Agak Laen, Pertengkaran Wacana & Ruang Kritik Film di Media Sosial
26 February 2024 |
14:56 WIB
1
Like
Like
Like
Kritik film menjadi bagian yang penting dalam ekosistem sinema. Tidak hanya menjembatani film dan penonton, sebuah kritik juga bisa berkontribusi memberikan masukan dan evaluasi bagi sineas agar membuat karya yang lebih baik lagi ke depannya.
Menurut KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia), kritik film adalah seni mengulas, menganalisis, membandingkan, atau mengevaluasi film dengan meninjau aspek naratif serta unsur-unsur sinematik. Karya kritik film dapat membahas isu sosial, kultural, dan politik, baik dalam bentuk tulisan maupun non-tulisan, dengan tidak mengabaikan pembahasan aspek sinematik.
Kendati demikian, sebuah kritik kerap kali menjadi pembuka sebuah diskusi panjang tentang berbagai hal. Ketika diskusi itu substantif, tentu hal tersebut menjadi hal yang menarik. Namun, beberapa lainnya ditanggapi tidak semestinya dan memicu diskusi yang kurang sehat.
Baca juga: Agak Laen Tembus 7 Juta Penonton, Siap Berubah Jadi Manusia Silver
Baru-baru ini, film Agak Laen yang berhasil meraih lebih dari 7 juta penonton juga tak lepas dari kritik. Di tengah kesuksesannya menjadi film lokal kedua dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa, karya garapan Imajinari Pictures tersebut mendapat kritik karena dianggap ableist dan misoginis.
Ableist atau ableisme adalah prasangka atau perlakuan diskriminatif terhadap para disabilitas. Hal tersebut terbentuk karena ada orang-orang yang merasa disabilitas memiliki status lebih rendah dibanding non-disabilitas.
Sementara itu, Misoginis kerap merujuk pada istilah untuk orang yang memiliki kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan. Mereka cenderung memandang perempuan sebagai pihak yang pantas ditindas, disudutkan, dan eksploitasi.
Dalam pantauan Hypeabis.id, diskusi kritik muncul cukup banyak di media sosial X (sebelumnya Twitter). Akun @runiarumndari misalnya, melihat beberapa adegan komedi pada film ini masih memiliki nuansa kental terhadap suburnya pemikiran ableisme dan misoginis.
Meski diakuinya film ini lucu, akun itu menilai ada beberapa komedi yang cukup menganggunya, seperti tentang transpuan, tokoh disabilitas, dan penggunaan istilah pelakor. Baginya, istilah pelakor sudah cukup misoginis.
Kritik tersebut memicu diskusi yang menarik tentang pentingnya tidak melanggengkan diskriminasi yang terjadi dalam sebuah film. Beberapa sependapat dengan argumen tersebut. Namun, layaknya sebuah pro dan kontra, beberapa warganet justru tampak ‘mengucilkan’ kritik yang disampaikan.
Misalnya, ketika beberapa orang menuding pihak pengkritik hanya sebatas ingin ‘tenar’, dengan cara memberikan pandangan berbeda melalui kritiknya. Padahal, apa yang disampaikan oleh pengkritik sebenarnya sudah direspons dengan cukup bijak oleh pihak produser film Agak Laen, Ernest Prakasa.
“Terima kasih banyak untuk ulasannya, masukannya diterima dengan baik. Akan jadi catatan untuk kami moving forward. All the best,” tulis Ernest dalam akun X miliknya, dikutip Hypeabis.id, Senin (26/2/2024).
Baca juga: Kritik Film di Indonesia Makin Berkembang, Tak Lagi Sekadar Cari Kesalahan atau Memaki Karya
Pengamat film nasional Hikmat Darmawan mengatakan kritik yang muncul terhadap film Agak Laen, terutama soal perempuan dan difabel, dinilainya cukup substantif. Namun, dia menilai apa yang terjadi setelahnya, terutama perang wacana antara penonton vs penonton, menjadi sebuah bahasan yang terlalu melebar.
“Substansi kritiknya saya setuju. Akan tetapi, yang saya heran ini kok jadi ribut setengah mati soal kritik. Nah, sayangnya ribut-ribut ini terjadi di media sosial, media sosialnya Twitter (X, red) lagi,” ungkap Hikmat.
Dari segi platform, Hikmat menilai media sosial bukanlah tempat yang ideal untuk terjadinya sebuah percakapan kritis. Sebab, diskusi yang terjadi kerap disampaikan tidak secara mendalam karena menyesuaikan dengan karakteristik platform tersebut.
Dengan demikian, respons yang didapat dari sebuah kritik pun jadi melenceng begitu jauh. Padahal, kritik dalam sebuah film adalah sesuatu yang wajar. Baginya, alangkah lebih baik bila argumen dibalas dengan argumen lagi.
