktoral di Universitas Griffith di Brisbane, Australia.
Sementara Maria Isabel Gaudinez Aquilizan adalah seorang guru dan seniman performans lulusan Seni Komunikasi di University of Assumption Filipina. Pengalamannya dalam berbagai seni pertunjukan dan berbagai praktik kerja kolaboratif, membuat dia akhirnya bekerja sama dengan sang suami, Alfredo, untuk membuat karya-karya instalasi lintas media dan material.
Sebagai seniman, Isabel dan Alfredo juga dikenal berkat semangat praktik seni kolaboratifnya. Dalam melakukan proses artistiknya, mereka kerap berkolaborasi dengan para artisan, komunitas, dan masyarakat lokal di suatu negara untuk menciptakan karya-karya instalasi yang besar. Bagi mereka, seni juga berfungsi sebagai sistem interaksi, kritik timbal balik terhadap perbedaan, sekaligus wadah untuk memberdayakan dan mengembangkan komunitas.
Sepanjang praktif kolaboratifnya, Isabel dan Alfredo telah menciptakan banyak karya instalasi berskala besar yang menyoroti gagasan mengenai rumah dan keluarga, identitas dan kepemilikan, perjalanan dan perpindahan, merasakan kehadiran dalam ketiadaan, dan akumulasi ingatan.
Berangkat dari gagasan artistik tersebut, tak heran jika karya-karya mereka seringkali mengajak audiens untuk berefleksi, menggugah imajinasi, sekaligus menciptakan interaksi lantaran terkesan dekat dengan siapapun.
Terbaru, Isabel dan Alfredo menggelar pameran Somewhere, Elsewhere, Nowhere di Museum MACAN Jakarta. Eksibisi tersebut menampilkan setidaknya 30 karya yang terdiri dari instalasi besar, patung, dan seni gambar yang telah dibuat selama lebih dari 20 tahun praktik kolaboratif mereka. Pameran keduanya pun disambut hangat oleh para penikmat seni di Tanah Air.
Kepada Hypeabis.id, Isabel dan Alfredo bercerita mengenai gagasan artistik keduanya sebagai pasangan seniman selama dua dekade, upaya untuk menciptakan karya seni yang dekat dengan audiens, pandangan mereka tentang praktik seni kolaboratif, hingga pengalamannya bekerja sama dengan para artisan dan komunitas dari berbagai negara. Termasuk, proses mereka dalam menggelar pameran di Museum MACAN Jakarta.
Seperti apa kisah mereka? Berikut petikan obrolan kami.
Sebenarnya sejak kapan kalian bekerja sama dan memutuskan untuk menjadi pasangan seniman?
Isabel: Kami bertemu ketika kami masih kecil. Alfredo dibesarkan di sebuah kota di ujung utara Filipina, dan dia menghabiskan musim panas di rumah sepupunya di Manila, tempat saya tinggal. Kami berkumpul ketika saya masih di sekolah menengah atas. Saat kuliah saya mengambil jurusan seni komunikasi dan produksi, dan Alfredo belajar seni rupa. Akhirnya kami menikah.
Alfredo: Kami mengajar di Sekolah Menengan Seni Filipina dan menciptakan kelas multidisiplin ilmu yang mengundang siswa untuk berkolaborasi, yang kami sebut eksplorasi multimedia. Jadi, sejak awal kami telah berkolaborasi satu sama lain dan dengan orang lain. Salah satu karya paling awal yang kami hasilkan bersama adalah ketika saya sedang menyelesaikan gelar Master di Inggris. Isabel sedang mengandung anak ketiga kami di Filipina, dan kami menulis surat setiap hari.
Saya kira wajar jika kami mulai bekerja sama, karena ketika kami mulai berkeluarga, tidak mungkin memisahkan seni dan apa yang kami lakukan sehari-hari. Jadi, kami tidak bisa mengunci diri di dalam studio dan melupakan tanggung jawab sebagai orang tua.
Saya pikir ini menjadi organik, karena kita pergi ke pasar bersama-sama, dan di sanalah terkadang mendapatkan ide. Kami mulai memiliki anak dan, tentu saja, ide-ide yang berasal dari urusan rumah tangga akhirnya masuk ke dalam studio.
Apa saja tantangan yang kalian hadapi selama bekerja sebagai pasangan seniman sepanjang dua dekade terakhir ini?
Isabel: Tentu saja, merupakan sebuah tantangan untuk menyeimbangkan kehidupan rumah tangga dengan praktik seni kita. Namun kami menemukan cara untuk melakukan hal tersebut dengan benda-benda yang kami gunakan sehari-hari, seperti sweater bayi, sehingga kehidupan dan seni tidak pernah benar-benar terpisah.
Kami memiliki kekuatan masing-masing, kami tahu posisi satu sama lain, dan kami mendukungnya. Ini tentang menemukan cara untuk terhubung dan menggunakan materi untuk memahami berbagai hal, termasuk situasi dan tantangan yang perlu diatasi. Sebagai orang tua dengan lima orang anak, menjadi seniman tidaklah mudah namun harus dikerjakan.
Alfredo: Menikah dan memiliki anak menjadi perpanjangan dari praktik kami. Sekarang kami memiliki kelompok keluarga. Bekerja sama dengan anak-anak kami dan mendirikan Fruitjuice Factori Studio untuk 'The National 4: Australian Art Now' di Sydney. Instalasi ini seluruhnya terbuat dari rumah karton dan merupakan perluasan proyek kami untuk 'Dreamhome', pameran perdana di Sydney Modern.
Ketika anak-anak telah memulai hidup mereka sendiri, dan kita terpisah karena pandemi ini, kita selalu menemukan cara untuk bersatu dengan menciptakan karya seni, yang memberikan ruang bagi kita untuk terhubung kembali. Itulah dinamika yang saya dan Isabel kembangkan selama bertahun-tahun.
Bagaimana cerita pameran Somewhere, Elsewhere, Nowhere yang digelar di Museum MACAN Jakarta? Apa sebenarnya yang ingin kalian sampaikan kepada publik melalui pameran ini?
Alfredo: Ini adalah undangan khusus dari Aaron Seeto dimana kami pernah berkolaborasi dengan dia sebelumnya ketika dia masih bekerja di Sydney. Jadi kami memang sudah kenal dengan Aaron karena dia juga pernah bekerja di Brisbane. Kami sangat antusias bisa bekerja sama kembali di proyek pameran ini. Aaron secara khusus memilih karya yang mengeksplorasi hubungan budaya, politik, dan bahkan topografi dan geografis antara Filipina, Indonesia, Asia Tenggara, dan sekitarnya
Pameran kami di Museum MACAN ini bukan sekadar menampilkan karya-karya yang telah dibuat sejak 1990-an hingga kini, tapi juga bagaimana karya tersebut di-rekontekstualisasi karena dipamerkan di negara yang berbeda lagi yaitu Indonesia. Itu akan menciptakan dimensi yang berbeda. Jadi yang pasti narasinya akan berubah dan itulah yang membuat karya menjadi menarik. Generasi ini juga akan melihatnya dalam konteks yang berbeda.
Sangat menarik untuk melihat bagaimana rangkaian karya ini akan bertransformasi, tidak hanya bentuknya, tetapi juga konteksnya. Menarik sekali melihat generasi muda. Mereka akan terlibat secara visual dengan satu atau lain cara, mereka mulai membaca lebih jauh dari gambar-gambar itu dan merefleksikan situasi mereka saat ini.
Isabel: Beberapa karya sudah pernah kami pamerkan [di Indonesia]. Tapi di museum, ini adalah pertama kalinya. Kami telah bekerja dalam rentang praktik berkesenian selama lebih dari dua dekade. Ini pertama kalinya kami dapat menunjukkan begitu banyak karya dalam bentuk dan bahan yang berbeda. hal itu yang juga menciptakan narasi yang berlapis dalam karya ini.
Sebagian besar karya seni kalian menggunakan material bekas, mengapa demikian? Apa arti dari bahan-bahan bekas itu untuk proses kesenian?
Alfredo: Barang-barang bekas itu secara tidak langsung mendefinisikan ketertarikan dan fokus kami dalam berkarya. Ini juga strategi kami agar orang mulai benar-benar terlibat dalam seni. Ini seperti meletakkan seni ke tingkat orang awam. Ketika mereka mulai terlibat, mereka mulai menghargai. Ketika mereka mulai menghargai, mereka mulai mengerti. Ketika mereka mulai mengerti, mereka mulai berpikir lebih dalam.
Isabel: Kemudian jika mereka mulai berpikir lebih dalam, pertanyaan selanjutnya adalah pada diri mereka sendiri. Anda kembali dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang harus saya lakukan? Karena kita semua punya tujuan. Kami juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu pada diri kami, dan itu penting karena itulah peran seni.
Seni tidak hanya ada sebagai komoditas. Bagi kami sebagai seniman, ada tanggung jawab besar yang kami rasakan. Kami berdua juga pendidik, selain itu kami adalah orang tua. Tetapi sebagai seniman ada peran sangat besar yang bisa kami mainkan untuk menggunakan cara yang ampuh ini, yaitu membuat dan menciptakan sesuatu yang bukan hanya cantik tetapi juga bermakna dan berbicara tentang banyak hal.
Alfredo: Saya pikir juga penting untuk mengembalikan ekologi tentang apa itu seni dan kehidupan lalu melihat perannya ke dalam masyarakat. Sebagai seniman, kami memiliki tanggung jawab besar untuk merefleksikan apa yang terjadi di sekitar karena kami melihat berbagai hal secara berbeda. Kami menggunakan kosakata visual. Kami memiliki kosakata yang sama sekali berbeda untuk menyajikan apa yang kami lihat.
Saya pikir itu juga sangat penting bagi mereka [yang awam] untuk coba melihat sesuatu dan memahami sesuatu dengan cara yang berbeda, yang menurut saya, seperti yang dikatakan Isabel, seni adalah media yang sangat kuat, atau alat yang sangat kuat bagi kita untuk melakukan itu.
Isabel: Harapannya, apa yang kami lakukan dapat memberdayakan dan menginspirasi.
Di pameran ini, kalian meminta audiens Indonesia untuk terlibat dengan mengumpulkan sikat gigi. Apa alasan melibatkan audiens dalam praktik kesenian kalian?
Alfredo: Kami dididik salam bahasa Barat apa yang mereka sebut seni. Dalam bahasa itu, seniman cenderung individualis, mengunci diri di dalam studio dan melakukan hal-hal hebat. Namun, menurut saya, dalam kasus, wilayah, dan budaya kita khususnya di Asia Tenggara hal tersebut tidak semuanya terjadi.
Ini semua tentang ide egalitarianisme dan menciptakan hubungan dan ruang bagi orang-orang untuk berkumpul. Mengundang orang lain atau komunitas untuk duduk bersama dan saling berbagi membuat satu objek [karya seni] yang sama, itu adalah arti seni yang sesungguhnya bagi kami.