Singkatnya, Hikmat menilai media sosial memang bukan platform utama untuk pembentukan pengetahuan, termasuk ruang kritik film. Media sosial, katanya, lebih cocok dijadikan sebagai wahana untuk penghubung dan akses ke sebuah sumber yang lebih proper.
Kalaupun kemudian ada sebuah kritik yang muncul, Hikmat menyarankan agar penonton menanggapinya dengan santai. Mulai dengan memahami isi substansi yang diberikan, lalu sampaikan rasa setuju atau tidak setuju dengan argumen dan alasan yang kuat juga. Semua itu juga perlu dilakukan dengan santai.
Namun, yang terjadi saat ini adalah kritik justru direspons secara tidak ideal. Si pengkritik kerap kali dilabeli sesuatu yang jauh dari isi kritik yang disampaikannya. Contohnya, ketika pengkritik dianggap hanya mencari popularitas dengan menunjukkan ketidaksukaan dari film yang digemari banyak orang.
Pandangan tersebut, bagi Hikmat, memicu ruang yang tidak sehat di media sosial. “Ya, masa kalau semua orang lagi seneng sama film A, enggak boleh ada yang tidak suka sama film A. Kalau ada yang ngomong lain, itu kayak harus dihancurkan. Itu fasisme kan, ini bagian yang tidak bisa dianggap remeh dari dunia sekarang. Yakni, fasisme yang berkembang dari politik kesenangan,” terangnya.
Menurutnya, hal tersebut bisa memicu perilaku yang lebih tidak sehat. Sebab, bisa jadi persekusi yang muncul nantinya tidak lagi sebatas tontonan, tetapi pada hal lain yang lebih besar karena kebiasaan fasisme itu yang mulai tumbuh dan melebar.
“Ya, masa gara-gara film bisa sampai begitu, dimaki-makilah dan segala macam. Enggak sehat ini. Langkah pertama yang harus dilakukan itu literasi medsos agar persekusi dan segala macamnya tidak terjadi,” kata Hikmat.
Kendati demikian, Hikmat mengatakan bukan berarti dirinya menganggap media sosial sebagai sesuatu yang tidak penting. Sebab, dalam beberapa kondisi, media sosial juga menjadi munculnya gerakan-gerakan sosial penting, termasuk dalam ekosistem perfilman.
Baca juga: Pengamat Sebut Ada 3 Kelompok 'Tukang Kritik Film', Apa Maksudnya?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Menurut KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia), kritik film adalah seni mengulas, menganalisis, membandingkan, atau mengevaluasi film dengan meninjau aspek naratif serta unsur-unsur sinematik. Karya kritik film dapat membahas isu sosial, kultural, dan politik, baik dalam bentuk tulisan maupun non-tulisan, dengan tidak mengabaikan pembahasan aspek sinematik.
Kendati demikian, sebuah kritik kerap kali menjadi pembuka sebuah diskusi panjang tentang berbagai hal. Ketika diskusi itu substantif, tentu hal tersebut menjadi hal yang menarik. Namun, beberapa lainnya ditanggapi tidak semestinya dan memicu diskusi yang kurang sehat.
Baca juga: Agak Laen Tembus 7 Juta Penonton, Siap Berubah Jadi Manusia Silver
Baru-baru ini, film Agak Laen yang berhasil meraih lebih dari 7 juta penonton juga tak lepas dari kritik. Di tengah kesuksesannya menjadi film lokal kedua dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa, karya garapan Imajinari Pictures tersebut mendapat kritik karena dianggap ableist dan misoginis.
Ableist atau ableisme adalah prasangka atau perlakuan diskriminatif terhadap para disabilitas. Hal tersebut terbentuk karena ada orang-orang yang merasa disabilitas memiliki status lebih rendah dibanding non-disabilitas.
Sementara itu, Misoginis kerap merujuk pada istilah untuk orang yang memiliki kebencian atau rasa tidak suka terhadap perempuan. Mereka cenderung memandang perempuan sebagai pihak yang pantas ditindas, disudutkan, dan eksploitasi.
Sebelum mengungkapkan keresahanku, harus ku akui bahwa secara keseluruhan AGAK LAEN menghibur, punya keseruan—baik dari segi plot dan chemistry para pemain—yang bisa mengikat atensi penonton sepanjang durasi, serta tampak begitu fresh di antara lautan film horor lokal.
— Runi Arumndari (@runiarumndari) February 19, 2024
Tapi, ada… pic.twitter.com/k2bLOzTTDQ
Dalam pantauan Hypeabis.id, diskusi kritik muncul cukup banyak di media sosial X (sebelumnya Twitter). Akun @runiarumndari misalnya, melihat beberapa adegan komedi pada film ini masih memiliki nuansa kental terhadap suburnya pemikiran ableisme dan misoginis.
Meski diakuinya film ini lucu, akun itu menilai ada beberapa komedi yang cukup menganggunya, seperti tentang transpuan, tokoh disabilitas, dan penggunaan istilah pelakor. Baginya, istilah pelakor sudah cukup misoginis.