Isabel: Reaksi orang selalu berbeda-beda saat kita meminta sikat giginya. Ada yang menuliskan namanya di kuas, ada pula yang membawanya ke kita di dalam kotak, kebanyakan orang ragu-ragu. Keterlibatan ini sangat penting bagi proses kami karena merupakan alat untuk memulai percakapan.
Ke mana pun kami pergi, kami selalu berusaha memahami apa yang terjadi di sekitar kami. Untuk menyelami berbagai tempat dan terhubung dengan komunitas yang kami temui secara terbuka, mendengarkan cerita mereka melalui benda-benda yang kami kumpulkan.
Mengapa kalian selalu melibatkan komunitas untuk menciptakan seni yang kolaboratif? Apa makna semangat kolektivisme bagi kalian?
Alfredo: Sekali lagi, kita kembali menjadi orang Asia Tenggara. Pembentukan hubungan. Apalagi saat ini, di masa sekarang, pascapandemi – bahkan bukan pascapandemi –kita lebih banyak berinvestasi pada hubungan dibandingkan hal lainnya. Saya pikir seni adalah alat yang sangat ampuh untuk digunakan dalam hal semacam itu. Itulah yang dimaksud dengan pembuatan seni.
Kita memiliki semua faktor ini seperti faktor geografis, topografi, iklim, dan sebagainya. Cuacanya sangat panas dan kami harus keluar rumah. Apa yang akan kita lakukan di luar rumah? Kita perlu berkomunikasi. Saat Anda duduk bersama, Anda perlu berbicara satu sama lain. Dan apa yang akan kamu bicarakan? Anda harus membuat hal-hal kecil yang menyenangkan yang harus Anda uraikan. Jadi ini bukan soal topografi saja, dan tentu saja, kita juga punya faktor politik dan ekonomi.
Banyak karya kalian yang menonjolkan gagasan tentang rumah, keluarga, perasaan hadir dalam ketiadaan, dan juga akumulasi kenangan. Apakah interpretasi ini dipengaruhi oleh keputusan kalian pindah ke Australia?
Alfredo: Ya, menurut saya apapun yang kita lakukan, apapun perubahan dalam hidup, itu selalu mempengaruhi pekerjaan kita. Karena seni tidak terpisah dengan kehidupan. Salah satu contoh ketika anak kami masih kecil karya-karya kami menerjemahkan hal sehari-hari mereka. Seperti, misalnya, kami menggunakan sweater mereka saat bayi sebagai bahan pembuatan karya.
Hal ini terus berlanjut sampai kita pindah ke Australia. Proses perpindahan Itu juga menjadi sebuah proyek seni, seperti membicarakan kejadian yang ada dalam hidup kita. Pada dasarnya, tentang memilih apa yang akan dibawa dan apa yang akan ditinggalkan. Menurut saya itu proses yang sangat menyakitkan dan memilukan, dan itu kami tunjukkan di Sydney Biennale 2006.
Isabel: Apa yang Anda lihat dalam pameran ini adalah cerminan dari apa yang terlihat di sekitar kita. Seperti bagaimana kita menanggapi lingkungan dan orang-orang yang kita temui. Semua datang dan pergi secara alami. Tentang bagaimana perasaan, tentang warna yang kita lihat di sekitar. Jadi begitu saja, itu otomatis.
Dalam pameran ini, kalian juga menampilkan karya yang dibuat di Indonesia? Bisa kalian jelaskan tentang karya tersebut?
Alfredo: Proyek Belok Kiri Jalan Terus kami mulai di Indonesia saat residensi di Yogyakarta pada 2015. Kami diundang oleh kurator Alia Swastika dan tidak memiliki kewajiban untuk memproduksi apa pun, jadi kami meluangkan waktu bertemu orang-orang. Kami bertemu petani dengan sabit mereka yang disebut arit, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, tradisi itu kini sudah berubah karena orang-orang membeli sabit buatan pabrik yang diproduksi massal.
Isabel: Inilah cara kami memulai Proyek Sayap Kiri, di mana kami membuat sayap yang terbuat dari beberapa bilah pisau dari berbagai negara di Asia Tenggara. Sabit sangat melambangkan permasalahan agraria di kawasan ini, termasuk hak atas tanah dan buruh, sehingga kami mulai melakukan penelitian di Kamboja, Vietnam, dan Taiwan. Di Taiwan, ada pabrik di kepulauan Kinmen yang membuat pisau dari peluru artileri. Kami juga telah membuat proyek sayap di Filipina, menggunakan praktik tradisional pembuatan pisau pandayan.
Alfredo: Kami juga membuat karya sayap baru untuk pameran di Museum MACAN dengan menggabungkan 92 sangkar burung untuk membuat bentuk sayap pesawat. Kami telah membaca tentang burung menyanyi di Indonesia yang ditangkap oleh pemburu liar dan dibawa ke pulau Jawa untuk diambil kicauannya, dan hal ini sungguh ironis. Meskipun burung menciptakan ruang sosial bagi manusia yang memeliharanya untuk berkompetisi dalam lomba kicau burung, mereka dipelihara di sangkar kecil ini sendirian.
Isabel: Kami selalu melihat bagaimana ruang sosial diciptakan melalui objek, tapi di sini burunglah yang menciptakan ruang sosial. Oleh karena itu, kami menampilkan sangkar-sangkar kosong berbentuk sayap beserta komposisi suara nyanyian burung-burung tersebut. Kami selalu kembali ke sayap sebagai bentuk yang kembali ke gagasan penerbangan, kebebasan, migrasi, dan perlindungan.
Dari sekian banyak karya yang dibuat, karya yang mana yang paling monumental bagi kalian? Mengapa demikian?
Isabel: Salah satu yang paling berkesan mungkin Here, There, and Everywhere yang menggunakan material kardus atau yang kami sebut kotak Balikbayan. Kotak ini adalah penemuan cerdik Diaspora Filipina untuk tetap berhubungan dengan keluarga, kerabat, teman, dan Tanah Air mereka.
Kotak itu biasanya dibawa atau dikirim kembali ke Filipina berisi barang-barang sehari-hari, untuk dibawa dengan pesawat atau dikirim melalui pos. Itu merupakan pengingat yang kuat dan kaya akan hubungan emosional dan spiritual antara orang-orang yang berada di pengasingan dan rumah mereka, antara individu yang gamang dan orang-orang yang berada di pengasingan.
Alfredo: Ketika Anda pindah, selalu ada proses yang memilukan tidak hanya karena Anda benar-benar akan meninggalkan rumah, tetapi juga proses memilih apa yang akan ditinggalkan dan apa yang harus dibawa. Apa yang sebenarnya Anda perlukan untuk memulai hidup baru? Selalu ada perasaan ketidakpastian, ketidakjelasan dan keragu-raguan yang mengalihkannya ke sebuah bentuk seni, menjadi sebuah proses penyembuhan.
Tapi saya pikir hal yang paling monumental adalah ide karya itu sendiri serta bagaimana kami berkolaborasi dan saling bertukar pengetahuan dengan para artisan dan komunitas dalam membuat karya. Kesenian kami bukan hanya bicara tentang berkarya dan membuat objek yang bisa dilihat audiens dan di-posting di media sosial, tapi bagaimana membuat seni bisa menghidupkan lingkungan sosial sekitar secara berkelanjutan.
Kalian berdua telah berkarya sebagai pasangan seniman selama 20 tahun, bagaimana kalian memaknai hal tersebut?
Alfredo: Itu adalah perjalanan yang penuh badai hahaha. Tapi setelah badai juga ada pelangi yang membuatnya jadi terang lagi. Karena kami pikir ini berkesenian adalah hal yang harus kami lakukan, dan kami harus selalu mencari cara untuk mewujudkan itu semua. Termasuk untuk menyeimbangkan antara kehidupan domestik kami sebagai suami dan istri, dan pekerjaan kami sebagai seniman.
Isabel: Selalu ada tantangan karena kami berdua berasal dari latar belakang yang berbeda. Jadi, latar belakang Alfredo adalah seni visual sementara saya seni produksi. Dari latar belakang keluarga, saya dari Manila dan dia benar-benar dari provinsi, bagian jauh di utara provinsi. Dia berasal dari kelompok minoritas yaitu Ibanag. Dia berbicara dua bahasa dan saya hanya mengetahui Tagalog karena saya dari Manila. Saya dari kota, meskipun saya benar-benar tidak menyukai perkotaan. Bagaimanapun, ya, sangat menantang.
Tapi dari perbedaan latar belakang itu akhirnya memunculkan ragam cara pandang dalam melihat banyak hal yang kami tuangkan dalam karya. Kita tahu bahwa saat bekerja ada kalanya kita sepakat pada suatu hal dan ada kalanya saling bertentangan. Tetapi pada saat yang sama, karena kita perlu mencapai tujuan tertentu, jadi kita harus benar-benar meletakkan semuanya dalam satu piring dan mencoba memasak resep yang benar-benar enak agar rasanya bisa menjadi enak.
Ke depan, proyek apa yang akan kalian lakukan?
Alfredo: Setelah kami tinggal di Australia selama 17 tahun dan anak-anak kami juga telah tumbuh dewasa, rasanya kami ingin kembali ke rumah. Entah rumah itu bisa berarti apapun. Kami harus lebih banyak berefleksi lagi dan melihat sekitar, karena menurut kami itu salah satu tanggung jawab sebagai seniman. Lalu menerjemahkannya ke dalam bentuk visual dalam bahasa yang berbeda.
Intinya kami ke depan ingin lebih bekerja dengan beberapa komunitas yang telah kami buat. Kami tidak ingin hanya membuat karya untuk di jual ke pasar seperti kebanyakan seniman sekarang. Sebaliknya, kami ingin menciptakan pasar versi kami sendiri seperti institusi dan komunitas yang bisa bekerja sama dengan kami. Hal itulah yang akan terus kami lanjutkan dan berharap bisa memberikan inspirasi untuk banyak komunitas.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Sebagai seniman, karya-karya mereka dikenal karena menampilkan perspektif unik yang kerap kali berkisar pada tema lingkungan rumah dan keluarga, menggabungkan material-material yang mudah ditemukan sehari-hari ke dalam karya yang dibuat, dan menemukan cara di mana identitas dan sejarah terbentuk melalui perjalanan dan migrasi.
Baca juga: Pakai Material Bekas, Intip 5 Karya Pasangan Perupa Isabel & Alfredo Aquilizan di Museum MACAN
Karya Isabel dan Alfredo Aquilizan acapkali menggunakan ragam material yang sederhana dan mudah ditemukan seperti kardus, sandal jepit, sikat gigi, dan selimut. Bagi mereka, benda-benda yang sarat akan aktivitas masyarakat dan kerap digunakan ketika bepergian ini merupakan medium sederhana yang dapat membangkitkan ide-ide mengenai identitas individu, sejarah, perjalanan, dan migrasi.