Kritik tersebut memicu diskusi yang menarik tentang pentingnya tidak melanggengkan diskriminasi yang terjadi dalam sebuah film. Beberapa sependapat dengan argumen tersebut. Namun, layaknya sebuah pro dan kontra, beberapa warganet justru tampak ‘mengucilkan’ kritik yang disampaikan.
Misalnya, ketika beberapa orang menuding pihak pengkritik hanya sebatas ingin ‘tenar’, dengan cara memberikan pandangan berbeda melalui kritiknya. Padahal, apa yang disampaikan oleh pengkritik sebenarnya sudah direspons dengan cukup bijak oleh pihak produser film Agak Laen, Ernest Prakasa.
“Terima kasih banyak untuk ulasannya, masukannya diterima dengan baik. Akan jadi catatan untuk kami moving forward. All the best,” tulis Ernest dalam akun X miliknya, dikutip Hypeabis.id, Senin (26/2/2024).
Baca juga: Kritik Film di Indonesia Makin Berkembang, Tak Lagi Sekadar Cari Kesalahan atau Memaki Karya
Bisakah Media Sosial jadi Ruang Kritik Film yang Ideal?
Pengamat film nasional Hikmat Darmawan mengatakan kritik yang muncul terhadap film Agak Laen, terutama soal perempuan dan difabel, dinilainya cukup substantif. Namun, dia menilai apa yang terjadi setelahnya, terutama perang wacana antara penonton vs penonton, menjadi sebuah bahasan yang terlalu melebar.“Substansi kritiknya saya setuju. Akan tetapi, yang saya heran ini kok jadi ribut setengah mati soal kritik. Nah, sayangnya ribut-ribut ini terjadi di media sosial, media sosialnya Twitter (X, red) lagi,” ungkap Hikmat.
Dari segi platform, Hikmat menilai media sosial bukanlah tempat yang ideal untuk terjadinya sebuah percakapan kritis. Sebab, diskusi yang terjadi kerap disampaikan tidak secara mendalam karena menyesuaikan dengan karakteristik platform tersebut.
Dengan demikian, respons yang didapat dari sebuah kritik pun jadi melenceng begitu jauh. Padahal, kritik dalam sebuah film adalah sesuatu yang wajar. Baginya, alangkah lebih baik bila argumen dibalas dengan argumen lagi.
Singkatnya, Hikmat menilai media sosial memang bukan platform utama untuk pembentukan pengetahuan, termasuk ruang kritik film. Media sosial, katanya, lebih cocok dijadikan sebagai wahana untuk penghubung dan akses ke sebuah sumber yang lebih proper.
Kalaupun kemudian ada sebuah kritik yang muncul, Hikmat menyarankan agar penonton menanggapinya dengan santai. Mulai dengan memahami isi substansi yang diberikan, lalu sampaikan rasa setuju atau tidak setuju dengan argumen dan alasan yang kuat juga. Semua itu juga perlu dilakukan dengan santai.
Namun, yang terjadi saat ini adalah kritik justru direspons secara tidak ideal. Si pengkritik kerap kali dilabeli sesuatu yang jauh dari isi kritik yang disampaikannya. Contohnya, ketika pengkritik dianggap hanya mencari popularitas dengan menunjukkan ketidaksukaan dari film yang digemari banyak orang.
Pandangan tersebut, bagi Hikmat, memicu ruang yang tidak sehat di media sosial. “Ya, masa kalau semua orang lagi seneng sama film A, enggak boleh ada yang tidak suka sama film A. Kalau ada yang ngomong lain, itu kayak harus dihancurkan. Itu fasisme kan, ini bagian yang tidak bisa dianggap remeh dari dunia sekarang. Yakni, fasisme yang berkembang dari politik kesenangan,” terangnya.
Menurutnya, hal tersebut bisa memicu perilaku yang lebih tidak sehat. Sebab, bisa jadi persekusi yang muncul nantinya tidak lagi sebatas tontonan, tetapi pada hal lain yang lebih besar karena kebiasaan fasisme itu yang mulai tumbuh dan melebar.
“Ya, masa gara-gara film bisa sampai begitu, dimaki-makilah dan segala macam. Enggak sehat ini. Langkah pertama yang harus dilakukan itu literasi medsos agar persekusi dan segala macamnya tidak terjadi,” kata Hikmat.
Kendati demikian, Hikmat mengatakan bukan berarti dirinya menganggap media sosial sebagai sesuatu yang tidak penting. Sebab, dalam beberapa kondisi, media sosial juga menjadi munculnya gerakan-gerakan sosial penting, termasuk dalam ekosistem perfilman.
Baca juga: Pengamat Sebut Ada 3 Kelompok 'Tukang Kritik Film', Apa Maksudnya?
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.