Hal itu tidak terlepas dari latar belakang serta pengalaman dan migrasi yang dilalui Isabel dan Alfredo. Keduanya mulai aktif berkarya sebagai seniman pada akhir 1990-an di Filipina. Pada 2006, pasangan itu pindah ke Australia bersama dengan kelima anak mereka dan menetap di Negeri Kangguru itu hingga saat ini.
Alfredo Juan Aquilizan adalah seorang seniman dengan spektrum kekaryaan yang luas meliputi gambar, melukis, memahat, mencampur media, perakitan hingga proyek instalasi. Dia memperoleh gelar sarjana seni rupa dari Philippine Women's University pada 1986 dan gelar master dari Polytechnic University di Norwich, Inggris. Saat ini, dia tengah menempuh studi doktoral di Universitas Griffith di Brisbane, Australia.
Sementara Maria Isabel Gaudinez Aquilizan adalah seorang guru dan seniman performans lulusan Seni Komunikasi di University of Assumption Filipina. Pengalamannya dalam berbagai seni pertunjukan dan berbagai praktik kerja kolaboratif, membuat dia akhirnya bekerja sama dengan sang suami, Alfredo, untuk membuat karya-karya instalasi lintas media dan material.
Sebagai seniman, Isabel dan Alfredo juga dikenal berkat semangat praktik seni kolaboratifnya. Dalam melakukan proses artistiknya, mereka kerap berkolaborasi dengan para artisan, komunitas, dan masyarakat lokal di suatu negara untuk menciptakan karya-karya instalasi yang besar. Bagi mereka, seni juga berfungsi sebagai sistem interaksi, kritik timbal balik terhadap perbedaan, sekaligus wadah untuk memberdayakan dan mengembangkan komunitas.
Sepanjang praktif kolaboratifnya, Isabel dan Alfredo telah menciptakan banyak karya instalasi berskala besar yang menyoroti gagasan mengenai rumah dan keluarga, identitas dan kepemilikan, perjalanan dan perpindahan, merasakan kehadiran dalam ketiadaan, dan akumulasi ingatan.
Berangkat dari gagasan artistik tersebut, tak heran jika karya-karya mereka seringkali mengajak audiens untuk berefleksi, menggugah imajinasi, sekaligus menciptakan interaksi lantaran terkesan dekat dengan siapapun.
Terbaru, Isabel dan Alfredo menggelar pameran Somewhere, Elsewhere, Nowhere di Museum MACAN Jakarta. Eksibisi tersebut menampilkan setidaknya 30 karya yang terdiri dari instalasi besar, patung, dan seni gambar yang telah dibuat selama lebih dari 20 tahun praktik kolaboratif mereka. Pameran keduanya pun disambut hangat oleh para penikmat seni di Tanah Air.
Kepada Hypeabis.id, Isabel dan Alfredo bercerita mengenai gagasan artistik keduanya sebagai pasangan seniman selama dua dekade, upaya untuk menciptakan karya seni yang dekat dengan audiens, pandangan mereka tentang praktik seni kolaboratif, hingga pengalamannya bekerja sama dengan para artisan dan komunitas dari berbagai negara. Termasuk, proses mereka dalam menggelar pameran di Museum MACAN Jakarta.
Seperti apa kisah mereka? Berikut petikan obrolan kami.
Sebenarnya sejak kapan kalian bekerja sama dan memutuskan untuk menjadi pasangan seniman?
Isabel: Kami bertemu ketika kami masih kecil. Alfredo dibesarkan di sebuah kota di ujung utara Filipina, dan dia menghabiskan musim panas di rumah sepupunya di Manila, tempat saya tinggal. Kami berkumpul ketika saya masih di sekolah menengah atas. Saat kuliah saya mengambil jurusan seni komunikasi dan produksi, dan Alfredo belajar seni rupa. Akhirnya kami menikah.
Alfredo: Kami mengajar di Sekolah Menengan Seni Filipina dan menciptakan kelas multidisiplin ilmu yang mengundang siswa untuk berkolaborasi, yang kami sebut eksplorasi multimedia. Jadi, sejak awal kami telah berkolaborasi satu sama lain dan dengan orang lain. Salah satu karya paling awal yang kami hasilkan bersama adalah ketika saya sedang menyelesaikan gelar Master di Inggris. Isabel sedang mengandung anak ketiga kami di Filipina, dan kami menulis surat setiap hari.
Saya kira wajar jika kami mulai bekerja sama, karena ketika kami mulai berkeluarga, tidak mungkin memisahkan seni dan apa yang kami lakukan sehari-hari. Jadi, kami tidak bisa mengunci diri di dalam studio dan melupakan tanggung jawab sebagai orang tua.
Saya pikir ini menjadi organik, karena kita pergi ke pasar bersama-sama, dan di sanalah terkadang mendapatkan ide. Kami mulai memiliki anak dan, tentu saja, ide-ide yang berasal dari urusan rumah tangga akhirnya masuk ke dalam studio.
Apa saja tantangan yang kalian hadapi selama bekerja sebagai pasangan seniman sepanjang dua dekade terakhir ini?
Isabel: Tentu saja, merupakan sebuah tantangan untuk menyeimbangkan kehidupan rumah tangga dengan praktik seni kita. Namun kami menemukan cara untuk melakukan hal tersebut dengan benda-benda yang kami gunakan sehari-hari, seperti sweater bayi, sehingga kehidupan dan seni tidak pernah benar-benar terpisah.
Kami memiliki kekuatan masing-masing, kami tahu posisi satu sama lain, dan kami mendukungnya. Ini tentang menemukan cara untuk terhubung dan menggunakan materi untuk memahami berbagai hal, termasuk situasi dan tantangan yang perlu diatasi. Sebagai orang tua dengan lima orang anak, menjadi seniman tidaklah mudah namun harus dikerjakan.
Alfredo: Menikah dan memiliki anak menjadi perpanjangan dari praktik kami. Sekarang kami memiliki kelompok keluarga. Bekerja sama dengan anak-anak kami dan mendirikan Fruitjuice Factori Studio untuk 'The National 4: Australian Art Now' di Sydney. Instalasi ini seluruhnya terbuat dari rumah karton dan merupakan perluasan proyek kami untuk 'Dreamhome', pameran perdana di Sydney Modern.
Ketika anak-anak telah memulai hidup mereka sendiri, dan kita terpisah karena pandemi ini, kita selalu menemukan cara untuk bersatu dengan menciptakan karya seni, yang memberikan ruang bagi kita untuk terhubung kembali. Itulah dinamika yang saya dan Isabel kembangkan selama bertahun-tahun.
Isabel & Alfredo Aquilizan. (Sumber gambar: Museum MACAN)
Alfredo: Ini adalah undangan khusus dari Aaron Seeto dimana kami pernah berkolaborasi dengan dia sebelumnya ketika dia masih bekerja di Sydney. Jadi kami memang sudah kenal dengan Aaron karena dia juga pernah bekerja di Brisbane. Kami sangat antusias bisa bekerja sama kembali di proyek pameran ini. Aaron secara khusus memilih karya yang mengeksplorasi hubungan budaya, politik, dan bahkan topografi dan geografis antara Filipina, Indonesia, Asia Tenggara, dan sekitarnya
Pameran kami di Museum MACAN ini bukan sekadar menampilkan karya-karya yang telah dibuat sejak 1990-an hingga kini, tapi juga bagaimana karya tersebut di-rekontekstualisasi karena dipamerkan di negara yang berbeda lagi yaitu Indonesia. Itu akan menciptakan dimensi yang berbeda. Jadi yang pasti narasinya akan berubah dan itulah yang membuat karya menjadi menarik. Generasi ini juga akan melihatnya dalam konteks yang berbeda.
Sangat menarik untuk melihat bagaimana rangkaian karya ini akan bertransformasi, tidak hanya bentuknya, tetapi juga konteksnya. Menarik sekali melihat generasi muda. Mereka akan terlibat secara visual dengan satu atau lain cara, mereka mulai membaca lebih jauh dari gambar-gambar itu dan merefleksikan situasi mereka saat ini.
Isabel: Beberapa karya sudah pernah kami pamerkan [di Indonesia]. Tapi di museum, ini adalah pertama kalinya. Kami telah bekerja dalam rentang praktik berkesenian selama lebih dari dua dekade. Ini pertama kalinya kami dapat menunjukkan begitu banyak karya dalam bentuk dan bahan yang berbeda. hal itu yang juga menciptakan narasi yang berlapis dalam karya ini.
Sebagian besar karya seni kalian menggunakan material bekas, mengapa demikian? Apa arti dari bahan-bahan bekas itu untuk proses kesenian?
Alfredo: Barang-barang bekas itu secara tidak langsung mendefinisikan ketertarikan dan fokus kami dalam berkarya. Ini juga strategi kami agar orang mulai benar-benar terlibat dalam seni. Ini seperti meletakkan seni ke tingkat orang awam. Ketika mereka mulai terlibat, mereka mulai menghargai. Ketika mereka mulai menghargai, mereka mulai mengerti. Ketika mereka mulai mengerti, mereka mulai berpikir lebih dalam.
Isabel: Kemudian jika mereka mulai berpikir lebih dalam, pertanyaan selanjutnya adalah pada diri mereka sendiri. Anda kembali dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang harus saya lakukan? Karena kita semua punya tujuan. Kami juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu pada diri kami, dan itu penting karena itulah peran seni.
Seni tidak hanya ada sebagai komoditas. Bagi kami sebagai seniman, ada tanggung jawab besar yang kami rasakan. Kami berdua juga pendidik, selain itu kami adalah orang tua. Tetapi sebagai seniman ada peran sangat besar yang bisa kami mainkan untuk menggunakan cara yang ampuh ini, yaitu membuat dan menciptakan sesuatu yang bukan hanya cantik tetapi juga bermakna dan berbicara tentang banyak hal.
Alfredo: Saya pikir juga penting untuk mengembalikan ekologi tentang apa itu seni dan kehidupan lalu melihat perannya ke dalam masyarakat. Sebagai seniman, kami memiliki tanggung jawab besar untuk merefleksikan apa yang terjadi di sekitar karena kami melihat berbagai hal secara berbeda. Kami menggunakan kosakata visual. Kami memiliki kosakata yang sama sekali berbeda untuk menyajikan apa yang kami lihat.
Saya pikir itu juga sangat penting bagi mereka [yang awam] untuk coba melihat sesuatu dan memahami sesuatu dengan cara yang berbeda, yang menurut saya, seperti yang dikatakan Isabel, seni adalah media yang sangat kuat, atau alat yang sangat kuat bagi kita untuk melakukan itu.
Isabel: Harapannya, apa yang kami lakukan dapat memberdayakan dan menginspirasi.
Di pameran ini, kalian meminta audiens Indonesia untuk terlibat dengan mengumpulkan sikat gigi. Apa alasan melibatkan audiens dalam praktik kesenian kalian?
Alfredo: Kami dididik salam bahasa Barat apa yang mereka sebut seni. Dalam bahasa itu, seniman cenderung individualis, mengunci diri di dalam studio dan melakukan hal-hal hebat. Namun, menurut saya, dalam kasus, wilayah, dan budaya kita khususnya di Asia Tenggara hal tersebut tidak semuanya terjadi.
Ini semua tentang ide egalitarianisme dan menciptakan hubungan dan ruang bagi orang-orang untuk berkumpul. Mengundang orang lain atau komunitas untuk duduk bersama dan saling berbagi membuat satu objek [karya seni] yang sama, itu adalah arti seni yang sesungguhnya bagi kami.
Isabel: Reaksi orang selalu berbeda-beda saat kita meminta sikat giginya. Ada yang menuliskan namanya di kuas, ada pula yang membawanya ke kita di dalam kotak, kebanyakan orang ragu-ragu. Keterlibatan ini sangat penting bagi proses kami karena merupakan alat untuk memulai percakapan.
Ke mana pun kami pergi, kami selalu berusaha memahami apa yang terjadi di sekitar kami. Untuk menyelami berbagai tempat dan terhubung dengan komunitas yang kami temui secara terbuka, mendengarkan cerita mereka melalui benda-benda yang kami kumpulkan.
Mengapa kalian selalu melibatkan komunitas untuk menciptakan seni yang kolaboratif? Apa makna semangat kolektivisme bagi kalian?
Alfredo: Sekali lagi, kita kembali menjadi orang Asia Tenggara. Pembentukan hubungan. Apalagi saat ini, di masa sekarang, pascapandemi – bahkan bukan pascapandemi –kita lebih banyak berinvestasi pada hubungan dibandingkan hal lainnya. Saya pikir seni adalah alat yang sangat ampuh untuk digunakan dalam hal semacam itu. Itulah yang dimaksud dengan pembuatan seni.
Kita memiliki semua faktor ini seperti faktor geografis, topografi, iklim, dan sebagainya. Cuacanya sangat panas dan kami harus keluar rumah. Apa yang akan kita lakukan di luar rumah? Kita perlu berkomunikasi. Saat Anda duduk bersama, Anda perlu berbicara satu sama lain. Dan apa yang akan kamu bicarakan? Anda harus membuat hal-hal kecil yang menyenangkan yang harus Anda uraikan. Jadi ini bukan soal topografi saja, dan tentu saja, kita juga punya faktor politik dan ekonomi.
Banyak karya kalian yang menonjolkan gagasan tentang rumah, keluarga, perasaan hadir dalam ketiadaan, dan juga akumulasi kenangan. Apakah interpretasi ini dipengaruhi oleh keputusan kalian pindah ke Australia?
Alfredo: Ya, menurut saya apapun yang kita lakukan, apapun perubahan dalam hidup, itu selalu mempengaruhi pekerjaan kita. Karena seni tidak terpisah dengan kehidupan. Salah satu contoh ketika anak kami masih kecil karya-karya kami menerjemahkan hal sehari-hari mereka. Seperti, misalnya, kami menggunakan sweater mereka saat bayi sebagai bahan pembuatan karya.
Hal ini terus berlanjut sampai kita pindah ke Australia. Proses perpindahan Itu juga menjadi sebuah proyek seni, seperti membicarakan kejadian yang ada dalam hidup kita. Pada dasarnya, tentang memilih apa yang akan dibawa dan apa yang akan ditinggalkan. Menurut saya itu proses yang sangat menyakitkan dan memilukan, dan itu kami tunjukkan di Sydney Biennale 2006.
Isabel: Apa yang Anda lihat dalam pameran ini adalah cerminan dari apa yang terlihat di sekitar kita. Seperti bagaimana kita menanggapi lingkungan dan orang-orang yang kita temui. Semua datang dan pergi secara alami. Tentang bagaimana perasaan, tentang warna yang kita lihat di sekitar. Jadi begitu saja, itu otomatis.
Dalam pameran ini, kalian juga menampilkan karya yang dibuat di Indonesia? Bisa kalian jelaskan tentang karya tersebut?
Alfredo: Proyek Belok Kiri Jalan Terus kami mulai di Indonesia saat residensi di Yogyakarta pada 2015. Kami diundang oleh kurator Alia Swastika dan tidak memiliki kewajiban untuk memproduksi apa pun, jadi kami meluangkan waktu bertemu orang-orang. Kami bertemu petani dengan sabit mereka yang disebut arit, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, tradisi itu kini sudah berubah karena orang-orang membeli sabit buatan pabrik yang diproduksi massal.
Isabel: Inilah cara kami memulai Proyek Sayap Kiri, di mana kami membuat sayap yang terbuat dari beberapa bilah pisau dari berbagai negara di Asia Tenggara. Sabit sangat melambangkan permasalahan agraria di kawasan ini, termasuk hak atas tanah dan buruh, sehingga kami mulai melakukan penelitian di Kamboja, Vietnam, dan Taiwan. Di Taiwan, ada pabrik di kepulauan Kinmen yang membuat pisau dari peluru artileri. Kami juga telah membuat proyek sayap di Filipina, menggunakan praktik tradisional pembuatan pisau pandayan.
Alfredo: Kami juga membuat karya sayap baru untuk pameran di Museum MACAN dengan menggabungkan 92 sangkar burung untuk membuat bentuk sayap pesawat. Kami telah membaca tentang burung menyanyi di Indonesia yang ditangkap oleh pemburu liar dan dibawa ke pulau Jawa untuk diambil kicauannya, dan hal ini sungguh ironis. Meskipun burung menciptakan ruang sosial bagi manusia yang memeliharanya untuk berkompetisi dalam lomba kicau burung, mereka dipelihara di sangkar kecil ini sendirian.
Isabel: Kami selalu melihat bagaimana ruang sosial diciptakan melalui objek, tapi di sini burunglah yang menciptakan ruang sosial. Oleh karena itu, kami menampilkan sangkar-sangkar kosong berbentuk sayap beserta komposisi suara nyanyian burung-burung tersebut. Kami selalu kembali ke sayap sebagai bentuk yang kembali ke gagasan penerbangan, kebebasan, migrasi, dan perlindungan.
Here, There, and Everywhere (In Habit: Project Another Country), 2018, Alfredo & Isabel Aquilizan. (Sumber gambar: Museum MACAN)
Isabel: Salah satu yang paling berkesan mungkin Here, There, and Everywhere yang menggunakan material kardus atau yang kami sebut kotak Balikbayan. Kotak ini adalah penemuan cerdik Diaspora Filipina untuk tetap berhubungan dengan keluarga, kerabat, teman, dan Tanah Air mereka.
Kotak itu biasanya dibawa atau dikirim kembali ke Filipina berisi barang-barang sehari-hari, untuk dibawa dengan pesawat atau dikirim melalui pos. Itu merupakan pengingat yang kuat dan kaya akan hubungan emosional dan spiritual antara orang-orang yang berada di pengasingan dan rumah mereka, antara individu yang gamang dan orang-orang yang berada di pengasingan.
Alfredo: Ketika Anda pindah, selalu ada proses yang memilukan tidak hanya karena Anda benar-benar akan meninggalkan rumah, tetapi juga proses memilih apa yang akan ditinggalkan dan apa yang harus dibawa. Apa yang sebenarnya Anda perlukan untuk memulai hidup baru? Selalu ada perasaan ketidakpastian, ketidakjelasan dan keragu-raguan yang mengalihkannya ke sebuah bentuk seni, menjadi sebuah proses penyembuhan.
Tapi saya pikir hal yang paling monumental adalah ide karya itu sendiri serta bagaimana kami berkolaborasi dan saling bertukar pengetahuan dengan para artisan dan komunitas dalam membuat karya. Kesenian kami bukan hanya bicara tentang berkarya dan membuat objek yang bisa dilihat audiens dan di-posting di media sosial, tapi bagaimana membuat seni bisa menghidupkan lingkungan sosial sekitar secara berkelanjutan.
Kalian berdua telah berkarya sebagai pasangan seniman selama 20 tahun, bagaimana kalian memaknai hal tersebut?
Alfredo: Itu adalah perjalanan yang penuh badai hahaha. Tapi setelah badai juga ada pelangi yang membuatnya jadi terang lagi. Karena kami pikir ini berkesenian adalah hal yang harus kami lakukan, dan kami harus selalu mencari cara untuk mewujudkan itu semua. Termasuk untuk menyeimbangkan antara kehidupan domestik kami sebagai suami dan istri, dan pekerjaan kami sebagai seniman.
Isabel: Selalu ada tantangan karena kami berdua berasal dari latar belakang yang berbeda. Jadi, latar belakang Alfredo adalah seni visual sementara saya seni produksi. Dari latar belakang keluarga, saya dari Manila dan dia benar-benar dari provinsi, bagian jauh di utara provinsi. Dia berasal dari kelompok minoritas yaitu Ibanag. Dia berbicara dua bahasa dan saya hanya mengetahui Tagalog karena saya dari Manila. Saya dari kota, meskipun saya benar-benar tidak menyukai perkotaan. Bagaimanapun, ya, sangat menantang.
Tapi dari perbedaan latar belakang itu akhirnya memunculkan ragam cara pandang dalam melihat banyak hal yang kami tuangkan dalam karya. Kita tahu bahwa saat bekerja ada kalanya kita sepakat pada suatu hal dan ada kalanya saling bertentangan. Tetapi pada saat yang sama, karena kita perlu mencapai tujuan tertentu, jadi kita harus benar-benar meletakkan semuanya dalam satu piring dan mencoba memasak resep yang benar-benar enak agar rasanya bisa menjadi enak.
Ke depan, proyek apa yang akan kalian lakukan?
Alfredo: Setelah kami tinggal di Australia selama 17 tahun dan anak-anak kami juga telah tumbuh dewasa, rasanya kami ingin kembali ke rumah. Entah rumah itu bisa berarti apapun. Kami harus lebih banyak berefleksi lagi dan melihat sekitar, karena menurut kami itu salah satu tanggung jawab sebagai seniman. Lalu menerjemahkannya ke dalam bentuk visual dalam bahasa yang berbeda.
Intinya kami ke depan ingin lebih bekerja dengan beberapa komunitas yang telah kami buat. Kami tidak ingin hanya membuat karya untuk di jual ke pasar seperti kebanyakan seniman sekarang. Sebaliknya, kami ingin menciptakan pasar versi kami sendiri seperti institusi dan komunitas yang bisa bekerja sama dengan kami. Hal itulah yang akan terus kami lanjutkan dan berharap bisa memberikan inspirasi untuk banyak komunitas.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.